Remy Sylado mempunyai nama lengkap Yusbal Anak Perang Imanuel Panda Abdiel Tambayong. Dia lahir 12 Juli 1943 di Malino, Makasar, Sulawesi Selatan, dari keluarga gereja Christian and Missionary Alliance. Ayahnya bernama Johannes Hendrik Tambajong dan ibunya Juliana Caterina Panda. Istri Remy Silado bernama Maria Louise Tambayong. Mereka tinggal di rumah ketiganya di Bogor dengan luas bangunan 220 meter persegi di atas tanah seluas 4000 meter, di jalan Cikakawang dekat kampus IPB Darmaga.
Seniman serba bisa ini memiliki berbagai profesi yakni penyair, novelis, cerpenis, dramawan, kritikus sastra, pemusik, penyanyi, penata rias, aktor, ilustrator, wartawan, dan dosen. Berkaitan dengan dunia tulis- menulis, Remy tidak lepas dari riset yang mendalam. Bahkan, ia memburu bahan-bahan untuk novelnya sampai ke perpustakaan luar negeri.
Remy dikenal sebagai pelopor puisi mbeling. Puisi mbeling adalah bagian gerakan mbeling yang dicetuskan Remy Sylado; suatu gerakan yang dimaksudkan untuk mendobrak sikap rezim Orde Baru yang dianggap feodal dan munafik. Benih gerakan ini mulai disemaikan oleh Remy Sylado pada tahun 1971 ketika ia mementaskan dramanya yang berjudul Messiah II di Bandung. Namun, waktu itu istilah mbeling belum diperkenalkan. Istilah itu baru dipopulerkan pada tahun 1972 ketika Remy mementaskan dramanya Genessis II di Bandung. Dalam undangan pertunjukan drama itu Remy menyebut teaternya sebagai teater mbeling.
Yang hendak didobrak gerakan puisi mbeling adalah pandangan estetika yang menyatakan bahwa bahasa puisi harus diatur dan dipilih-pilih sesuai dengan stilistika yang baku. Pandangan ini, menurut gerakan puisi mbeling, hanya akan menyebabkan kaum muda takut berkreasi secara bebas. Bagi gerakan puisi mbeling bahasa puisi dapat saja diambil dari ungkapan sehari-hari, bahkan yang dianggap jorok sekalipun. Yang penting adalah apakah puisi yang tercipta dapat menggugah kesadaran masyarakat atau tidak, berfaedah bagi masyarakat atau tidak. Pendek kata, dalam kamus gerakan puisi mbeling tidak ada istilah major art atau minor art.
Dalam salah satu kata pengantarnya di rubik "Puisi Mbeling", sebagaimana dicatat oleh Sapardi Djoko Damono, Remy mengungkapkan bahwa dramawan dan penyair Rustandi Kartakusuma menjadi frustrasi karena karya-karyanya tidak dibicarakan H.B. Jassin. Oleh karena itu, dalam nasihatnya kepada kaum muda calon penyair, Remy menegaskan, "Kamu jangan tawar hati jika puisimu tidak ditanggapi. Satu sikap yang harus kaumiliki sekarang adalah bagaimana kautampilkan di muka untuk sekaligus membicarakan puisimu." Lebih jauh Remy mengatakan, "Puisi adalah pernyataan akan apa adanya. Jika puisi adalah apa adanya, dengan begitu terjemahan mentalnya hendaknya diartikan bahwa tanggung jawab moral seorang seniman ialah bagaimana ia memandang semua kehidupan dalam diri dan luar lingkungannya secara menyeluruh, lugu, dan apa adanya. ... Tetapi tanggung jawab penyair yang pertama adalah bahwa sebagai seniman, ia harus memiliki gagasan."
Remy menamatkan sekolah dasarnya di Makasar. Pada tahun 1954 ia melanjutkan sekolahnya ke Semarang dan lulus SMA tahun 1959. Di Semarang ia sempat bermain drama berjudul "Midsummer Night's Dream" karya Shakespeare. Tahun 1959—1962 ia belajar di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), Solo, dan di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), Solo, kemudian Akademi Bahasa Asing (Jakarta).
Kegiatan di bidang jurnalistik, antara lain, menjadi wartawan harian Sinar Harapan (1963—1965), menjadi Redaktur Pelaksana harian Tempo di Semarang (1965—1966), majalah Top (1973—1976), majalah Fokus (1982—1984), dan Redaktur majalah Vista (1984—...). Dia juga menjadi dosen di Akademi Sinematografi Bandung sejak tahun 1971. Dia adalah redaktur pertama rubik "Puisi Mbeling" dalam majalah Aktuil di Bandung (1972—1975).
Bulan Agustus 1968 ia berkunjung ke Bandung dan bertemu dengan Fred Wetik, salah seorang tokoh di Akademi Teater dan Film (ATF) Bandung. Pada tahun itu Jim Lim (pemimpin ATF) sudah berangkat ke Perancis. Grup Teater 23761 (Remy Sylado) baru dibentuk akhir tahun 1969. Yang tergabung di dalamnya ialah partisan Jim Lim dan mahasiswa Akademi Sinematografi yang berjumlah sekitar 50 orang. Di akademi itu Remy mengajarkan bidang Dramaturgi, Ikonografi, dan Make Up.
Remy Silado menguasai beberapa bahasa asing, antara lain bahasa Mandarin, Jepang, Arab, Yunani, Inggris, dan Belanda. Dia mulai menulis ketika berumur 16 tahun. Guru bahasa Indonesianyalah yang mendorong semangatnya untuk terus menulis saat itu. Kegemarannya membaca sejak kecil, tampaknya ikut mendukung keberhasilannya dalam menulis. Sejak kecil, ia sudah membaca buku-buku "berat". Ketika SD kelas 5, Remy telah membaca buku-buku teologia, membeli buku-buku berbahasa Inggris, dan mempelajari sejarah sehingga mengagumi hampir semua tokoh sejarah. Akan tetapi, ia tidak betah bersekolah dan lebih suka bermain atau membolos. Remy juga senang akan musik dan ayahnya menyadari bakat anaknya itu sehingga Remy dijuluki Jubal, artinya 'bapak musik', yang diambilnya dari Kitab Genesis. Keluarganya penggemar musik klasik, terutama karya Frederick Handel pada periode Roccoco dan Beethoven, sedangkan Remy menyenangi grup musik Led Zeppelin, Grand Funk, Railroad, dan The Beatles. Menurut pendapatnya, grup musik tersebut telah mencapai jenis klasik. Aktivitasnya di bidang musik, antara lain, adalah sebagai pembimbing beberapa penyanyi dan perkumpulan band.Dia juga banyak menulis tentang musik dan mementaskan drama yang ditulisnya, seperti Genesis, Generasi Semau Gue, dan Messiah II. Pada tahun 2000-an Remy menulis artikel lepas untuk mengisi rubik seni "Bentara" Kompas, terutama yang menyangkut pengenalan atas tokoh atau gagasan yang berkembang dalam sastra Barat dan sastra dunia pada umumnya.
Tentang proses kreatifnya, Remy menyatakan bahwa perkembangan dan perubahan pada publik pembaca memperlihatkan bagaimana mereka tidak melulu membaca novel untuk menikmati sebuah cerita, tetapi juga menghendaki adanya suatu gagasan pemikiran yang tertuang di balik cerita. Oleh karena itu, sebuah novel haruslah dilihat sebagai sebuah kerja riset, sehingga tidak menjadi kering.
Gunawan Budi Susanto dalam Suara Merdeka 15 Februari 2004 menyatakan bahwa setelah membaca novel-novel Remy, saya memperoleh makna kemanusiaan, bahwa yang pertama-tama kita takar bukan apakah itu Jawa, Tionghoa, Arab, atau Belanda; bukan pula lelaki, perempuan, atau waria, melainkan apakah ia memang manusia dan masih manusia, bukan buaya dan bukan pula berhala. Seseorang menjadi jahat, korup, dan berkhianat bukan lantaran ketionghoaan, kebelandaan, atau kearaban yang tampak dalam ciri fisik mereka. Kesadaran itu menghapus prasangka bahwa ada suatu bangsa atau jenis kelamin tertentu yang diciptakan Tuhan semata-mata untuk menjadi jahat atau menjadi pendosa.
Remy memperoleh penghargaan Khatulistiwa Award 2002 dengan novelnya Kerudung Merah Kirmizi. Pada tahun 2006 ia mendapat penghargaan dari Pusat Bahasa bersama-sama dengan Sitor Situmorang dan Sitok Srengenge. Sebagai novelis, Remy Sylado telah menulis lebih dari 50 novel, 20 di antaranya novel anak-anak, dan 30-an novel keluarga. Dia juga menulis novel sejarah. Novelnya Ca Bau Kan, yang berlatar belakang kehidupan pedagang Tionghoa di Jawa, terutama di Betawi (Jakarta), telah difilmkan. Di samping itu, Remy Sylado tampaknya tidak ingin berhenti berkarya dalam usia menjelang senja. Dia bekerja sama dengan PT Annzora Idecitra Semarang, Februari 2002, membuat film berdasarkan cerita rakyat Cina, seperti Sam Poo Kong.
Karya-karya Remy Sylado, antara lain adalah sebagai berikut (1) Puisi, antara lain (a) Kerygma (1999), (b) Puisi Mbeling Remy Sylado (2004), dan (c) Kerygma dan Martryria (2004), (2) Prosa (novel), antara lain (a) Gali Lobang Gila Lobang (1977), (b) Kita Hidup Hanya Sekali (1977), (c) Orexas (1978), (d) Ca Bau Kan: Hanya Sebuah Dosa (1999), (e) Kembang Jepun (2002), (f) Kerudung Merah Kirmizi (2002), (g) Pariys van Java (2003), (h) Menunggu Matahari Melbourne (2004), dan (i) Sampo Kong (2004), (j) Mimi Lan Mintuna (2007), (k) Namaku Mata Hari (2010),dan (l) Hotel Prodeo (2010). (3) Drama, yaitu (a) Siau Ling (2001), (b) Jalan Tamblong: Kumpulan Drama Musik (2010), dan (c) Drama Sejarah 1832 (2012). (4) Nonfiksi, antara lain (a) Dasar-Dasar Dramaturgi, (b) Mengenal Teater Anak, (c) Menuju Apresiasi Musik, (d) Sosiologi Musik,dan (e) Ensiklopeia Musik.