Ibrahim Sattah lahir di Tarempa, sebuah kota kecil di kawasan Pulau Tujuh, Laut Cina Selatan, Provinsi Kepulauan Riau tahun 1943 dan meninggal pada usia 43 tahun di Pekanbaru, 19 Januari 1988. Dari Istrinya yang pertama, Jalini, ia mempunyai anak 5 orang, dan dari istri kedua, Siti Chadijah, ia mempunyai anak 2 orang. Kedua orang tua Ibrahim Sattah meninggal dunia pada saat Ibrahim Sattah masih kecil dan karena itulah sekolah Ibrahim tersendat-sendat. Ibrahim bersekolah di SPN Pekanbaru (1963) dan melanjutkan pendidikannya ke SMA Pekanbaru, tetapi tidak berhasil menamatkannya. Ibrahim Sattah kemudian menjadi polisi.
Di Pekanbaru, Ibrahim menduduki jabatan sebagai wakil Kepala Pusat Pemberitaan Angkatan Bersenjata perwakilan Riau. Selain itu, ia juga bertugas sebagai Kepala Studio Radio Bayangkara. Pada kesempatan itu ia mulai memublikasikan sajak-sajaknya di surat kabar Angkatan Bersenjata di Pekanbaru dan di surat kabar Haluan dan Aman Makmur di Padang. Dia juga pengisi rubrik sastra di RRI stasiun Pekanbaru. Dia menerbitkan majalah Solarium dan mendirikan Studi Grup Sastra bersama Abrar Yusra dan Wunulde Syaffinal. Pada tahun 1969, Ibrahim Sattah pindah ke Tanjung Pinang dan bertugas di kesatuan Provost dengan jabatan staf pembinaan masyarakat dan staf pribadi Danres. Di samping itu, ia juga terus menulis sajak-sajak dengan tanpa halangan. Dia bertemu dengan Sutarji Calzoum Bachri di Pekanbaru pada tahun 1970. Pada tahun 1974 namanya sebagai penyair mulai menanjak karena sajaknya banyak yang dimuat di majalah Horison.
Karier yang telah ditempuhnya, antara lain, adalah sebagai pemimpin BKKNI (Badan Koordinasi Kebudayaan Nasional Indonesia) periode 1984—1987 di Provinsi Riau. Ibrahim Sattah pensiun pada tahun 1980 dengan masa kerja 16 tahun sebagai Sersan Satu Polisi. Selain itu, ia juga mengajar di beberapa sekolah menengah atas dan salah satu universitas swasta di Riau. Pada tahun 1975 Ibrahim Sattah membacakan sajak-sajaknya di Den Haag dan pada tahun 1976 ia mengikuti Festival Puisi Antarbangsa (International Poetry Rotterdam). Pada bulan September 1979 dan Juni 1980 penyair ini mengisi acara di Taman Ismail Marzuki. Pembacaan sajak-sajak Ibrahim Sattah di Taman Ismail Marzuki diselenggarakan pada tanggal 25 Juli 1986.
Selain mengarang sajak, Ibrahim Sattah juga bergerak dan bekerja di bidang teater dan bekerja di penerbitan buku-buku sastra. Sajak Ibrahim Sattah dikategorikan sebagai puisi murni yang diekspresikan dengan kesahajaan dari kata-kata yang sederhana, seperti tentang daun, tentang duka, tentang batu, tentang air; tentang manusia, tentang Tuhan, dan tentang alam raya. Sebagaimana dinyatakan oleh Korrie Layun Rampan dalam majalah Horison, No.9, hlm. 982. "Ibrahim Sattah mengakui bahwa ia banyak diilhami oleh sajak Sutardji Calzoum Bachri.".
Kumpulan sajaknya yang berjudul Hai Ti (1981) milik Pemda tingkat I Riau, diterbitkan oleh penerbit Bumi Pusaka, 1981, cetakan I. Pada tahun 1983 buku itu dicetak ulang sebagai cetakan kedua dan tidak diperjualbelikan. Kumpulan itu terdiri atas 8 judul sajak, yaitu (1) "Sausauna"; (2) "Kaki"; (3) "Sebab"; (4) "Apa Se"; (5) "Zamzam"; (6) "Ke Kau"; (7) "Hai Ti"; dan (8) "Maut". Puisi berjudul "Sausauna" dan "Kaki" termuat juga di dalam Harian Sinar Harapan tahun XXI, no.178, Sabtu, 13 Juni 1981, halaman 6.
Buku kumpulan sajaknya berjudul Dandandid (1980) terdiri atas 15 judul puisi, antara lain (1) "Jakarta"; (2) "Anak-Anak dan Katak"; (3) "Sung-Sung Song"; (4) "Batubelah"; (5) "Bulan"; (6) "Wawa"; (7) "Tempias"; (8) "Dandandid"; (9) "Kau"; (10) "Tafakur"; (11) "Dunia itu Kembali"; (12) "Duka"; (13) "Baris"; dan (14) "Tinmarni". Sajak berjudul "Jakarta", "Duka", "Sebab", dan "1974" pernah dimuat dalam surat kabar Singgalang, th.XV, no.2263, Rabu, 27 April 1983, halaman 5.
Sebagai seorang penulis, Ibrahim Sattah sering mendapat sorotan pembaca, yang berupa kritikan. Arahan yang berjudul "Pembacaan Ibrahim Sattah" karya Sutardji Calzoum Bachri, dimuat dalam surat kabar Berita Buana, tahun VIII, No. 37. Tulisan itu menyatakan bahwa Ibrahim Sattah dapat dianggap sebagai penyair kanak-kanak; penyair yang menyanyikan masa kanak-kanak atau mendapat sumber inspirasinya dari masa kanak-kanak. Dalam artikel berjudul "Manusia Alam Ibrahim Sattah dalam Pentas" karya Ikranagara di surat kabar Sinar Harapan dinyatakan bahwa potret manusia yang ada di dalam puisi-puisi Ibrahim Sattah memang tidak dalam konteks "manusia modern", tetapi lebih tepat diklasifikasikan sebagai "manusia alam".
Surat kabar Suara Pembaruan, tanggal 30 Mei 1998, Tahun ke 21, No. 462 memuat artikel berjudul "Puisi Warisan Ibrahim Sattah" karya Slamet Sukirnanto. Dalam artikel itu dinyatakan bahwa warisan puisi Ibrahim Sattah adalah sejumlah puisi yang tidak mengandung beban yang berat. Dia tidak mewariskan pikiran-pikiran atau permasalahan-permasalahan sosial. Dia tidak mengajak kita untuk menyajikan puisi senjata untuk suatu impian tertentu. Dengan puisi, ia mengajak untuk menikmatinya, menyelaminya, dan tenggelam dalam alam dan suasana penuh kenikmatan dan menyenangkan. Bahasa tidak menjadi beban dalam menyentuh alam kejiwaan. Dia menemukan kebebasan mengucap dan kebebasan menggunakan bahasa. Selain itu, dalam artikel berjudul "Usman Awang dan Ibrahim Sattah dua Wajah dari Satu Dunia", karya Umar Yunus dalam surat kabar Pelita, 30 Maret 1988, tahun ke 14, No. 4149 dinyatakan bahwa Ibrahim Sattah boleh lebih bebas karena ia tidak lagi mementingkan puisi sebagai sarana penyampaian amanat. Sejarah perkembangan sastra menunjukkan bahwa kesusastraan tradisi merupakan masa lampau. Ibrahim Sattah telah menghidupi suatu tradisi yang baru, yang telah memisahkan dirinya dari puisi tradisional, yang sebelumnya dikuasai oleh hakikat (mekanisme) yang menguasai puisi yang sedang berkembang. Hakikat utama ialah kebebasan yang boleh diberi makna tanpa batas.