Leon Agusta tergolong penyair produktif. Dia banyak menulis sajak dan juga pernah menulis cerita pendek. Anak kedua dari empat bersaudara ini lahir tanggal 5 Agustus 1938 di Sigiran, Maninjau, Sumatra Barat dengan nama Ridwan Ilyas. Di kampungnya, ia dikenal dengan sebutan Ridwan Ilyas Sutan Badaro.
Setelah menulis sajak dan esai, dia mengganti namanya dengan Leon Agusta. Dalam keluarga, hanya ia yang memilih profesi sebagai seniman. Saudaranya yang lain memilih profesi sebagai dosen dan teknisi. Istrinya dua orang. Istri pertamanya, Lisa, yang dinikahinya pada tahun 1966, berasal dari Padang. Istri kedua, Maggie, yang dinikahinya pada tahun 1978, berasal dari Amerika. Lisa mempunyai pekerjaan sebagai penjahit pakaian, sedangkan Meggie bekerja sebagai pengajar LIA (Lembaga Indonesia-Amerika). Meggie menyelesaikan pendidikan di Universitas of Iowa, Jurusan Fine Art. Dari kedua istrinya itu, Leon dikaruniai 11 anak.
Pendidikan formal Leon adalah sekolah pendidikan guru yang pada waktu itu masih bernama SGA. Dia menamatkan sekolahnya pada tahun 1956 di Payakumbuh. Setelah tamat SGA, dia mengajar di SGB (sekolah guru B) dari tahun 1956—1964. Namun, pekerjaannya itu tampaknya tidak sesuai dengan tuntutan jiwanya. Oleh karena itu, ia keluar dari pekerjaannya dan menghabiskan waktunya dengan menulis sajak. Leon menyadari bahwa sebagai penyair, ia tidak dapat menghidupi keluarganya. Itulah sebabnya ia menulis novel, cerita pendek, dan makalah. Selain itu, ia juga menerjemahkan drama dan berbagai tulisan. Tahun 1974, ia mendapat kesempatan tinggal di Malaysia selama tiga bulan atas undangan Study Club Bahasa dan Sastra Universitas Kebangsaan, Kuala Lumpur. Pada tahun 1976 ia mengikuti International Writing Progam di Iowa City, Amerika Serikat. Selama beberapa bulan, sejak Januari 1977, ia berkeliling di beberapa kota pusat teater di Amerika Serikat dan Eropa Barat untuk mengenal kehidupan teater baru dengan grand dari The JDT 3rd Fund, New York. Awal Mei 1977, dia menghadiri Festival Teater Internasional di Nancy, Prancis sebagai observer. Sepulang dari Amerika dan Eropa, ia menulis novel dan cerpen. Akan tetapi, ternyata novel dan cerpennya tidak begitu dikenal jika dibandingkan dengan sajak-sajaknya.
Selain pernah menjadi guru, ia pernah bekerja di night club selama beberapa bulan. Dia juga pernah menjadi wartawan dan redaktur majalah Haluan, Padang. Pada tahun 1971—1974, ia memimpin Bengkel Teater Kota Padang. Di samping itu, ia juga pernah menjadi pengurus Dewan Kesenian Jakarta. Dia juga merupakan salah seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan.
Leon mulai menulis sajak pada tahun 1958. Kepenyairannya tidak muncul secara mendadak, tetapi melalui tempaan demi tempaan yang dilaluinya dengan berbagai pengalaman batin dalam hidupnya. Selain itu, ia lahir dengan latar belakang kebudayaan yang menempatkan puisi sebagai hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Karyanya pernah dimuat di majalah Horison dan beberapa majalah kebudayaan yang terbit di Malaysia, seperti Dewan Sastra, Dewan Masyarakat, dan Dewan Bahasa. Dia juga pernah diundang ke beberapa kota yang ada di Indonesia, Malaysia, dan Amerika untuk membacakan sajaknya.
Leon sering dijuluki sebagai penyair berwajah sayu dengan puisi-puisinya yang melankolis. Menurutnya , nada melankolis pada sajak-sajaknya dipengaruhi oleh latar belakang kehidupannya. Kakaknya, anggota PRRI, meninggal karena ditembak tentara, sedangkan ayahnya dibunuh oleh PRRI dan adik perempuannya diculik PRRI. Peristiwa tersebut membuatnya terpukul. Selain menguasai bahasa Indonesia, ia juga menguasai bahasa Betawi, bahasa Minang, dan bahasa Inggris.
Karya sastra yang dihasilkannya antara lain dimuat dalam 1) Monumen Safari (1963), 2) Lagu Senja dari Tenggara (kumpulan puisi, 1974), 3) Catatan Putih (kumpulan puisi, 1975), 4) Di Sudut-Sudut New York itu (novel, 1977), 5) Di Bawah Bayangan Sang Kekasih (novel, 1978), Sebuah Episode (novelet), 6) Kisah Kepergiannya (novel, 1979), Gaun Baru Buat Nenenda (novel), Lampu Kota Jakarta (novel), 7) Hukla (kumpulan puisi, 1979), 8) Berkemah dengan Putri Bangau (1981), 9) Hedona dan Masochi (kumpulan cerita pendek, 1984), dan 10) Gendeng Pengembara (kumpulan puisi, 2012).
Penghargaan yang pernah diperolehnya adalah penghargaan Honorary Fellow of Writing, The International Writing Program, Iowa City, Iowa, USA (1976).
H.B. Jassin mempunyai kesan bahwa pengungkapan sajak Leon sangat baik, bagus, dengan bahasa yang alegoris, metaforis, dan kiasan-kiasan yang klise (Pelita, 22 November 1977). Menurut Ikranagara (1977), Leon Agusta merupakan bagian organis yang mengukuhkan kesehatan dunia puisi kita karena telah melahirkan kualitas dalam sajak-sajaknya.
Asnelly Luthan (1978) menyatakan bahwa Leon adalah salah satu potret orang Padang. Dia menguasai teknik dan kepintaran berbicara, selain sebagai intelektual yang mempunyai perbendaharaan cukup untuk itu.