Titie Said Sadikun cerpenis wanita Indonesia yang sangat produktif. Sebagai pengarang cerpen, namanya mulai dikenal tahun 1960-an bersamaan dengan pengarang wanita lainnya, seperti Titis Basino, Mariane Katoppo, S. Tjahjaningsih, dan Sugiarti Siswadi. Nama aslinya ketika masih kecil adalah Sitti Raya. Dia lahir di desa Kauman, Bojonegoro, Jawa Timur, tanggal 11 Juli 1935. Dia memulai pendidikan formalnya di sekolah dasar tahun 1948 di Bojonegoro. Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikannya ke SMP tahun 1955 juga di kota Bojonegoro. Setelah menamatkan SMA tahun 1959 di kota Malang, ia pindah ke Jakarta dan melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Sastra, Jurusan Purbakala, Universitas Indonesia, tetapi tidak tamat.
Titie semula memilih dunia jurnalistik sebagai lahan pekerjaannya. Dia pernah bekerja sebagai redaktur majalah mingguan Hidup (1957—1959) di Malang. Setelah majalah ini tidak terbit lagi, ia bekerja di majalah Wanita (1959—1960). Dia juga pernah menjabat anggota DPRD dari fraksi Golkar di Bali. Sekembalinya dari Bali, ia bersama-sama dengan Drs. Lukman Umar mendirikan majalah Kartini dan ia menjabat pemimpin redaksi (1973). Tahun 1973—1980 ia bertugas sebagai staf ahli majalah Putri Indonesia dan Ananda. Dia keluar dari majalah Kartini dan bersama dengan adiknya, Dra. Lies Said, mendirikan majalah Famili (1981). Tahun 1993 ia menjabat penanggung jawab Kelompok Kerja Peranan Wanita dalam kepengurusan Persatuan Wartawan Indonesia Pusat.
Titie yang beragama Islam ini berasal dari keluarga yang gemar menulis. Ibunya bernama Hastuti Suwanti dan ayahnya bernama Muhammad Said, seorang guru, tentara, dan penulis di zaman Belanda. Sejak kecil, ia sudah dilatih menulis oleh ayahnya. Titie menikah dengan Drs. H. Sadikun Sugihwaras tahun 1958 dan mereka dikarunia empat orang anak, yaitu (1) Dita Duhita Hayuningtyas, (2) Yudo Dwinanda Pria Adi, (3) Okky Trinanda Musyakti, dan (4) Eddy Caturnanda Luhurbudi.
Kehadirannya dalam dunia kesusastraan Indonesia menarik perhatian para kritikus sastra. H.B. Jassin (1967:73) mengemukakan bahwa Titie memberikan kesan yang jauh lebih dewasa jika dibandingkan dengan pengarang wanita lainnya. Dia bercerita sewajarnya dan latar yang digambarkannya tidak terasa canggung. Tokoh-tokoh yang digambarkan dalam cerita pendeknya itu adalah manusia-manusia yang menghadapi hidup dengan penuh kesadaran, menegakkan keadilan dan kebenaran, serta menjaga martabat dan harga diri manusia.
Ajip Rosidi dalam buku Cerita Pendek Indonesia memuji Titie sebagai seorang cerpenis yang sangat terampil dan rajin melukiskan dan memotret panorama Indonesia. Tampaknya kegemarannya ini dilandasi oleh latar belakang keluarganya yang berasal dari keluarga perintis kemerdekaan dan pernah dibuang ke Boven Digul. Selain itu, tulisannya juga dilandasi oleh latar belakang pendidikan dan pekerjaannya. Kedua pendapat yang dikemukakan oleh H.B. Jassin dan Ajip Rosidi tersebut setidak-tidaknya telah mengukuhkan Titie sebagai cerpenis wanita yang perlu diperhitungkan dalam kesusastraan Indonesia.
Berbeda dengan kedua pendapat di atas, Yudhistira dan Korrie Layun Rampan (Merdeka, Rabu, 3 Juni 1981, Tahun XXXV, No. (182) menyatakan bahwa Titie Said adalah pengarang yang produktif, antara lain ia berhasil menulis Lembah Duka (1975) dan Jangan Ambil Nyawaku (1976) yang sudah difilmkan.
Ketertarikannya terhadap sastra dimulai sejak ia duduk di bangku SMP. Ketika itu, ia menulis puisi-puisi cengeng yang dimuat dalam majalah Brawijaya. Karena merasa tidak sukses dengan menulis puisi, ia beralih menulis cerpen. Cerpen-cerpennya itu pertama-tama dipublikasikan dalam berbagai majalah, antara lain dalam majalah Roman, Widjaja, Indonesia, Berita Minggu, Star Weekly, Varia, dan Sastra. Kemudian, cerpen-cerpen tersebut diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen yang berjudul Perjuangan dan Hati Perempuan (Nusantara,1962).
Buku Perjuangan dan Hati Perempuan berisi dua belas cerpen, yaitu (1) "Hidup dan Pertempuran", (2) "Orang-Orang Buangan", (3) "Daerah Perbatasan", (4) "Kawin", (5) "Buku Harian Seorang Gila", (6) "Dokter Tanti, (7) "Maira", (8) "Di Atas Bumi", (9) "Angin Daun Cemara", (10) "Menanti Putusan Hakim", (11) "Kepongor", dan (12) "Kelimutu".
Sejak tahun 1973 Titie Said Sadikun mulai menulis novel. Dalam menulis novel, ia memanfaatkan profesinya sebagai wartawan. Dia langsung mewawancarai tokoh ceritanya. Salah satu novelnya, Jangan Ambil Nyawaku (1976), diterbitkan oleh Variasi Jaya-Kartini, Jakarta yang ditulisnya setelah ia mewawancarai tokoh utamanya seorang wanita yang sedang terbaring sakit kanker di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Titie juga mewawancarai dokter ahli kanker di rumah sakit yang sama selama sebulan. Novelnya itu sudah difilmkan oleh Syumanjaya dan diedarkan oleh PT Garuda Film. Begitu juga dengan novelnya Lembah Duka (1975) diterbitkan oleh Team Group, Jakarta, bercerita tentang seorang ibu yang terpaksa menjadi pelacur untuk membiayai anaknya yang sedang menjalani cuci darah karena menderita penyakit ginjal. Karena seringnya Titie menulis cerita tentang penyakit, ia dijuluki pengarang spesialis penyakit.
Novel-novel Titie Said yang lain adalah Fatima (Alam Budaya, Jakarta: 1981), Bayang-Bayang Kehidupan (Alam Budaya, Jakarta: 1982), Langit Hitam di Atas Ambarawa (Media Guna, Jakarta: 1983), dan Selamat Tinggal Jeanette (Alam Budaya, Jakarta: 1986).