O.R. Mandank adalah penyair tahun 1930-an, banyak menulis dalam majalah Pandji Poestaka. Nama sebenarnya adalah Oemar Gelar Datoek Radjo Mandank, lahir di Kota Panjang, Suliki, Sumatra Barat, tanggal 1 Januari 1913 dan meninggal tanggal 26 Desember 1995 di Jakarta dalam usia 82 tahun. O.R. Mandank menikah dan mempunyai dua orang anak laki-laki dan satu orang perempuan serta beberapa cucu.
Dia mengawali pendidikannya di Sekolah Guru Normal, Padang Panjang, tahun 1928 dan tamat tahun 1932. Setelah mendapat ijazah Sekolah Guru Normal, O.R. Mandank mengajar di beberapa tempat di Sumatra Barat, dan kemudian ia pindah ke Medan. Di Medan O.R. Mandank mengajar di sekolah Yayasan Muhammadiyah, tahun 1936—1941. Di samping itu, ia juga mengajar di Sekolah Landschap. O.R. Mandank kembali lagi ke Sumatra Barat, kemudian ia mengajar di beberapa sekolah.
O.R. Mandank memeluk agama Islam, tetapi beberapa sajaknya dianggap mengkritik para ulama. Kumpulan puisinya yang terkenal berjudul Sebab Aku Terdiam (1939), memuat 33 sajak. Dalam kumpulan sajak ini tercantum semboyan yang ditulis O.R. Mandank yang berasal dari firman Tuhan, "Adakah kamu menyuruh manusia berbuat kebaikan dan kamu lupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab: Tiadakah kamu berakal?" Sebelum dibukukan, puisi-puisi O.R. Mandank dimuat dalam majalah Pandji Poestaka, Poedjangga Baroe, Penindjauan, dan Pedoman Masjarakat. Kumpulan sajaknya yang berjudul Sebab Aku Terdiam diterbitkan oleh Pustaka Kita, Medan, tahun 1939.
Selain menulis puisi, O.R. Mandank juga menulis cerpen dan novel yang berjudul Narumalina, diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta, tahun 1932. Novelnya yang lain berjudul Pantun Orang Muda, diterbitkan di Medan tahun 1939.
Karya-karya O.R. Mandank corak keislamannya tidak begitu jelas, tetapi ia dapat dimasukkan ke dalam barisan pujangga sastra Islam (H.B Jassin Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai I, 1985, Jakarta, Gramedia).
J.S. Badudu dkk. menyatakan bahwa ketika menulis puisi, O.R. Mandank kadang-kadang menggunakan nama samaran, seperti Ketjoeboeng, Kris Yogi, dan Lalanang. Dengan nama Ketjoeboeng ia menulis "Bangsa Tanggoeli", dengan nama Kris Yogi ia menulis (1) "Iboekoe", (2) "Pagi Ilahi", (3) "Tempat-Nja", (4) "Lagoe Kampoeng", (5) "O, Rang Seberang", (6) "Doea Sedjoli", dan (7) "Kenangan". Puisi-puisi ini dimuat dalam Pedoman Masjarakat awal paruh kedua 1930-an. Dengan nama Lalanang S.S. ia menulis (1) "Djadi Nelajan", (2) "Boenga Djelita", dan (3) "Ke Raboel Alamin" dalam Poedjangga Baroe.