Khoo Ping Hoo adalah seorang penulis cerita silat yang lahir di Sragen, Jawa Tengah, 17 Agustus 1926. Dia meninggal 22 Juli 1994 dan dimakamkan di Solo. Nama lengkapnya adalah Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo. Dia mempunyai 13 orang anak, dua di antaranya meninggal masih muda, dan 8 cucu. Ia beragama Kristen, tetapi kepada anak-anaknya ia memberikan kebebasan memilih keyakinannya masing-masing.
Kho keturunan Cina berdarah Jawa (dari seorang neneknya). Anak-anaknya menentukan pilihannya sendiri. Dalam beragama anaknya ada yang beragama Islam, Kristen, dan penganut aliran kepercayaan yang lain. Keluarganya bermukim di pusat kota Kudus. Dia anak lelaki pertama, atau anak kedua dari 12 bersaudara. Ayahnya, Kho Kian Po, pendekar aliran Siau Liem Sie, mewariskan ilmu silat padanya melalui disiplin keras. Pada tahun-tahun krisis (1945) ia mendapat jodoh. Dengan modal cinta ia menikah dengan Ong Ros Hwa, gadis Sragen kelahiran Yogya.
Pendidikan dasarnya ia tempuh di HIS Zendings School dan hanya sampai kelas 1 MULO, selanjutnya terhenti, tetapi Kho sempat kursus Tata Buku. Pada usia 14 tahun Kho Ping Hoo sudah lepas dari bangku sekolah dan menjadi pelayan toko. Ketika Jepang masuk ke Solo, ia pindah ke Surabaya, bekerja sebagai penjual obat. Kho menjajakan pil-pil semacam kina dan lain-lain ke toko-toko. Bahkan, pada masa itu ia juga bergabung dan digembleng oleh Kaibotai, semacam hansip Jepang, yang pendidikannya "sangat militer". Dari Surabaya ia kembali lagi ke Sragen dan bergabung dalam Barisan Pemberontak Tionghoa (BPTH) yang ketika itu senantiasa kompak dengan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI). Dari Sragen ia pindah ke Kudus. Tahun 1949 ia pindah ke Sragen lagi membuka usaha rokok yang ilmunya diperolehnya ketika ia bekerja di Kudus. Pada tahun inilah mulai muncul cobaan-cobaan yang menimpa nasibnya. Perusahaan rokoknya sudah berjalan, meskipun masih kecil. Akan tetapi, Aksi Polisionil II mulai meletus. Belanda mengobrak-abrik segala yang dimilikinya. Kho mulai dari nol lagi. Ia berangkat ke pengungsian di Solo. Dua tahun ia tinggal di sana. Akhirnya, ia pindah ke Tasikmalaya dengan membawa dua orang anak (yang satu masih dalam kandungan istrinya) hingga tahun 1949. Keluarga Kho ini mempunyai semangat baru untuk memperbaiki nasib.
Agaknya, di Tasikmalaya inilah segalanya bermula. Pada tahap pertama ia bekerja menjadi staf dari seorang anemer yang sedang membangun sebuah rumah sakit di Banjarnegara. Sedikit demi sedikit sukses berhasil diraih. Pada tahap akhir ia telah menjadi Ketua Perusahaan Pengusaha Pengangkutan Truk (P 3 T) kawasan Priangan Timur meskipun ia tidak pernah mempunyai truk dalam hidupnya. Yang paling penting dari semua itu adalah pekerjaan barunya yang ternyata mengasyikkannya.
Sekitar tahun 1951 Kho Ping Hoo mulai menulis cerita. Sebelum dikenal sebagai penulis cerita silat, Kho pun menulis cerita detektif, novel, dan cerpen yang dimuat dalam berbagai majalah, antara lain Liberty, Star Weekly, dan Pancawarna.
Dengan menggunakan nama samaran Asmaraman, tulisannya menyerbu majalah-majalah terkenal waktu itu. Banyak tulisannya yang ditolak, tetapi cukup banyak pula yang dimuat. Majalah Star Weekly, Cermin, Pancawarna dan Liberty termasuk yang sering memuat karya-karyanya. Yang menarik dari cerita-cerita yang ditulisnya ketika itu tak tersirat sedikit pun warna "silat" di dalamnya. Yang nyata hanya cerita-cerita roman biasa.
Kho menulis cerpen dan mengirimkannya pada majalah Star Weekly, Liberty, Pantjawarna, Tjermin, Trio, dan Taruna Bhakti antara tahun 1958--1961. Baru pada tahun 1959 ia menulis cerita silat. Pada tahun 1959 di Tasik lahirlah majalah Teratai. Untuk melengkapi isi majalah, para penulis mengusulkan agar majalah juga diisi dengan cerita silat. Pada saat itu diputuskan agar Kho Ping Hoo yang mengisinya maka lahirlah cerita silat pertamanya "Pedang Pusaka Naga Putih". Karya itu lahir karena terpaksa, tetapi respons pembaca ternyata positif. Karyanya dimuat bersambung dalam majalah Selecta, Roman, dan Monalisa. Waktu itu pengarang cerita silat yang dikenal hanya Oei Kiem Tia (OKT), satu-satunya pengarang 'cerita silat' di Indonesia (karena yang lain, seperti SD Liong dan Gan KL hanya penerjemah). Cerita yang terputus itu kemudian diambil oleh majalah di Jakarta, Analisa, dan dimuat mulai awal kisah lagi. Sambutan pun tampak semakin baik.
Minat Kho pada tulis-menulis muncul setelah bermukim di Tasikmalaya. Mulanya, dia sebagai koresponden harian Keng Po. Dia juga pernah membantu barisan Pikiran Rakyat, Bandung pada 1960-an. Setelah berganti-ganti pekerjaan, Kho mencoba menulis cerita dan mengurus sandiwara (sebagai pemain dan sutradara). Dunia tulis-menulis pun lebih ditekuninya. Dia menjadi kaya dari hasil tulisan-tulisannya dalam bentuk buku saku cerita silat Tionghoa. Sebenarnya, dia tidak begitu mengerti bahasa Cina. Dia mempelajari sejarah Tiongkok, tetapi bukan dari bahasa aslinya, melainkan dari buku-buku bahasa Inggris dan Belanda. Dua bahasa ini memang dikuasainya dengan baik, selain bahasa Indonesia. Bahasa daerah yang dikuasainya ialah bahasa Jawa dan Sunda. Selain sejarah Tiongkok, ia juga amat tertarik pada sejarah klasik Indonesia. Beberapa buku bertema sejarah terkenal ialah Badai Laut Selatan, yang terdiri atas puluhan jilid, tetapi yang paling populer adalah Darah Mengalir di Borobudur. Serial ini pernah disandiwararadiokan.
Kho Ping Hoo sudah menulis lebih dari 200 judul cerita silat. Tiap judul terdiri atas puluhan seri. Cerita silat itu, antara lain, adalah Pendekar Baju Putih (Jakarta, 1959), Darah Mengalir di Borobudur (Jakarta, 1959), dan Keris Pusaka Nogopasung (Solo, 1980). Dia menggarap cerita dari dua sumber utama, Cina dan Jawa. Serial silat terpanjangnya adalah Kisah Keluarga Pulau Es (17 judul cerita, mulai "Bu Kek Siansu" sampai "Pusaka Pulau Es").
Beberapa cerita gubahannya pernah diketoprakkan. Yang paling akhir mementaskan lakon Kho ialah ketoprak "Siswo Budoyo" pimpinan Cokrojiyo. Bahkan, RRI Yogyakarta dahulu sering menyiarkan sandiwara radio dari kisah-kisah Kho Ping Hoo. Para komikus juga sempat mengutip ceritanya untuk dikomikkan. Di luar ketoprak dan radio, tiga ceritanya sudah difilmkan, yaitu Dendam si Anak Haram, Darah Daging, dan Buaian Asmara (dalam film judulnya diganti menjadi Cintaku Tergadai), dan tak ketinggalan dua cerita silat sudah diangkat ke layar lebar, yaitu Badai Laut Selatan (1991) dan Perawan Lembah Wilis (1993). Kedua cerita terakhir itu pada tahun 2000 diangkat sebagai cerita sinetron disiarkan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).
Peran Kho bagi kehidupan sastra di Indonesia adalah pengaruhnya yang kuat dalam memotivasi penulis-penulis pribumi untuk membuat jenis cerita yang sama, yaitu silat. Mereka yang mengikuti jejaknya antara lain S.H. Mintardja, Herman Pratikto, dan Arswendo Atmowiloto.
Leo Suryadinata mengemukakan bahwa dalam cerita silat Kho terdapat karya-karya Jin Yong, Liang Yusheng, Ni Kuang, dan Gu Long. Misalnya, dalam cerita silatnya Si Pedang Tumpul ia mengambil sebuah plot dari karya Jin Yong yang berjudul Sia Tiauw Eng Hiong. Mengenai keunggulannya dikatakannya bahwa dalam rincian masalah, Kho Ping Hoo tidak mengambil gagasan karya seorang penulis semata-mata. Tidak dapat disangkal bahwa Kho Ping Hoo mempunyai daya ingat yang kuat dan imajinasi yang kaya, yang membuat karya-karyanya mempunyai ciri-ciri tersendiri.
Sejalan dengan kritikan Suryadinata tentang pengaruh dalam karya-karya Kho Ping Hoo, secara umum Claudine Salmon dalam Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu (1985) menyarankan agar kita menelusuri awal mula cerita-cerita silat asli serta mencatat ciri-ciri yang dipertahankan dari contoh-contoh Cinanya dan perubahan-perubahan yang dibuat. Secara khusus, Salmon mengemukakan pengaruh Cina dalam karya Kho Ping Hoo kerap kali membubuhkan judul Cina sesudah judul Indonesia dalam cerita-ceritanya, yang dengan saksama ditekankan, merupakan karya-karya asli ('cerita silat asli').
Dalam buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981—1982 disebutkan bahwa setiap bulan dari mengarang saja ia mampu berpenghasilan dua juta rupiah. Dari hasil menulis, ia berhasil mempunyai percetakan sendiri. Ia mampu menyekolahkan anaknya ke luar negeri. Rumahnya yang berhalaman luas dan sebuah vila di Tawangmangu dibeli dari hasil karangannya.
Dia tidak merokok dan tidak makan daging. Minumnya cuma air putih. Kadang-kadang nyepi, "merenungi misteri Tuhan," katanya. Caranya mengarang gampang saja. Bahan cerita sudah lama mengendap di otaknya. "Begitu menghadap mesin ketik, langsung saya jalan," katanya. Dulu ia sering menyusun sinopsis dulu—meski kemudian tidak dipergunakannya. Istrinya Roos Hwa alias Rosita, dinikahinya tahun 1945. Dia ikut menilai dan menimbang isi bukunya sebelum dibaca umum.
Karya Kho Ping Hoo yang terkenal, antara lain, adalah (1) Patung Dewi Kwan Im (1960. Jakarta: Analisa), (2) Pendekar Bodoh (1961, Tasikmalaya: Gema), (3) Darah Mengalir di Borobudur (1961. Jakarta: Analisa), (4) Badai Laut Selatan (1969. Solo: Gema), (5) Pendekar Super Sakti (1969. Solo: Gema), (6) Perawan Lembah Wilis (1970. Solo: Gema), (7) Istana Pulau Es (1972. Solo: Gema), (8) Bu Kek Siansu (1973. Solo: Gema), (9) Keris Pusaka Nogo Pasung (1980. Solo: Gema), (10) Si Pedang Tumpul (1984. Solo: Gema), dan (11) Asmara Si Pedang Tumpul (1985/1986. Solo: Gema).