Maria A. Sardjono bernama asli Retno Ambarwati yang merupakan anak pertama dari keluarga Kiswari Suryokusumo, seorang anggota ABRI, dan dilahirkan di Semarang pada tanggal 22 April 1945 kemudian dibesarkan dan sampai kini menetap di Jakarta. Retno Ambarwati mempunyai dua orang adik yang keduanya memakai nama Retno, yaitu Retno Pujiastuti dan Retno Murti.
Sebagai pemeluk Katolik, ia diberi nama pemandian Maria Cecilia, tetapi nama itu tidak pernah dipakai, baik oleh ia sendiri maupun oleh keluarganya. Setelah tamat SGKP, ia menikah dengan A. Sardjono pada tahun 1969 lalu ia memakai nama Maria A. Sardjono. Dari perkawinannya ini Maria A. Sardjono dikaruniai empat orang putera, yaitu Herry, Andhy, Donny, dan Pungky.
Maria menyelesaikan studinya pada program S2 Fakultas Filsafat, Driyakara. Bakatnya sebagai penulis sudah terlihat ketika masih berumur 9 tahun, ketika kelas IV SD Santa Ursula. Pada waktu itu ia memenangi lomba puisi yang diadakan oleh PGRI dengan judul "Melati dan Pahlawanku". Di samping itu, ia juga sudah membuat komik kemudian disebarkan pada teman-temannya. Karena prestasinya bagus dalam menulis, gurunya sering memberikan pujian. Inilah yang mendorongnya untuk bercita-cita menjadi pengarang. Selain mempunyai bakat sebagai pengarang, Maria juga pandai bercerita. Dalam usianya yang masih muda ia pernah mendalang di hadapan para tetangga dan adik-adiknya dan mendapat sambutan yang baik.
Sewaktu duduk di bangku SMP, di Santa Ursula, ia memiliki buku harian untuk menampung tulisannya dari apa yang dilihat, didengar, dan dirasakannya. Waktu pertama kali menulis novel, Maria tak pernah membayangkan dirinya kelak akan menjadi novelis. Jangankan terkenal seperti saat ini, ia beranggapan novelnya tidak akan menarik minat pembaca. Selain itu, ia juga senang membaca buku-buku mengenai kemanusiaan dan kebudayaan. Ia juga menyenangi karya-karya Elizabeth Ashton, Anny Hampson, dan Agatha Christi. Dia juga menyukai karya pengarang-pengarang dalam negeri, antara lain, Nh. Dini karena karya-karyanya komunikatif, Marianne Katoppo karena karya-karyanya banyak mengandung falsafah, dan Yati Maryati Wihardja yang dinilainya punya kekhasan yang tidak dipunyai oleh pengarang lain, yaitu kelembutan.
Dalam menulis Maria A. Sardjono berprinsip tidak mau didikte orang lain. Ia mau menulis kapan saja, tidak bergantung siang atau malam yang penting setelah ia menyelesaikan urusan rumah tangganya. Keproduktifannya memang harus diakui. Hingga kini karyanya berjumlah kurang lebih 80 buku, sebagian dari buku-buku tersebut telah dimuat sebagai cerita bersambung terlebih dulu, 150 cerpen, belasan cerita anak-anak, beberapa naskah sandiwara radio, satu buku ilmiah, dan puluhan artikel tentang berbagai macam topik. Sebagai ibu rumah tangga dan istri yang disibukkan dengan urusan rutin rumah tangga, keproduktifan Maria terasa sangat mustahil. Ia mengaku tidak mempunyai waktu khusus untuk menulis. Setiap ia mendapat ide, langsung menulis, soal bagus atau tidak urusan nanti, yang penting tidak menunda-nunda pekerjaan. Bahkan, Maria merasa senang kalau karangannya dibaca siapa pun, termasuk suami atau anak-anaknya, sebelum karangannya dimuat dalam majalah atau surat kabar.
Novel pertama Maria A. Sardjono adalah Musafir-Musafir Cinta yang diterbitkan oleh penerbit Cypress tahun 1977. Di samping menulis cerpen dan novel, Maria A. Sardjono juga menulis sajak. Akan tetapi, berbeda dengan karya-karya prosanya, sajak yang ditulisnya hanya untuk koleksi pribadi. Bagi Maria menulis puisi lebih mudah karena bebas menuangkan apa saja pengalaman dan perasaannya. Hal ini berbeda dengan jika ia menulis cerpen atau novel. Alasannya adalah karena karya ini akan dibaca banyak orang yang menyangkut norma dan segala macam.
Salah satu novelnya, Serapuh Kelopak Mawar yang diterbitkan majalah Kartini, berisi kisah yang seolah membawa pembaca dalam menyusuri jalan singkat nostalgia masa remaja yang indah. Di samping itu, pembaca dihadapkan pada sebuah cerita tentang suka dukanya anak manusia, seperti penggambaran bagaimana seorang wanita yang tak berdaya dalam menghadapi suatu nilai-nilai kemanusiaan yang paling dalam.
Tokoh-tokoh novel karya Maria A. Sardjono sering tercipta sebagai manusia yang amat sederhana dan lugu. Jika kita berhadapan dengan Maria A. Sardjono, tokoh-tokoh dalam novelnya seolah menjelma menjadi pribadi yang lembut dan terselip beberapa keluguan dalam bersikap.
Karya-karya Maria A. Sardjono, antara lain, adalah (1) "Sesejuk Belaian Angin Gunung" (cerber), dimuat dalam majalah Sarinah, 4—17 Maret 1985, (2) "Menyemai Harapan" (cerber) dimuat dalam majalah Sarinah, 20 Juni—3 Juli 1988 lalu diterbitkan oleh penerbit Alam Budaya, (3) "Kucing Putih Bermata Hijau" (cerpen) mendapat hadiah pertama dalam sayembara majalah Femina tahun 1981, (4) Di Balik Dinding Kelabu (novel) telah difilmkan dengan sutradara Sophan Sophiaan, (5) "Indahnya Cinta" (cerpen), (6) "Tiada yang Seindah Cintaku" (cerpen), (7) "Tergoda" (cerpen), dan (8) "Menjelang Pesta"(cerpen) dimuat dalam Mutiara.
Novel-novelnya yang difilmkan adalah Bukan Isteri Pilihan dibintangi Ita Mustapa, Di Antara Dua Benua disutradarai Mochtar Singodimejo, Serapuh Kelopak Mawar, dan Dalam Kabut dan Badai.
Maria A. Sardjono mengabdikan dirinya di organisasi sosial, antara lain di organisasi Wanita Katolik. Dia juga mengelola majalah Suara Pondok Mawar. Dalam majalah ini ia secara rutin menulis cerpen atau cerbung. Aktivitasnya di organisasi Wanita Katolik menjadikan Maria A. Sardjono sebagai penceramah di berbagai organisasi kewanitaan tentang kehidupan dalam keluarga.