Motinggo Boesje sebenarnya bukan nama asli, tetapi justru nama itulah yang lebih dikenal daripada nama aslinya, yakni Bustami Djalid. Sastrawan yang lahir di Kupangkota, Lampung ini mempunyai tahun kelahiran dua versi, yakni versi ibunya tahun 1937, sedangkan versi ayahnya tahun 1936. Hal itu berkaitan dengan tes masuk sekolah model dulu, yaitu apabila seorang anak sudah bisa memegang telinga dengan tangan melingkar melewati kepala, berarti anak itu sudah pantas masuk sekolah. Saat itu tangan Motinggo belum bisa memegang telinga sehingga ayahnya memberi komentar bahwa anak ini lahir tahun 1936. Motinggo sendiri lebih senang menggunakan tahun yang bershio tikus (1937) sebab menurutnya shio tikus membawa keberuntungan.
Motinggo Boesje menikah dengan Lashmi Bachtiar, 26 Juli 1962 di Yogyakarta. Dia dikaruniai enam orang anak, empat laki-laki (Ito, Rio, Soni, dan Raf) dan dua perempuan (Vera dan Gina), serta 7 orang cucu. Motinggo meninggal dunia tanggal 18 Juni 1999 pada usia 62 tahun.
Nama Motinggo berasal dari kata bahasa Minang, mantiko yang artinya bengal, eksentrik, suka menggaduh, ada kocaknya, dan ada tak tahu malunya. Hal tersebut disanggah oleh Motinggo Boesje bahwa namanya sama dengan mantiko bungo (mantiko yang seperti bunga bukanlah mantiko yang jelek). Mantiko Bungo kalau disingkat menjadi MB sama dengan singkatan Motinggo Boesje atau secara lengkap nama samarannya adalah Vega Motinggo Boesje. Orang tua Motinggo berasal dari Minangkabau. Ayahnya yang bekerja sebagai klerk KPM di daerah Kupangkota bernama Djalid dengan gelar adat Rajo Alam. Nama lengkapnya adalah Djalid Sutan Rajo Alam. Ibunya bernama Rabi'ah Ja'akub. Kedua orang tuanya meninggal pada tahun yang sama, yaitu 1948 ketika Motinggo baru berusia sekitar 12 tahun. Sepeninggal kedua orang tuanya, ia diasuh oleh neneknya, Aisjah di Bukittinggi. Menurut adat Minangkabau, apabila seorang laki-laki sudah mencapai usia dewasa, ia harus memiliki gelar adat, maka Motinggo pun memakai gelar "Saidi Maharajo".
Motinggo Boesje mengawali pendidikannya di sekolah rakyat (SR) di Bukittinggi kemudian melanjutkan pendidikan ke SMP juga di Bukittinggi. Setelah lulus SMP, ia melanjutkan pendidikan ke SMA yang lebih dikenal sebagai "Sekolah Rajo" Bukittinggi atau SMA Negeri Birugo. Setelah tamat SMA, ia melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tetapi tidak tamat.
Motinggo disebut sebagai anak ajaib di pentas sastra kita sebab pada usia yang masih sangat muda (SMP) karyanya sudah disetujui H.B. Jassin untuk dimuat di majalah Mimbar Indonesia. Karier Motinggo dalam bidang tulis-menulis memang berawal pada saat ia bersekolah di SMP. Pada saat itu, ia sudah belajar melukis kepada pelukis terkenal, Wakidi dan Djufri Sjarif. Kariernya di bidang seni lukis makin lama makin meningkat, terutama setelah Motinggo berada di Yogyakarta. Hal itu berkaitan dengan pendapatnya, bahwa Yogya banyak dihuni seniman dari berbagai bidang yang membuat Motinggo betah dan berkembang pesat pada tahun 1960-an. Interaksinya dengan bidang sastra (novel, cerita pendek, puisi), seni rupa, teater dan film, serta jurnalistik memperkaya dan mengembangkan bakat Motinggo dari berbagai segi. Setelah ia pindah ke Jakarta, bakatnya pun lebih berkembang lagi.
Sebagian besar karya-karya Motinggo sekitar tahun 1965 membicarakan persoalan hidup yang dilatarbelakangi oleh kehidupan masyarakat di Yogyakarta. Latar kehidupan itu tercermin dalam kumpulan cerita pendeknya Keberanian Manusia (1962). Setelah Motinggo Boesje tinggal di Jakarta, karya-karya terbarunya kebanyakan berlatar kehidupan daerah metropolitan Jakarta dan Bandung yang diwarnai kehidupan kaum elite.
Dia juga tidak hanya menulis karya yang berbentuk prosa dan drama, tetapi juga menulis puisi. Karya-karya itu diterbitkan dalam majalah, antara lain Mimbar Indonesia dan Budaja. Karya Motinggo sebelum tahun 1965 telah menarik minat orang asing sehingga sebagian karyanya pernah diterjemahkan oleh orang asing itu. Satu di antara karya yang pernah diterjemahkan ke dalam bahasa asing ialah novel Malam Pengantin di Bukit Kera yang diterjemahkan ke dalam bahasa Chekoslovakia. Kemudian, dramanya Malam Djahanam, pernah dipentaskan di Universitas Pasadena, Amerika Serikat.
Karyanya Malam Djahanam pernah mendapat hadiah pertama dalam Sayembara Penulisan Drama, Bagian Kesenian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1959. Cerpennya yang berjudul "Nasehat buat Anakku" mendapatkan hadiah dari majalah Sastra tahun 1962. Cerpennya "Bangku Batu" juga mendapat hadiah keempat Sayembara Cerpen Horison 1997.
Kehidupan Motinggo Boesje setelah tahun 1965 mulai berubah karena pengaruh tekanan ekonomi, sehingga latar kehidupan dalam karyanya pun ikut berubah. Dia mulai mengikuti perkembangan masyarakat sehingga karyanya pun disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dia mulai menulis karya dengan dibumbui unsur erotisme sesuai dengan perkembangan masyarakat metropolitan pada masa itu. Sekitar tahun 1960 karyanya masih terbebas dari unsur erotisme. Perubahan itu dipengaruhi oleh tekanan ekonomi dan kebutuhan hidup sehingga jiwa dagangnya keluar dan ia menciptakan tulisan yang laku keras, khususnya di kalangan kaum muda, sekitar tahun 1968 sampai tahun 1970-an.
Motinggo mengakui bahwa jiwa kepengarangannya dipengaruhi beberapa sastrawan Barat dan Indonesia. Misalnya, ketika ia menulis cerita pendek, teknik yang digunakannya dipengaruhi oleh pengarang Maupasant. Dalam menampilkan watak tokoh cerita, Motinggo secara tidak langsung dipengaruhi oleh sastrawan Rusia, Anton P. Chekov. Selain itu, ia juga mengagumi novelet John Steinback.
Pengarang Indonesia yang dikaguminya saat itu adalah Pramoedya Ananta Toer. Dalam menuliskan gaya dan dialog, Motinggo mengagumi gaya sastrawan Ernest Hemingway yang dinilainya naturalis. Ketika menulis puisi, secara tidak langsung ia dipengaruhi oleh penulis Amerika Serikat. Dia tidak bisa menyebutkan siapa penyair dari negara tersebut yang dapat menggetarkan jiwanya. Namun, Motinggo mempunyai pendirian bahwa dirinya tidak suka menciptakan dan mementaskan drama yang "absurd" seperti yang dilakukan Chekov pada naskah dramanya yang baru.
Setelah tahun 1970-an, karya-karyanya mulai surut. Hal itu disebabkan oleh banyaknya tanggapan dari masyarakat pembaca yang mengkritik karyanya tahun 1968—1970. Sebagai pengarang, tentu Motinggo Boesje tidak terlepas dari kritikan masyarakat penikmat sastra. Sebagian orang mengatakan bahwa karya Motinggo merupakan karya "picisan" dan sebagian lagi mengatakan bahwa karyanya itu sebagai karya "pornografis". Motinggo menyadari penilaian semacam itu dan ia ingin mencoba lagi untuk menciptakan atau menulis karya yang di dalamnya terbebas dari unsur erotisme, seperti karyanya tahun 1965-an. Hal itu masih belum dapat dilakukan karena ia merasa gagal atas karyanya sehingga timbullah penilaian semacam itu dari masyarakat pembaca. Dalam menghadapi penilaian seperti itu, Motinggo pernah menegaskan bahwa sebagai seorang pengarang, ia harus bersedia memikul risiko kritikan karena seniman bukan meminta pengakuan dari satu zaman yang tercatat (Mingguan Srikandi, Tahun. III, No.115, Jakarta 7 Desember 1969).
Tahun 1972 ia mulai menekuni dunia perfilman dengan menulis skenario film dan menyutradarainya. Film-film yang pernah disutradarai pada awal kariernya itu adalah Biarkan Musim Berganti, Cintaku Jauh di Pulau, dan Takkan Kulepaskan.
Sebagai pengarang dan sutradara film, Motinggo pernah mengunjungi beberapa negara, seperti Jepang, Thailand, Australia, dan Singapura. Kunjungannya itu dilakukan untuk menunjang kariernya dan menambah wawasannya, baik sebagai pengarang, penulis skenario film, maupun sebagai sutradara film.
Tahun 1994 Motinggo Boesje dan istrinya menunaikan ibadah haji. Menurut Taufiq Ismail (1999), perjalanan haji mereka merupakan pencerahan batin luar biasa. Sepulang dari Tanah Suci, ia menulis Purnama di atas Masjidil Haram.
Dalam peta sastra Indonesia Motinggo Boesje digolongkan oleh Ajip Rosidi sebagai pengarang periode 1953—1961. Motinggo Boesje, pernah bekerja di Penerbit Nusantara (1961—1964) sebagai Redaktur Kepala. Dia juga pernah menjabat Ketua II Koperasi Seniman Indonesia.
Karya-karya Motinggo Boesje sangat banyak, beberapa di antaranya adalah puisi (1) "Djalan Rata Kepegunungan", Budaja, Maret/April 1957, (2) "Kota Kami Dahulu", Budaja, Maret/ April 1957, (3) "Ulang Tahun", Budaja, Maret 1958, (4) "Ibu", Budaja, April/Mei 1959, (5) "Kepada Potret Abadi", Budaja, Agustus 1959, (6) "Madjenun-Madjenun", Budaja, Agustus 1959, (7) "Perpisahan", Budaya, Agustus 1959, (8)"Lalu Sepi", Minggu Indonesia Raja, Agustus 1969, dan (9) Aura Para Aulia (kumpulan puisi); drama (1) "Malam Djahanam", Budaja, Maret/April 1959, (2) "Barabah", Budaja, April/Mei 1961, (3) Badai Sampai Sore, Jakarta: Mega Books, 1963, (4) Malam Pengantin di Bukit Kera, Jakarta: Mega Books, 1963, dan (5) Njonja dan Njonja, 1963. Jakarta: Mega Books. Naskah drama karya Motinggo yang ditulisnya di masa SMA ada dua yaitu "Tom dan Desi" dan "Bangau di Atas Danau"; cerita pendek (1)"Bapak" (terjemahan), Budaja, November/Desember 1957, (2) Keberanian (kumpulan cerita pendek), Jakarta: Nusantara, 1962, (3) Nasehat untuk Anakku (kumpulan cerita pendek), Jakarta: Mega Books, 1963, (4) "Pidato Seorang Ajah", Sastra, Maret 1962, (5) Matahari dalam Kelam (kumpulan cerita pendek), Jakarta: Nusantara, 1963, (6) "Perempuan-Perempuan Pemarah", Minggu Berita Indonesia, 26 November 1969, (7)"Streptomisin", Yudha Minggu, 14 November 1969, dan (8) Dua Tengkorak Kepala (kumpulan cerita pendek), Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999; novel (1) Tidak Menjerah. 1962. Jakarta: Nusantara, (2) Tiada Belas Kasihan. 1963. Jakarta: Pusaka Nina, (3) 888 Djam Dilautan. 1963. Jakarta: Mega Books, (4) Perempuan itu Bernama Barabah. 1963. Jakarta: Nusantara, (5) Batu Serampok. 1963. Jakarta: Aryaguna, (6) Dosa Kita Semua (1963), (7)Hari Ini Tak Ada Cinta (1963), (8) Sejuta Matahari (1963), (9) Penerobosan di Bawah Laut (1964), (10) Titian Dosa di Atasnya (1964), (11) Cross Mama (1966), (12) Tante Maryati (1967), (13) Sri Ayati (1968), (14) Retno Lestari (1968), (15) Dia Musuh Keluarga (1968), (16) Dalam Genggaman Tjinta. 1966. Jakarta: Lokajaya, (17) Karena Njala Kasihmu. 1966. Jakarta: Lokajaya, (18) Tak Berhati. 1968. Jakarta: Budayata, (19) Neraka Lampu Biru. 1968. Jakarta: Buaya, (20) Djeng Mini. 1969. Jakarta: Lokajaya, (21) Sanu Infinita Kembar. 1985. Jakarta: Gunung Agung, dan (22) Madu Prahara (1985); karya film (1) Biarkan Musim Berganti, 1971, (2) Tjintaku Djauh Dipulau, 1972, dan (3) Takkan Kulepaskan, 1973; karya esai/kritik (1) "Hasil Seni Modern", Sastra, No. 2, 1962, (2) "Sebagai Pengarang .... Berseia Pikul Resiko Kritik", Mingguan Srikandi, 1969, (3) "Tema-Tema jang Saja Pilih" (Sebuah referen ceramahnya di Taman Ismail Marzuki), 9 September 1969, dan (4) "Film 'Jane Eyre' dan harlotte Bronte", Sinar Harapan, 5 April 1973.