Hamid Jabbar merupakan penyair yang sangat produktif dan selalu optimis. Namanya saat lahir adalah Abdul Hamid bin Zainal Abidin bin Abdul Jabbar, tetapi dalam dunia sastra ia lebih dikenal dengan nama Hamid Jabbar. Ia lahir 27 Juli 1949, di Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatra Barat dan meninggal dunia pada hari Sabtu tanggal 19 Mei 2004 ketika membaca puisi dalam suatu acara di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta, pukul 23.00.
Hamid menikah tanggal 16 Februari 1975 dengan Yulianis Zain. Istrinya berasal dari Lubuk Minturun, Sarjana Muda Jurusan Bahasa Arab, IAIN Imam Bonjol. Dari perkawinan itu mereka dikaruniai dua orang anak, yaitu Meuthia Aulia Jabbar dan Lilla Aulia Jabbar. Alamat Hamid Jabbar adalah Kawasan
Hamid Jabbar dikenal sebagai penyair, padahal sebenarnya ia juga menulis cerita pendek. ia sering membaca puisi di beberapa acara, khususnya yang berkaitan dengan kegiatan kesenian, misalnya, ia membaca puisi pada acara Pesta Seni ala Islam, Purna Budaya (5 Desember 1991), Puisi ASEAN 1978, Pekan Kesenian antardewan kesenian, di Taman Ismail Marzuki, dan di Erasmus Huis.
Berkaitan dengan kegiatan baca puisi itu, Hamid Jabbar mendapat predikat sebagai "Penyair Zikir". Hal itu bertalian dengan puisi-puisinya yang banyak berbicara tentang kebesaran Tuhan. Pernah pula Hamid Jabbar mendapat predikat 'Penyair Dangdut' karena pembacaan sajaknya diiringi dengan bunyi gendang. Dia mengaku bahwa ia menyukai alat-alat musik pada saat masih berada di kampungnya. Hamid Jabbar, menjadi bintang sinetron pada sinetron "Bukan Superman".
Hamid Jabbar mengawali pendidikannya di sekolah rakyat (SR). Saat duduk di sekolah rakyat itu, ia sudah mulai memperhatikan lingkungan alam, Ngarai Sihanok. Ngarai itu selalu dilewatinya ketika ia akan pergi ke atau pulang dari sekolah. Pada saat itu ia mulai mengagumi keindahan alam, tetapi belum tahu cara mengungkapkannya. Akhirnya, kekagumannya pada alam itulah yang mengantarkannya menjadi sastrawan. Ketika berusia belasan tahun, Hamid Jabbar merantau ke Pulau Jawa. Dia menamatkan SMA jurusan Paspal di Bandung.
Masa-masa remaja Hamid Jabbar memang banyak dijalaninya di Sukabumi, Bandung, dan Jakarta. Saat itu pula Hamid Jabbar menjadi aktivis Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) Sukabumi dan Bandung (tahun 1966—1969). Menurut Hamid, politik itu kotor. Setelah menyadari hal itu, Hamid beralih "kegiatan" dari jalur politik ke jalur sastra.
Hamid Jabbar pernah bekerja di gudang beras, perkebunan teh, menjadi wartawan Mingguan Indonesia Ekspres (di Bandung), redaktur surat kabar harian Singgalang (Padang), karyawan PT Panca Niaga (Padang), dan karyawan Balai Pustaka. Ketika bekerja di Balai Pustaka, Hamid Jabbar pernah bertugas beberapa minggu ke Singapura. Dia juga pernah mempromosikan buku-buku Indonesia dalam Pameran Buku Internasional di Jerman Barat, tanpa menguasai bahasa Jerman.
Karya-karya Hamid Jabbar mulai terbit tahun 1970-an dan sampai akhir hayatnya ia tetap aktif menulis. Tahun 1999 Hamid Jabbar mendapat Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa melalui kumpulan puisinya yang berjudul Super Hilang Segerobak Sajak (1998).
Sebenarnya bakat seni yang dimiliki Hamid Jabbar turun dari keluarganya. Keluarga mereka pencinta pantun. Ibunya selalu mendendangkan pantun ketika meninabobokkannya. Selain itu, Hamid Jabbar dibesarkan dalam keluarga Islam.
Dia mulai menulis tahun 1966 melalui bimbingan guru tidak resminya, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Leon Agusta, Abrar Yusra, Chairul Harun, atau Bagindo Fahmy. Tahun 1972, setelah merasa mantap, Hamid mengirimkan puisi-puisinya ke harian Pikiran Rakyat, Bandung. Hamid mengakui bahwa dari 15 puisinya yang dikirim ke Pikiran Rakyat, hanya 4 puisi yang dimuat. Pandangannya tentang seni memihak pada kesenian yang tidak dimanipulasi politik. Dia antipati terhadap politik sebagai panglima dan memihak pada pendapat bahwa pemilu merupakan proses, bukan tujuan. Dia mengatakan bahwa pemilu yang dilaksanakan tahun 1982 itu pada hakikatnya nyaris sebagai "proses pendangkalan".
Hal itu tercermin dari surat pengantarnya kepada H.B. Jassin dalam, pengiriman dua cerita pendeknya, yaitu "Dua Orang Seniman Bertapa" dan "Sampah" untuk meminta agar cerpennya itu dapat dimuat di majalah Horison.
Menurut Amrizal, Hamid sebagai penulis cerpen sangat ekstrim karena lari dari sistem konvensional. Gaya bahasa Hamid Jabbar bersifat simbolik. Beberapa karya Hamid Jabbar yang berupa kumpulan puisi, antara lain adalah (1) Dua Warna ( 1974), (2) Paco-Paco (1974), (3) Wajah Kita (1981), dan (4) Rencong Gajah (1984). Yang berupa puisi lepas antara lain (1) "Doa Mabuk Para Tiran" yang dimuat dalam Mingguan Pelita, 13 Januari 1991, (2) "Gairah Kdiamat I" dan "Gairah Kdiamat II" dalam Sinar Harapan, 30 Juli 1983, (3) "Setitik Nur" dalam Berita Buana, 25 November 1980, (4) "Tetapi" dalam Pelita, 26 Oktober 1979, (5) "Debu" dalam Pelita, 26 Oktober 1979, (6) "Nyanyian Belum", "Nyanyian Dalam", "Nyanyian Jauh", dan "Nyanyian Purba" dalam Berita Buana , 10 Agustus 1982, (7) "Beri Aku Satu yang Tetap dalam Diriku" dan "Ternyata" dalam Panji Masyarakat, 11 Juni 1979, (8) "Potong Bebek Angsa" dalam Pelita 12 Juni 1979, (9) "Di Taman Bunga, Luka Tercinta", "Gedung Merdeka, Sukabumi", dan "Telah dan Kecuali" dalam Sinar Harapan, 6 November 1982, (10) serta "Komputer Teler" dalam Pelita 18 Maret 1987.
Hamid Jabbar juga menerjemahkan puisi karya Li Po ke dalam bahasa Indonesia (terjemahan versi Inggris oleh Sun Yu). Selain menulis puisi, ia juga menulis cerpen. Cerpen-cerpennya antara lain (1) "Tak Harmoni" dalam Ulumul Qur'an, 1989, (2) "Tas" dalam Zaman, 6 April 1985, (3) "Pemberontak" dalam Amanah, 23 Agustus 1990, (4) "Membangun Kdiamat" dalam Amanah, 7--20 November 1986, (5) "Cerpen Kita, Merdeka dan Teler" dalam Pelita, 6 Agustus 1986, (6) "Sampah" dalam Singgalang, 15 Januari 1984, (7) "Tak Ada Tempat" dalam Kartini, 4--17 Januari 1982, (8) "Pamplet" dalam Dialog, 12--25 Juni 1921, (9) "Engku Datuk Yth. di Jakarta" dalam Kompas, 2 November 1980. (10) "Komkapanin" dalam Indonesia Raya, 10 November 1969.