Mansur Samin yang mempunyai nama lengkap Haji Mansur Samin Siregar adalah seorang penulis, penulis naskah drama, dan penulis cerita anak. Dia lahir di Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara pada tanggal 29 April 1930 dan meninggal di Jakarta, 31 Mei 2003 sebagai anak keenam dari dua belas bersaudara dari pasangan Haji Muhammad Samin Siregar dan Hajjah Nurhayati Nasution. Pendidikannya hingga tamat Sekolah Rakyat diselesaikannya di daerah perkampungan buruh perkebunan karet milik maskapai Belanda di Batang Toru tempat ini para kuli kontrak asal Pulau Jawa. Oleh karena itu, Mansur samin sejak kecil sudah bisa berbahasa Jawa.
Pendidikan yang pernah ditempuh Mansur Samin adalah Sekolah Rakyat dan setamat dari sekolah itu ia menjadi tentara pelajar dan turut bergerilya di hutan-hutan hingga tahun 1949. Setelah itu, pemerintah memberikan tiga pilihan kepada para pejuang waktu itu, yaitu tetap sebagai anggota TNI, menjadi pegawai pemerintah sipil, atau kembali ke tengah masyarakat dengan tiga kota pilihan, yaitu Jakarta, Solo, atau Denpasar. Mansur Samin memutuskan kembali ke tengah masyarakat sipil dengan pilihan kota Solo, Jawa Tengah, dengan harapan dapat melanjutkan studinya.
Proses kreatif Mansur Samin dimulai sejak 1947 di Batang Toru, yang dimulai dengan menulis sajak. Imajinasinya terinspirasi oleh andung-andung (ratapan rakyat) masyarakat kampungnya yang sengsara karena ditindas penjajah. Riwayat masa mudanya yang "kurang baik", karena perang, menyebabkan kreativitasnya menulis sajak terdunda. Selain tempat kelahirannya, Batang Toru, kota Solo juga menjadi sumber inspirasi bagi Mansur Samin dalam menulis sajak. Ketika ia duduk di SMP, tahun 1952, sajak-sajaknya mulai dimuat di majalah Dwi Warna terbitan Solo. Semenjak berada di kota Solo, ia bertemu dengan beberapa perantau asal Sumatra sehingga menambah semangatnya untuk memulai hidup di kota itu. Di kota ini ia menumpang di rumah kos kenalannya. Sebagai bekas tentara pelajar Mansur Samin diterima di SMP Klitren, Solo dan sebagai perantau, ia harus mengasah otaknya agar ia bisa bertahan hidup. Ia beruntung memiliki seorang guru lulusan AMS bernama Suroso. Pak Suroso inilah yang mengusahakan pekerjaan buat Mansur Samin sebagai "mamang" di sekolahnya, yaitu orang yang bertugas membersihkan ruang kelas dan membuka serta menutup pintu sekolah. Pekerjaan ini menjadi hikmah bagi Mansur Samin karena selain mendapat upah juga ia sering mendapat bocoran soal-soal ujian.
Mansur Samin mulai mencari identitas dirinya berkat nasihat gurunya itu. Bahkan, bakat mengarangnya tetap menjadi dasar keinginannya untuk menekuni dunia sastra. Hal ini ditunjang oleh pengawasan Pak Suroso, sehingga bakat mengarangnya berkembang. Tulisan-tulisannya mulai meramaikan koran dan majalah di kota Solo. Lakonnya, "Bahana Lautan Malam" ditulis berdasarkan pengalamannya ketika ia bekerja mejadi kuli pelabuhan dan kelasi awak kapal. Perjalanan Mansur Samin dari Labuhan Batu, Belawan, Medan hingga sampai di Pulau Jawa merupakan pengalaman hidup yang tak terlupakan. Kota Solo inilah tempat karier Mansur Samin berkembang menjadi sastrawan.
Setamat SMP, Mansur Samin melajutkan studi ke SMA. Keinginnya untuk menulis menjadi semakin nyata. Setamat dari SMA, ia melanjutkan ke Akademi Wartawan Surakarta. Semenjak ia berkuliah di Akademi Wartawan ini, tulisan Mansur Samin semakin beragam. Ia tidak lagi hanya menulis sajak tetapi juga kritik dan esai, sosial budaya, dan politik.
Selain sebagai mahasiswa Mansur Samin juga mengajar sastra di SMP dan SMA swasta di Surakarta selama lima tahun (1953—1958). Selain itu, Mansur Samin juga membagi waktunya untuk tetap aktif menggiatkan dunia sastra di Solo. Bahkan, ia menjadi Redaktur Siaran Sastra RRI Surakarta dan mengasuh sandiwara radio.
Di kalangan sastrawan Mansur Samin juga iakui sebagai deklamator ulung. Dia banyak melakukan kegiatan yang berkenaan dengan sastra, misalnya pernah memimpin Himpunan Peminat Sastra, Surakarta, menulis naskah drama dan menyutradarainya di kalangan remaja dan memimpin pusat pelatihan deklamasi. Bahkan, ia pernah menjadi "guru" membaca puisi bagi W.S. Rendra, D.S. Moeljanto, dan lain-lain. Sebagai seorang deklamator Mansur Samin mampu mengangkat nilai estetik puisi yang dibacakannya. Pada tahun 1953, dalam rangka memperingati hari Chairil Anwar di Solo, ia meraih gelar juara pertama membacakan puisi, sedangkan "sang murid", W.S. Rendra sebagai juara kedua.
Pada tahun 1965 Mansur Samin meninggalkan Solo menuju Jakarta dan di kota ini ia masih tetap menulis. Selain menulis, ia juga menjadi wartawan harian Merdeka dan majalah Cerpen. Ketika masa pergolakan, Mansur Samin semakin giat menulis, baik menulis kritik maupun puisi. Bahkan, ia juga ikut demonstrasi bersama mahasiswa untuk menggulingkan Pemerintah Orde Lama. Kumpulan puisinya Sajak-Sajak Perlawanan pada tahun 1971 diterbitkan oleh Balai Pustaka. Dramanya "Kebinasaan Negeri Senja" (dimuat dalam majalah Horison nomor 4 tahun ke-3, April 1968) merupakan refleksi keadaan carut-marut negeri Indonesia sebagai akibat dari pergolakan politik. Sejak saat itu, H.B. Jassin memasukkan Mansur Samin ke dalam golongan penyair Angkatan 66. Mansur Samin ternyata tidak hanya menulis puisi, tetapi ia juga menulis skenario film dan pada tahun 1971 terpilih sebagai penulis skenario terbaik TVRI. Pada tahun yang sama ia bersama W.S. Rendra membintangi film "Cintaku Jauh di Pulau" yang disutradarai oleh Motinggo Busye. Ia juga dikenal sebagai pengisi suara dalam berbagai film.
Sebagai sastrawan, Mansur Samin juga mempunyai perhatian yang cukup besar dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu, ia menulis cerita anak-anak yang bersumber dari cerita rakyat atau sastra lisan. Menurut Mansur Samin cerita-cerita yang ditulis itu dapat dijadikan bahan mengajar sastra bagi anak-anak SD sampai SLTA. Dia telah berhasil mengumpulkan cerita rakyat dari berbagai daerah di Indonesia lalu disadurnya menjadi cerita anak. Bahkan, Mansur Samin mengemasnya ke bentuk balada dengan judul sajak-sajak Cerita Rakyat. Pada tahun 1982 tujuh judul cerita anak karangannya berhasil masuk dalam Inpres (Instruksi Presiden) pengadaan buku-buku bacaan SD se-Indonesia. Honornya digunakan membeli rumah yang ditempatinya sampai akhir hayatnya di sebuah gang kecil di Jalan Kebun Kelapa, RT 07/RW 11, No. 11, Utan Kayu, Jakarta Timur.
Sajak baladanya yang berjudul "Raja Sisingamangaradja XII" mendapat hadiah kedua majalah Sastra pada tahun 1963. Selain itu, berbagai penghargaan sudah diterimanya, di antaranya dari Perhimpunan Masyarakat Gemar Membaca (PMGM) pada Bulan Buku Tahun 1996 dan Piagam Penghargaan Adikarya IKAPI sebagai Pengarang Pemenang Pertama berupa Buku Bacaan bagi Anak tahun 2001 berjudul Ucok dan si Pelor, yang diterbitkan oleh PD Gunung Jati, Jakarta.
Walaupun tinggal di Solo bertahun-tahun, Mansur Samin tidak tertarik pada gadis Solo. Dia tetap menjemput calon istrinya itu dari Batang Toru. Mansur Samin menikahi Halimah Boru Sihombing, seorang guru SD. Akan tetapi, istrinya yang cantik itu meninggal dunia di usia muda. Mansur Samin di masa tuanya, kakek dari empat cucu, tinggal berdua dengan istri keduanya, Hajah Nur Intan Pohan binti Sutan Sori. Dia dikaruniai empat putra dan satu putri. Dua putranya, Tahta Perlawanan dan Tabah Penemuan, mengikuti jejak sang ayah, dalam seni peran dengan menjadi bintang sinetron.