Titiek W.S. lahir di Pekalongan pada tahun 1939. Orang tuanya bernama R. Kadis Wiryo Sudiro, seorang guru. Nama lengkapnya adalah Oemi Arwati Wiryo Sudiro. Dia sebenarnya ingin mengikuti jejak ayahnya menjadi guru. Akan tetapi, nasib menjadi lain. Sejak kecil ia sudah mempunyai kegemaran membaca. Inilah bakat yang semestinya dipupuk. Setelah menamatkan sekolah dasar pada tahun 1953, ia lalu melanjutkan ke SMP tamat tahun 1956 dan tamat SMA tahun 1959 di Pekalongan. Setamat dari SMA Titiek W.S. melanjutkan kuliah di Jurusan Bahasa Inggris, FKSS, IKIP Negeri Yogyakarta lulus sarjana muda tahun 1963 dan menyelesaikan sarjananya pada tahun 1966. Kegemarannya membaca kian bertambah sehingga keinginan menulis semakin membara. Cita-citanya menjadi seorang guru ternyata luntur. Ia menjadi wartawan dan pengarang. Menurut Titiek pekerjaan mengarang sama saja dengan pekerjaan sebagai guru karena dalam menulis unsur-unsur mendidik tak pernah ditinggalkan.
Sebagai penulis, Titiek W.S. tidak hanya menulis artikel tetapi juga menerjemahkan artikel-artikel lalu disebarkan ke berbagai media masa. Selain itu, ia juga menulis artikel-artikel tentang pendidikan, kewanitaan, dan sosial. Titiek W.S. pertama kali menulis jenis esai dan artikel-artikel tentang kebudayaan di majalah Djaya, Pos Minggu, dan Terang Bulan. Setelah lulus dari Jurusan Bahasa Inggris, FKSS, IKIP Negeri Yogyakarta, ia lalu hijrah ke Jakarta. Di Jakarta inilah ia mendapat dorongan untuk belajar menulis lebih giat lagi oleh sahabatnya, yaitu Purnawan Tjondronagoro yang kemudian menjadi suaminya. Di samping itu, ada orang yang sangat berjasa bagi Titiek W.S. dalam proses kreatifnya sebagai pengarang adalah Dr. K.H. Lendon.
Setelah cukup lama belajar menulis artikel, Titiek W.S. mulai menerjemahkan karya-karya, seperti cerpen dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Sebagai penulis, ia menyenangi sastrawan kelas internasional, seperti George Bernard Shaw, sedangkan orang pertama yang memberikan peluang untuk mengembangkan dirinya sebagai penulis adalah Syamsuddin Lubis dari majalah Selecta. Di sinilah Titiek W.S. lalu bekerja sebagai wartawan.
Setelah selama belasan tahun sibuk dalam kegiatan menulis cerpen dan novel serta menjadi wartawan semi free lance di majalah-majalah yang tergabung dalam Selecta Group, kini ia juga mengasuh majalah wanita Sarinah sebagai wakil Manajer Editor. Bahkan, noveletnya yang dimuat dalam majalah ini telah dibukukan dengan judul Mutiara Hitam dan Empat Novelet Lain, Jakarta, Yayasan Pengarang Indonesia Aksara, 1985. Novelet ini diilhami kehidupan di cam perminyakan Caltex Provinsi Riau.
Tulisan Titiek W.S. yang pertama berupa biografi, yaitu biografi Prof. Iwa Kusuma Sumantri berjudul "Perjalanan Hidup Seorang Perintis Kemerdekaan". Akan tetapi, biografi ini tidak terbit di Indonesia padahal cukup penting karena berhubungan dengan sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, melainkan diterbitkan oleh Badan Penerbitan Universitas Washeda Jepang dengan bahasa dan huruf Jepang.
Sebagai penulis, Titiek W.S. menyenangi novel-novel karya Pramudya Ananta Toer dan untuk puisi karya-karya W.S. Rendra dan Toto Sudarto Bachtiar. Sebagai ibu rumah tangga dan sebagai wartawan, Titiek W.S. tetap meluangkan waktu menulis setiap pagi sehabis subuh. Meskipun sibuk sebagai istri dan ibu rumah tangga dengan empat anak, seorang laki-laki dan tiga perempuan, Titiek W.S. telah mengambil keputusan untuk menjadi wanita dengan peran ganda. Bahkan, ia sanggup menulis sebanyak tujuh sampai delapan artikel untuk majalah Selecta tempat ia bekerja. Walaupun penghasilan sebagai penulis tidak cukup untuk menghidupi keluarganya, Titiek W.S. tetap menulis terus. Bahkan, ia bertekad tidak akan berhenti menulis karena melihat penderitaan orang sudah terlalu banyak.
Novel pertamanya berjudul Lelaki terbit tahun 1977 mengungkapkan kritikan yang sangat keras untuk kaum berduit yang munafik dan pura-pura menjadi pembesar yang alim. Padahal, kaum berduit itu pecinta "daun muda". Cara berceritanya lancar dan temanya cukup berat tetapi Titiek W.S. bercerita dengan gaya yang membuat isi novel itu terasa ringan. Bahasanya mudah dipahami pembaca. Setelah muncul novel Lelaki, Titiek W.S. terus produktif menulis sehingga lahirlah karya-karyanya, seperti Kubikin Dia Cemburu, Orang Ketiga, Perempuan, Gelas Retak, dan karya-karya lain, baik yang sudah dibukukan maupun yang dimuat di berbagai media massa.
Sebagai penulis, menurut pengakuannya, ia tak bisa melepaskan diri dari manusia dan lingkungan, baik itu karyanya yang berbentuk novel, cerpen, esai, atau laporan-laporan jurnalistiknya. Oleh karena menurut Titiek W.S. menulis merupakan ekspresi diri sehingga dalam karya-karyanya tidak hanya mementingkan aspek keindahan, tetapi lebih mengutamakan pada persepsi dan misi, seperti tentang moral, pendidikan, tradisi, religi, sosial, dan lain-lainnya.
Dalam pandangan Titiek W.S., pengarang hanya berkewajiban berkarya karena ia bukan kritikus dan tidak perlu mencampuri urusan kritikus yang memang berkewajiban mengeritik termasuk menilai suatu karya itu pop atau karya itu sebagai karya sastra. Menurut pengamatan Titiek W.S. selama ini para kritikus yang sering mengadili karya pengarang wanita justru dari kaum pria. Hal ini bukan berarti tidak baik atau salah, tetapi bila karya pengarang wanita dikritik oleh kritikus wanita tentu akan menghasilkan suatu dimensi lain. Dalam mengemban tugasnya, pengarang wanita melalui karya-karyanya ikut bertanggung jawab memberikan pilihan terbaik sebagai jalan keluar terutama yang menyangkut persoalan wanita Indonesia dalam tatanan masyarakat yang sedang berkembang.
Karya-karya terjemahan Titiek W.S., antara lain, Demi Cintaku diterbitkan oleh Penerbit Rose. Buku saku ini diterjemahkan dari Called Back karya Hugh Conway dan Bandit-Bandit Komunis diterbitkan oleh PT. Kinta. Buku saku ini diterjemahkan dari The Runaways karya Robert Mirvish. Cerpennya yang berjudul "Suara dari Rumah" dimuat dalam Pelita, 28 Agustus 1986. Karya yang lain "Sex dalam Lingkungannya Dunia Remaja", dimuat dalam Berita Yudha, 17 September 1970.