Mira W. atau Mira Wijaya merupakan satu di antara wanita pengarang yang sukses, baik dalam karya maupun materi. Dalam berkarya semula ia memakai nama M. Wijaya, tetapi atas anjuran redaksi majalah Dewi yang memuat cerpen Mira, antara lain "Krontrak Perkawinan" nama tersebut diganti menjadi Mira W. karena nama M. Wijaya seperti nama laki-laki.
Dia lahir pada tanggal 13 September 1950 di Jakarta dan merupakan anak bungsu 5 bersaudara dari pasangan Othnil Wijaya dan Vitalia. Nama akhir ayahnya itulah yang digunakan Mira di belakang namanya dengan singkatan W. Sang ayah adalah seorang produser film yang ikut menggerakkan film Indonesia pada awal perkembangannya. Film karya ayah Mira, "Lutung Kasarung", muncul tahun 1926 dan sampai saat ini dianggap sebagai film Indonesia yang pertama. Sejak kecil, Mira suka mengikuti ayahnya menonton syuting dan ketika menginjak remaja, ia suka memberi masukan untuk tim ayahnya. Akhirnya, ia sering dilibatkan ayahnya dalam diskusi untuk mengomentari sebuah film. Ternyata, pengalaman Mira ikut sang ayah turut mempengaruhi proses kreativitasnya sehingga karya-karyanya mudah diangkat ke sinetron.
Pendidikan yang pernah ditempuh oleh Mira W. adalah TK, SD, dan SMP di Santa Maria Fatima dan SMA di Marsudirini, sekolah Katolik di Jakarta. Gelar dokter diraihnya tahun 1980 dari Fakultas Kedokteran, Universitas Trisakti Jakarta. Setelah itu, ia menjalani ikatan dinas di Riau, Pekanbaru, selama 3 tahun. Sekembalinya dari Riau, Mira menghasilkan novel trilogi yang berjudul (1) Tersuruk dalam Lumpur Cinta (2) Di Bahumu Kubagi Dukaku (3) Jangan Biarkan Aku Melangkah Seorang Diri. Dia begitu konsisten dalam berkarya padahal profesinya tidak hanya sebagai pengarang.
Mira W. menjadi dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Moestopo Beragama, Jakarta. Selain itu, ia juga membuka praktik pribadi sebagai dokter di Jalan Jatinegara I, Jakarta Timur. Dengan demikian, dalam berkarya ia mampu menggambarkan pergumulan psikologis tokoh-tokohnya dengan baik. Semua itu didapatkannya dari disiplin ilmunya sebagai dokter yang paham betul tentang psikiatri dan psikologi. Profesinya sebagai dosen sekaligus sebagai dokter memang saling mendukung. Misalnya, ketika ada pasien yang berkepribaian ganda, ia tidak kesulitan lagi menggambarkan watak tokoh cerita yang mempunyai kelainan seperti pasiennya. Novelnya yang berjudul Seruni Berkubang Duka banyak menyimpan pelajaran yang dapat dijadikan contoh dan teladan bahwa setiap tindakan yang jahat pasti akan terbongkar.
Berpuluh-puluh novelnya sebagian besar telah dilayarperakkan dan beberapa di antaranya berhasil meraih piala citra. Dia berkiprah sejak tahun 1970-an. Saat itu cerpennya yang berjudul "Benteng Kasih" memenangi lomba mengarang cerpen majalah femina tahun 1975.
Dia memiliki kelebihan yang mungkin tidak dimiliki pengarang wanita lainnya. Mira W. bukan hanya jeli melihat permasalahan, melainkan juga mampu mengadaptasi setiap suasana, sehingga suasana tersebut menjadi terasa hidup dalam karya-karyanya. Tahun 1977 cerbernya yang berjudul "Dokter Nona Friska" dan "Jangan Pergi, Lara" dimuat di majalah Dewi. Sejak Maret 1978, hampir selama dua tahun, ia memfokuskan diri menulis cerpen di majalah wanita, antara lain, femina, Gadis, Shinta, Kartini, Puteri, Anita, dan Vista.
Setelah karyanya cukup banyak dimuat, barulah ia merasa tertantang menulis di media lain, seperti harian Kompas. Tahun 1978 itu pula cerbernya yang berjudul "Sepolos Cinta Dini" dimuat di harian Kompas. Sejak saat itu, karier Mira W. melonjak dan penerbit Gramedia menawarkan cerber "Sepolos Cinta Dini" diterbitkan dalam bentuk novel. Akhirnya, Gramedia menjadi langganan utama Mira sebagai penerbit karyanya yang memang sejak memulai kariernya sebagai pengarang, ia belum pernah ditolak oleh penerbit. Penerbit selalu saja menyukai karyanya. Begitu pula para produsen film dan sinetron. Karya-karya Mira memang mudah diangkat ke layar lebar ataupun sinetron karena baik konflik maupun alurnya menarik.
Sebagai seorang pengarang, Mira W. sangat produktif. Selama 25 tahun menekuni penulisan fiksi, ia telah menghasilkan kurang lebih 50 buah novel dan 8 buah kumpulan cerpen. Sebagian besar novelnya sebagaimana telah disinggung didepan telah difilmkan.
Novel-novel Mira W. yang telah difilmkan itu adalah sebagai berikut. (1) Bilur-Bilur Penyesalan yang diadaptasi dengan judul "Cinta Tak Pernah Salah" dan ditayangkan di RCTI mulai 5 September 2000 sebanyak 26 episode disutradarai Sam Sarumpaet, (2) Perisai Kasih yang Terkoyak diangkat ke film secara mengagumkan dengan sutradara Hadi Purnomo, (3) Luruh Kuncup sebelum Berbunga difilmkan dan disutradarai oleh Sophan Sophiaan dengan judul diubah menjadi "Sesaat dalam Pelukan", (4) Dari Jendela SMP difilmkan menjadi film berjudul "Biarkan Kami Bercinta", (5) Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi disinetronkan di RCTI, (6) Matahari di Batas Cakrawala, (7) Ketika Cinta Harus Memilih, (8) Tali Kasih, (9) Jangan Ucapkan Cinta, (10) Arini, (11) Biarkan Kereta itu Lewat, (12) Merpati Tak Pernah Ingkar Janji, (13) Kemilau Kemuning Senja, (14) Lembah Dosa, (15) Permainan Bulan Desember menjadi film berjudul "Bidadari-Bidadari dari Surga".
Ketenaran dan prestasi Mira W. juga terlihat dari novel-novelnya yang mengalami cetak ulang hingga 7—8 kali. Bahkan, novelnya yang berjudul Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi dan Ketika Cinta Harus Memilih, selain sudah diangkat ke layar lebar juga mengalami cetak ulang sampai 11 kali. Pada usianya yang memasuki setengah abad Mira W. tetap konsisten produktif. Setiap tahun minimal ia meluncurkan satu novel.