Upacara merupakan novel Korrie Layun Rampan ini memperoleh Hadiah Sayembara Mengarang Roman yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta tahun 1976. Novel itu—yang terdiri atas lima belahan—kemudian diterbitkan Pustaka Jaya, Jakarta, tahun 1978 dengan tebal 128 halaman (5 halaman di antaranya berupa keterangan istilah Benuaq), selanjutnya diterbitkan kembali tahun 2000 (cetakan kedua)oleh penerbit Pustaka Jaya, Jakarta.
Dalam kata pengantar yang ditulis oleh Dodong Djiwapradja (salah satu juri Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1976), dikatakan bahwa novel Upacara melukiskan pengalaman batin yang dihayati oleh tokoh "aku" tatkala menjalani pelbagai upacara meruwat (crisis rite), yang diselenggarakan oleh penduduk perkampungan suku Dayak di pedalaman Kalimantan. Berbagai macam upacara dilukiskan dalam novel itu: mulai dari pengembaraan roh si "aku" ke lumut (surga) dalam upacara individual bagi kesembuhan si "aku", balian (perdukunan) dalam hubungannya dengan nasuq juus (pencarian jiwa yang hilang) kewangkey (upacara penguburan tulang manusia), nalin taun (pesta tahunan, pemberian persembahan pada alam dan dewa-dewa) untuk menyelamatkan kampung dari malapetaka, sampai ke pelulung (upacara perkawinan)-si "aku" menaiki jenjang perkawinan setelah sekian tahun mengalami "petualangan asmara". Ritus demi ritus dan peristiwa demi peristiwa dilukiskan dalam bahasa simbolis dan padat serta irama dan imaji puitis.
Novel ini ini merupakan karya Korrie yang pertama ketika ia berusia 23 tahun (ia lahir di Samarinda, 17 Agustus 1953). Novel itu memperoleh Hadiah Kedua (hadiah pertama tidak ada) dalam Sayembara Mengarang Roman yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta. Dalam wawancara dengan Agus Dermawan T. (1977), Korrie menjelaskan bahwa Upacara telah terpikirkan tiga tahun sebelum novel itu dinyatakan sebagai pemenang. Bagian pertama novel itu diselesaikan tahun 1974 dan secara keseluruhan novel itu digarapnya dalam tempo seminggu. Korrie menyatakan bahwa ia terdorong menulis novel Upacara karena keinginannya mengomunikasikan bahasa jiwa suatu suku kepada suku yang lain, dari satu individu ke individu yang lain.
Sejalan dengan keinginan Korrie itu, Herman Ks. (1980) menyambut novel Upacara sebagai novel yang telah merambah wilayah baru dalam penulisan novel Indonesia, yaitu dengan jalan menampilkan adat-istiadat yang bersifat tradisional yang masih hidup dalam suku tertentu-sesuatu yang tidak banyak digarap dalam novel-novel Indonesia yang lain.
Sementara itu, Dodong Djiwapradja dalam pengantar novel itu mengemukakan bahwa novel Upacara telah menjadikan mitos sebagai sumber inspirasinya sehingga telah menjawab tantangan salah satu teori sastra modern, yang menyatakan bahwa kalau ingin terus hidup, sastra harus menjadikan mitos sebagai salah satu sumber inspirasinya. Dalam kaitan itu, Ariel Heryanto (1979) menafsirkan bahwa tokoh aku dalam novel Upacara ini tak layak dipandang sebagai tokoh sentral; tokoh sentral dalam novel itu adalah upacara-upacara ritual itu sendiri. Di sisi lain, Th. Sri Rahayu Prihatmi (1979) setengah menggugat pernyataan Dodong Djiwapradja dengan mengatakan bahwa keberhasilan novel Upacara bukan karena novel tersebut bersumber pada mitos, melainkan karena pengarangnya mampu menjelmakan pengalaman jiwanya ke dalam kata.
Dengan kebaruan yang ditampilkannya-yaitu dengan menggarap kehidupan budaya lokal yang tradisional, yang hampir-hampir tidak pernah disentuh oleh sastrawan lain-novel Upacara telah menempatkan dirinya sebagai salah satu tonggak yang patut diperhitungkan dalam pernovelan Indonesia, sebagaimana dikemukakan sejumlah kritikus ketika menanggapi kelahiran novel itu.