Marah Rusli dianggap sebagai pencetak tradisi sastra Indonesia modern berkat karyanya, Sitti Nurbaya (1922). Marah Rusli dilahirkan pada tanggal 7 Agustus 1889 di kota Padang dalam lingkungan keluarga beragama Islam. Dia meninggal dunia pada tanggal 17 Januari 1968 di Bandung dan dimakamkan di Ciomas, Bogor, Jawa Barat. Dalam dunia karang mengarang, ia pernah memakai nama samaran Sadi B.
Marah Rusli dilahirkan sebagai keturunan bangsawan. Ayahnya bernama Sutan Abu Bakar, seorang demang, dengan gelar Sutan Pangeran, keturuan langsung Raja Pagaruyung. Ibu Marah Rusli berasal dari Jawa dan masih keturunan Sentot Alibasyah, salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Gelar "Marah" untuk Marah Rusli diperolehnya dari ayahnya yang bergelar "Sutan". Menurut adat Minangkabau, anak laki-laki dari seorang ayah yang bergelar Sutan dan ibu yang tidak bergelar, akan bergelar "Marah".
Marah Rusli mengikuti pendidikan pertama di sekolah Melayu Kelas II dan tamat pada tahun 1904 kemudian, ia masuk Sekolah Raja (Hoofden School) di Bukittinggi dan tamat pada tahun 1910. Marah Rusli merupakan murid yang pintar. Oleh sebab itu, gurunya di Sekolah Raja, Hoorsnma, pernah menganjurkan kepadanya agar pergi ke Belanda untuk melanjutkan sekolah. Namun, karena Marah Rusli anak tunggal, orang tuanya tidak menyetujuinya. Lowongan untuk belajar ke Negeri Belanda bagi Marah Rusli itu akhirnya dimanfaatkan oleh Tan Malaka yang pada waktu itu tiga kelas lebih rendah daripada Marah Rusli. Marah Rusli sendiri kemudian masuk Sekolah Dokter Hewan di Bogor dan tamat pada tahun 1915.
Pada tahun 1911, ketika sedang bersekolah di Sekolah Dokter Hewan di Bogor, Marah Rusli kawin dengan seorang gadis Sunda kelahiran Bogor, Nyai Raden Ratna Kencana Wati. Perkawinan tersebut tidak diketahui oleh orang tua Marah Rusli di Padang. Marah Rusli berpendapat bahwa perkawinan itu merupakan jalan untuk sebuah keberhasilan studi. Setelah perkawinan itu diketahui oleh orang-orang di Padang, orang-orang Padang mulai tidak bersimpatik dengan Marah Rusli. Karena perkawinannya itu pula Marah Rusli disisihkan dari ikatan keluarga, bahkan ia dinyatakan keluar dari ikatan kekeluargaan. Dari perkawinan Marah Rusli dengan istrinya itu, Marah Rusli memperoleh tiga orang anak: dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Anaknya yang pertama, Safhan Rusli, menjadi dokter gigi, anaknya yang kedua menjadi brigjen polisi Rushan Rusli, dan anak perempuannya bernama Nani Rusli. Salah seorang cucunya Harry Rusli (meninggal 12 Desember 2004) dikenal sebagai pemusik kondang.
Setelah tamat dari Sekolah Dokter Hewan di Bogor itu, Marah Rusli bekerja sebagai dokter hewan di Sumbawa Besar(1915). Setelah menamatkan studinya di Sekolah Dokter Hewan di Bogor, pada tahun 1915, Marah Rusli pulang ke Padang. Dia tidak dapat mengelak lagi atas rencana orang tuanya untuk mengawinkannya lagi dengan pilihan orang tuanya itu. Pernikahan itu berlangsung dengan perjanjian bahwa setelah peresmian pernikahan, istri yang tidak dikenalnya itu dijatuhi talak tiga. Hal itu membuat orang tua Marah Rusli semakin marah. Oleh sebab itu, Marah Rusli mengambil keputusan untuk kembali ke Bogor dengan segera.
Pengalamannya dalam mengamati kehidupan masyarakat Sumbawa itu terlukis dalam novelnya, La Hami. Pada tahun 1916 Marah Rusli menjadi Kepala Perhewanan di Bima. Kemudian, pada tahun 1918 ia pindah ke Bandung untuk menjabat Kepala Peternakan Hewan Kecil di sana. Tidak lama kemudian, ia pindah ke Blitar dan menjadi Kepala Perhewanan Daerah. Pada tahun 1920 ia ddiangkat menjadi asisten leraar 'dosen' pada Sekolah Kedokteran Hewan di Bogor. Pada tahun 1921 ia menjadi dokter hewan di Jakarta. Empat tahun kemudian, 1925, ia pindah ke Balige, Tapanuli, Sumatra Utara.
Pada masa revolusi Marah Rusli berada di Solo. Dia masuk Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) dengan pangkat mayor untuk urusan pengangkutan angkatan darat, pertanian, perhewanan, dan perikanan, serta urusan pengawetan makanan untuk keperluan ALRI di Tegal. Dia ikut melatih pegawai-pegawai kehewanan dalam urusan-urusan revolusi. Pada tahun 1948 Marah Rusli menjadi dosen Sekolah Tinggi Dokter Hewan di Klaten. Pada tahun 1950 ia menjabat Kepala Perekonomian di Semarang. Selain itu, ia juga mendirikan Voetbalbond 'perkumpulan sepak bola'. Dia juga pernah menjabat sebagai komisaris PSSI di Semarang pada saat itu. Tahun 1951 Marah Rusli pensiun dari dinas dan kembali ke Bogor. Saat itu kesehatannya memburuk. Setelah sehat kembali, ia bekerja di Balai Pusat Penyelidikan Peternakan Bogor (1952—1960).
Walaupun mempunyai keahlian di bidang kedokteran hewan, Marah Rusli menaruh perhatian yang amat besar terhadap dunia sastra dan masyarakat. Memang sejak kecil Marah Rusli gemar mendengarkan tukang kaba mendendangkan kabanya yang berupa dongeng-dongeng yang memberikan wawasan dan pendidikan pada pendengar. Setelah mendapat pendidikan yang tinggi, Marah Rusli mulai melihat kepincangan-kepincangan pelaksanaan adat yang terdapat di Sumatra Barat. Marah Rusli berpendapat bahwa dengan alat tulisanlah pikirannya akan lebih luas diketahui orang. Maka, mulailah ia menulis novel Sitti Nurbaya. Dari keluarganya dan golongan yang kuat berpegang pada adat lama ia mendapat tantangan. Keluarga dan kaum adat itu menyesali munculnya Sitti Nurbaya. Ayahnya sendiri menyesali perbuatannya, mengapa ia berani mengarang novel itu. Namun, dengan terbitnya Sitti Nurbaya itu, Marah Rusli dianggap pelopor kesusastraan Indonesia modern. Ada beberapa karya Marah Rusli yang belum diterbitkan. Karya itu adalah "Memang Jodoh" dan "Tesna Zahera". Karya Marah Rusli yang berupa cerita untuk anak-anak adalah Tambang Intan Nabi Sulaiman. Cerita ini telah diterbitkan dalam bahasa Belanda.
A.Teeuw dalam bukunya Sastra Baru Indonesia 1 (1980:86) menyatakan, bahwa Marah Rusli ternyata sangat banyak menanggung penderitaan dalam kehidupannya karena konflik-konfliknya dengan keluarganya mengenai adat lama. H.B. Jassin dalam bukunya Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia (1983:7) menyatakan bahwa meskipun Marah Rusli secara fisik tidak pernah pergi ke luar negeri, dalam pandangan dan sikap hidupnya banyak terpengaruh oleh bacaan Barat yang memberinya pandangan baru dan sikap-sikap baru sebagaimana tampak dalam karya-karyannya. Hasil karya Marah Rusli yang paling penting adalah novel Sitti Nurbaya. Novel ini diberi anak judul oleh Marah Rusli dengan frase "Kasih Tak Sampai" dan telah dicetak sampai dengan cetakan ke 20 pada tahun 1990. Novel ini sudah difilmkan dalam bentuk sinetron (sinema elektronik). Tokoh rekaan yang diciptakannya, Siti Nurbaya, telah menjadi legenda bagi bangsa Indonesia. Karyanya yang lain adalah La Hami, diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta, 1924. Kemudian, sebuah novel Anak dan Kemenakan terbit lagi pada tahun 1956 oleh Balai Pustaka, Jakarta. Berkat novelnya Sitti Nurbaya, pada tahun 1969, setahun setelah ia meninggal dunia, Pemerintah Republik Indonesia memberikan anugerah sastra sebagai hadiah tahunan pemerintah untuk Marah Rusli. Ada beberapa karya Marah Rusli yang ditolak Balai Pustaka, antara lain Tesna Zahara dan Anak Kandung. Marah Rusli pernah tinggal di Jalan Merdeka 58 A, Bogor.