Martin Aleida adalah nama pena dari Nurlan yang lahir 31 Desember 1943 di Tanjung Balai, Sumatra Utara. Bapaknya seorang haji dan ibunya taat beragama. Dia kawin dengan wanita Solo yang memberinya 4 anak. Martin menamatkan sekolah dasarnya pada tahun 1956, SMP 1959, dan SMA 1962.
Dia pernah mengikuti kuliah di Fakultas Sastra, Universitas Sumatra Utara, tetapi tidak tamat. Dia pernah menjadi reporter majalah Ekspres (1970), wartawan majalah Tempo (1971 1983), dan wartawan mingguan olahraga Bola (1984).
Martin mulai menulis cerita pendek ketika masih duduk di kelas dua sekolah menengah atas kemudian hijrah ke Jakarta tahun 1963 dan menjadi aktivis Lekra. Setelah pecah G-30-S/PKI, 1965, ia kemudian ditangkap tahun 1966 dan ditahan selama beberapa waktu. Setelah berganti-ganti pekerjaan (buruh bangunan, pelayan restoran, penjaga kios, dan pedagang kaki lima), dengan nama pena Martin Aleida ia menjadi wartawan Tempo selama 13 tahun. Ketika indentitasnya diketahui aparat intelijen, ia terpaksa berpindah kerja sebagai staf lokal Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIC) selama 10 tahun.
Cerita-cerita pendeknya dimuat di harian Indonesia Baru Medan, Harian Rakyat, Zaman Baru, Penca, dan Horison. Separuh dari usianya dihabiskan di Jakarta sehingga memperoleh pengalaman yang luas, terutama di bidang jurnalistik. Dia mengerjakan assignment dalam berbagai bidang, tetapi di kalangan rekan-rekannya ia lebih dikenal sebagai wartawan olahraga dan masalah kesehatan untuk majalah Tempo.
Martin yakin bahwa olah raga memberikan kesempatan yang luas bagi seorang penulis untuk mengasah dan mempertajam kepekaan pada detail dan gerak yang membuat bidang kehidupan ini begitu dinamis. Untuk menemukan "roh" seorang pelari jarak jauh dan untuk membuat laporannya lebih hidup, ia turut dalam lima lomba maraton yang masing-masing berjarak lebih kurang 40 km.
Dengan berakhirnya kekuasaan Orde Baru tahun 1998 telah memanggil dirinya untuk menulis cerita-cerita pendek sebagai kesaksian terhadap ketidakadilan dan kekejaman kekuasaan Orde Baru. Tokoh-tokoh ceritanya adalah mereka yang dikucilkan oleh kekuasaan, mereka yang malang, yang oleh kekuasaan dianggap haram.
Buku kumpulan cerita pendeknya ialah (1) Malam kelabu, Ilyana, dan aku (1998), (2) Perempuan Depan Kaca (2000), (3) Leontin Dewangga (2003), (4) Dendam Perempuan (2006), dan (5) Langit Pertama Langit Kedua (2013). Selain buku kumpulan cerpen, Aleida juga menghasilkan novelet Layang-Layang Itu Tidak Lagi Mengepak Tinggi-Tinggi (1999), novel Jamangilak Tak Pernah Menangis (2003), dan Mati Baik-Baik Kawan (2009). Pandangan Aleida tentang sastra, antara lain, dikemukakannya dalam Pengantar Buku Leontin Dewangga. Bagi Martin sastra adalah dimensi tertinggi dari kesaksian tentang hidup-pengalaman fisik atau batin. Di dalam pengantar buku ini juga ditampilkan komentar atau penilaian para sastrawan terhadap karya Aleida. Sastrawan yang sering berkumpul di Taman Ismail Marzuki menyebutkan bahwa cerita-cerita Martin terlalu realis, sesak dengan jurnalisme. Martin mengakui bahwa dirinya tidak punya sesuatu yang hanya berupa angan-angan kosong saja. Martin melalui karyanya ingin menjadi saksi bagi orang-orang yang pantas menerima uluran tangan.
Pada tahun 2004 Martin memperoleh Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa atas karyanya yang berjudul Leontin Dewangga (kumpulan cerpen). Menurut Anwar Kholid, editor buku, dalam Republika 30 Januari 2005, karya Martin ternyata bisa membekas tajam, barangkali karena getir, menghenyakkan, melemparkan dari kenyataan yang menyesakkan. Semua karyanya pasti dinukil dari kehidupan nyata. Tak ada perlambang di dalamnya, semua digarap dengan kesungguhan yang barangkali dapat dikategorikan "mematikan". Hampir semua dalam cerpennya, Martin menulis tentang orang terluka, sederhana, tidak berdaya terhimpit keadaan, ketika melawan malahan jadi bahan tertawaan, atau luka tambah dalam. Tokohnya kadang-kadang hanya bisa diam, mempertahankan keyakinan, ikut rencana yang tak dapat mereka inginkan. Mereka seperti daun terbawa arus air, terus menelusuri selokan, riak-riaknya, kadang-kadang harus tersangkut kawat atau batu. Mereka hanya punya itikad, yang sering tumpul di bawah ancaman kekuasaan , tetapi tokoh-tokohnya bukan ciri mereka yang kalah.
Selanjutnya, Kholid menyatakan bahwa Martin Aleida dulu cukup berhasil menerbitkan cerpen di Horison. Bahasanya kuat dalam gaya tutur yang masih terasa unsur sastra Melayunya. Kenyataan, suasana, keadaannya yang diceritakannya sering sangat mencekam meskipun tokoh tersebut bersih, penuh dedikasi, tanpa pamrih, tetapi pada suatu saat mereka bisa hancur jika menghadapi kenyataan yang sombong dan luar biasa getir. Pada cepen "Elegi untuk Anwar Saedy" atau "Kalau Boleh Kau Kusembah", Martin sangat bagus menunjukkan kualitas dan pekekaan sastranya.