S. Sinansari Ecip merupakan nama samaran dari Sutiono yang terkenal sebagai pengarang novel, puisi, cerpen, dan cerita anak. Dia lahir di Malang, Jawa Timur, 26 Juli 1943. Nama Sutiono hampir tidak pernah digunakannya. Saat ini ia tinggal di Kompleks Perumahan UNHAS (Universitas Hasanudin), Ujung Pandang. Dia mulai menulis pada tahun 1959 ketika masih bersekolah di SMA Malang.
Selama kuliah di UI (Universitas Indonesia) S. Sinansari Ecip pernah memimpin redaksi majalah Almamater yang diterbitkan oleh Dewan Mahasiswa UI pada tahun 1966—1969. Selain itu, ia juga aktif dalam Harian Kami edisi Jakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan, wakil pemimpin redaksi Harian Republika di Jakarta.
S. Sinansari Ecip lulus dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia pada tahun 1970 dan lulus Doktor dengan spesialisasi jurnalistik dari Universitas Indonesia. Selain sebagai seorang penulis karya sastra, ia bekerja sebagai dosen pada Jurusan Komunikasi Massa di Universitas Hasanudin.
Sebagai seorang penulis, ia pernah beberapa kali memperoleh penghargaan atas hasil karyanya. Penghargaan yang diperolehnya itu, antara lain, adalah sebagai pemenang pada Sayembara Penulisan Roman yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1975 atas romannya yang berjudul Perjalanan dan tahun 1976 atas romannya yang berjudul Pembayaran (pemenang ke-3). Penghargaan lainnya yang diperoleh adalah dari Sayembara Cerita Film pada tahun 1976 atas cerita filmnya yang berjudul Pulang dan tahun 1977 atas cerita filmnya yang berjudul Teluk Tiram. Dia juga pernah mendapat penghargaan dalam sayembara penulisan tentang pariwisata melalui karangannya tentang Toraja. Tahun 1978 ia memperoleh penghargaan dari Pemerintah Kota Ujung Pandang sebagai warga kota yang berprestasi.
Dia juga pernah memenangi hadiah pertama dalam penulisan pariwisata atas tulisannya "Toraja yang Masih Utuh" dan tahun 1987 karyanya "Menyamar Sebagai Gelandangan" mendapat Kalam Kencana, penghargaan tertinggi di bidang jurnalistik dari Dewan Pers.
Beberapa surat kabar ibu kota pernah memuat tulisan-tulisannya, antara lain surat kabar Kompas, Republika, Horison, Sinar Harapan, Suara Karya, Indonesia Raya, dan Republika. Selain menulis, ia juga sering mengikuti kegiatan-kegiatan ilmiah, seperti sebagai peserta pada Pertemuan Puisi Asean pada tahun 1978 dan sebagai peserta pada Pertemuan Sastrawan pada tahun 1979. S. Sinansari Ecip pernah mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, Amerika Serikat, 1980. Dia juga pernah menulis puisi dan dikumpulkannya menjadi buku yang diberinya judul Lahir di Salemba, Sajak-Sajak dari Makasar, dan Memandang Ujung. Di Ujung Pandang, selain mengajar sebagai dosen, ia diangkat sebagai ketua Dewan Kesenian Makasar.
Berikut ini dikemukakan karya-karya S. Sinansari Ecip hingga tahun 1990-an, yakni Perjalanan (novel, 1976, pemenang Hadiah Harapan Sayembara Mengarang Roman DKJ, 1975), Peluru-Peluru Akhir Tahun (novel), Pulang (cerita film, 1977, pemenang pertama sayembara cerita film) Teluk Tiram (cerita film, 1979), Pembayaran (novel, 1979, pemenang Hadiah Harapan Sayembara Mengarang Roman DKJ, 1976), Cak Qadar (novel pemenang Sayembara Mengarang Roman DKJ, 1979), Lahir di Salemba (antologi puisi,1966), Sajak-Sajak dari Makassar (antologi puisi,1974), Memandang Ujung (ant. puisi, 1975), Jejak Kaki Walter Monginsidi (novel,1981), Kursi Pemilu (novel, 1982), Dengung untuk Negeriku (kumpulan puisi, 1983), Tatoo Burung Elang (kumpulan cerpen, 1983), Wolter tentang Wolter (novel), Kubu di Atas Bukit (cerita anak), Gerilya Pantai (cerita anak), Komunikasi dan Pembangunan (kumpulan esai, 1985, bersama AS Achmad), dan Ombak Losari (antologi puisi, 1992, ed.).
Korrie Layun Rampan yang membicarakan masalah "Warna daerah dalam roman yang 'penuh aksi' dalam novel Sinansari Ecip Pembayaran". Menurut Korrie, novel itu menarik karena unsur-unsur dramatik dari surprise endingnya, di samping bentuknya yang mengambil pola cerita berbingkai. Bingkai cerita dalam roman ini terletak pada flash-backnya. Roman ini penuh dengan aksi dan terasa sangat dramatik dan filmis. Mungkin sudut ini yang membuat naskah roman ini meraih hadiah.
Pembicara lain yang membicarakan karyanya yang berjudul Perjalanan adalah Linus Suryadi AG melalui artikelnya yang berjudul "Keperawanan Sudah Tak Penting?" Karya Sinansari Ecip ini mengisahkan pertemuan dua insan yang memiliki latar belakang yang berbeda, yaitu antara Madura dan Bugis. Siratan latar kulturil tokoh Lia ada pada bentuk tubuh yang mencirikan khas Madura, yaitu kulit sawo matang legam, liat, ramping, memakai gelang kaki, makanan sehari-harinya dan ramuan obat-obatan tradisional. Pemudanya ditampilkan memiliki ciri khas pada sarung pelekat, bentuk rumah seperti "sarang merpati" di mata lia, dan gelang tangan yang dikenakan adik-adiknya. Melalui novel ini Sinansari Ecip mengungkapkan ihwal "perjalanan" perkawinan pasangan Madura (perempuan) dan Bugis (laki-laki).
Seorang pengamat sastra lainnya yang bernama Usdar Nawawi menyoroti kumpulan cerpen karya Sinansari Ecip yang berjudul "Tatto Burung Elang" yang memuat delapan buah cerpen. Di dalam cerpen tersebut turungkap permasalahan yang berkembang dalam kemasyara-katan yang sukar ditolak dalam kehidupan dewasa ini. Cerpen yang berjudul Tatto Burung Elang yang sekaligus menjadi judul kumpulan buku itu ditulisnya sekitar bulan Agustus 1983.