N. Riantiarno adalah salah satu sutradara, aktor panggung, dan penulis lakon ternama di Indonesia. Pria kelahiran Cirebon, Jawa Barat, pada tanggal 6 Juni 1949 ini mengaku bahwa dirinya baru mengenal dunia teater setelah duduk di bangku SMU kelas dua, saat bergabung dengan kelompok kesenian Tunas Tanah Air Cirebon pada tahun 1965/1966. Konon, kegiatan seninya justru iawali melalui puisi dan cerpen, ketika ia masih duduk di bangku SLTP.
Setelah tamat SMU (pada tahun 1967), N. Riantiarno yang sering dipanggil Nano, memutuskan untuk meneruskan ke Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) di Jakarta, seangkatan dengan Slamet Rahardjo dan Boyke Roring. Di sela-sela kesibukannya kuliah di ATNI itu ia menyempatkan diri berguru kepada Arifin C. Noer dengan menjadi anggota Teater Kecil. Meskipun tidak lama bersama Teater Kecil, di tempat itulah Nano menemukan jodohnya, Ratna Madjid, yang beberapa tahun kemudian (tepatnya pada hari Jumat, 28 Juli 1978) dinikahinya. Dari pernikahan mereka yang dihadiri Teguh Karya dan Rima Melati sebagai saksi itu, secara berturut-turut, lahir Rangga Buana (22 tahun), Rasapta Candrika (16 tahun), dan Gagah Tridarma Prasetya (11 tahun).
Ketika Teguh Karya membuka kursus akting sebagai kegiatan ekstrakurikuler di ATNI, Nano bergabung ke sana bersama Slamet Rahardjo dan Boyke Roring. Meskipun kegiatan ekstrakurikuler itu tidak berlanjut, Nano tetap bergabung bersama Teguh Karya, yang kemudian mendirikan Teater Populer (tahun 1968). Di Teater Populer ini pun Nano tidak bertahan lama. Anak petugas PPKA (pimpinan perjalanan kereta api) di stasiun Ketanggungan, Cirebon, itu pun kemudian mendirikan kelompok teater baru yang diberi nama Teater Koma. Kata koma, menurut Nano, berarti 'berkesinambungan, tidak pernah akan selesai, tidak pernah titik'. Melalui kelompok inilah nama N. Riantiarno melambung sebagai salah satu tokoh teater Indonesia. Hingga 23 tahun usia Teater Koma (didirikan pada 1 Maret 1977) sudah 85 produksi yang mereka persembahkan kepada khalayak. Sebuah prestasi yang luar biasa untuk dunia perteateran Indonesia.
Sebagai penulis, peserta International Writing Program tahun 1978 di Iowa University, Amerika Serikat dan International Word Festival tahun 1987 di Canberra, Australia, ini sudah melahirkan lima puluhan naskah drama, tiga puluhan skenenario film, dan beberapa novel serta cerpen. Beberapa karyanya itu sempat memperoleh penghargaan di berbagai sayembara. Pada tahun 1972, 1973, 1974, dan 1975, misalnya, Nano pernah meraih penghargaan dari Sayembara Penulisan Naskah Drama yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Skenario filmnya yang berjudul "Jakarta, Jakarta" pun meraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia 1978 di Ujung Pandang, untuk kriteria penulisan skenario film terbaik. Begitu pula dua novelnya, Ranjang Bayi dan Percintaan Senja, mendapat penghargaan dari Sayembara Novel Majalah femina dan Kartini. Sementara itu, sebuah karya sinetroniknya yang berjudul Karina juga meraih Piala Viia pada Festival Film Indonesia 1987. Bahkan, naskah dramanya yang berjudul Semar Gugat pada tahun 1988 telah mengantarnya ke Bangkok untuk menerima penghargaan SEA Write Award dari Raja Thailand.
Di samping memimpin Teater Koma, N. Riantiarno juga bekerja di beberapa tempat. Ia ikut mendirikan majalah Zaman dan bekerja sebagai redaktur (1979—1985). Ia pun pernah duduk sebagai Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (1985—1990) dan menjadi anggota Komite Artistik Seni Pentas untuk Kesenian Indonesia di Amerika Serikat (KIAS) pada tahun 1991—1992. Kini, ia masih menjadi Pemimpin Redaksi majalah Matra dan oleh pemerintah dipercaya untuk memimpin Teater Tanah Air yang berada di kompleks Taman Mini Indonesia Indah.
Kegiatan lain yang sering dilakukan N. riantiarno adalah menjadi pembicara. Makalah-makalahnya (tentang teater modern Indonesia) pernah ia bacakan, antara lain, di Cornell University, Ithaca, USA (pada tahun 1990) dan di Sydney University of New South Wales-Sydney, Monash University, universitas di Adelaide, serta universitas di Pert pada tahun 1992. Selain itu, Nano pun pernah melakukan kunjungan budaya ke negara-negara, seperti Mediterania, Skandinavia, Jerman, dan Cina. Pada tahun 1987, atas undangan Japan Foundation, ia berkeliling Jepang untuk bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh teater yang ada di negeri itu.
Sebagai penulis lakon sekaligus sutradara, N. Riantiarno dapat menempatkan dirinya sebagai penulis dan sutradara teater yang mampu membaca keinginan dan harapan penontonnya. Hal itu terbukti pada setiap grup teaternya (Teater Koma) berpentas selalu dipadati penonton.
Selama sepertiga abad menekuni teater, perjalanan hidup anak kembar (sayang adik kembarnya, Pujo Purnomo alias Jendil, meninggal) ini bagaikan lukisan mosaik penuh warna. Berkah dan kemalangan datang silih berganti. Di samping merasa bahagia jika dapat memuaskan penontonnya, Nano pun sering dibuat pusing atas pelarangan sejumlah pementasannya. Pementasan Suksesi, misalnya, dilarang berlanjut setelah sebelas hari dipentaskan di Taman Ismail Marzuki pada bulan Oktober 1990. Begitu pula pementasan Opera Kecoa yang direncanakan berlangsung pada tanggal 27 November—7 Desember 1990. Ketika itu, lakon tersebut terpaksa dibatalkan pementasannya karena dilarang Pemerintah. Dengan adanya pelarangan itu, lakon tersebut juga batal dipentaskan di tiga kota di Jepang (Tokyo, Osaka, dan Fukuoda), yang semula direncanakan akan berlangsung pada tanggal 22 Februari—7 Maret 1991. Padahal, Opera Kecoa pernah dipentaskan di dua kota (Jakarta dan Bandung) pada tahun 1985, 11 hari di Jakarta dan 3 hari di Bandung. Beberapa karyanya berupa naskah drama, yakni Trilogi Opera Kecoa: Bom Waktu, Opera Kecoa, Opera Julini, (drama), Opera Primadona, drama, Pustaka Kartini, Semar Gugat, drama, Pustaka Bentang, Cinta Yang Serakah, drama, Pustaka Bentang, Opera Ikan Asin, drama, Pustaka Jaya, Konglomerat Burisrawa, drama, Teater Koma, Sampek Engtay, drama, Pustaka Jaya, Suksesi, drama, Teater Koma, Republik Bagong, drama, Galang Press, Time Bomb and Cockroach Opera, drama, Bahasa Inggris, Lontar, Opera Sembelit, drama, Balai Pustaka, Maaf. Maaf. Maaf. Politik Cinta Dasamuka, drama, Gramedia (2005). Yang berupa novel, antara lain adalah Percintaan Senja, novel, Majalah Kartini, Cermin Merah, novel, Grasindo (2004), Cermin Bening, novel, Grasindo (2005), Fiksi di Ranjang Bayi, kumpulan cerpen dan novelet, Kompas (2005), Primadona, roman, Gramedia (2005), Cermin Cinta, novel, Grasindo (2006). Yang berbentuk esai, antara lain berjudul Teguh Karya dan Teater Populer, Sinar Harapan, Menyentuh Teater: Tanya Jawab Seputar Teater Kita, panduan teater bagi para pekerja seni pertunjukan, Sampurna (2003).