Suwarsih Djojopuspito seorang sastrawan Indonesia, banyak menulis karyanya dalam bahasa Belanda. Salah satu bukunya yang terkenal berjudul Buiten het Gareel. Suwarsih Djojopuspito lahir di Cibatok, Bogor, tanggal 20 April 1912. Nama aslinya Suwarsih dan nama panggilannya sehari-hari Cicih. Dia menikah dengan Sugondo Djojopuspito dan mereka memiliki tiga orang anak, yakni Sunartini, Sunarindrati, dan Sunaryo Joyopuspito. Sejak menikah, nama Suwarsih dilengkapi nama suaminya menjadi Suwarsih Djojopuspito.
Dia bersekolah di Sekolah Kartini. Setelah tamat dari sekolah itu, ia melanjutkan ke MULO dan kemudian ke Europese Kweekschool. Berkat pendidikan terakhirnya itu, ia mengajar di beberapa perguruan. Tahun 1931 Suwarsih mengajar di Perguruan Rakyat, tahun 1932 mengajar di Taman Siswa, tahun 1937 mengajar di Perguruan Pasundan Istri, dan tahun 1939 mengajar di HIS.
Di dunia politik Suwarsih tercatat sebagai anggota Komite Nasional Pusat (KNP) (1945—1950). Tahun 1946—1947, ia menjabat Wakil Biro Perjuangan Bagian Wanita. Bersama suaminya, Suwarsih ingin mengkritik keadaan masyarakat di Indonesia di bawah jajahan Belanda. Pada saat itu, suara-suara perlawanan dibungkam oleh penjajah. Suwarsih melakukan kritik melalui tulisan-tulisannya.
Suwarsih juga menjadi penyunting dan penulis pada beberapa majalah berbahasa Belanda, seperti majalah Critiec en Opbouw, Het Inzecht, dan Orientatie. Melalui majalah-majalah itu ia banyak menulis, terutama tulisan yang bersifat kritik. Tahun 1937 ia menulis novel dalam bahasa Sunda yang berjudul Maryanah lalu naskah itu ditawarkannya kepada Balai Pustaka pada masa itu. Akan tetapi, naskah itu ditolak oleh Balai Pustaka. Setelah lama, baru tahun 1959 novel itu diterbitkan Balai Pustaka. Atas saran kenalannya, Eddie du Perron, agar ia menulis novel dalam bahasa Belanda, Suwarsih akhirnya menulis novel yang berjudul Buiten het Gareel. Novel itu diterbitkan tahun 1940 oleh Penerbit Vrij Nederland di Utrecht, Belanda.
Suwarsih menulis novel Indonesia dalam bahasa Belanda yang bersifat realis. Kedudukan Suwarsih itu dipertegas oleh H.B. Jassin dalam bukunya Pengarang Indonesia dan Dunianya (1983) yang menyatakan bahwa Suwarsih mempunyai daya observasi yang kuat. Lukisan-lukisan suasananya amat bagus, demikian juga watak dan lingkungan digambarkannya dengan tepat. Di sana sini, kita temukan humor yang segar.
A. Teeuw dalam bukunya yang berjudul Modern Indonesian Literature. Teeuw mengatakan bahwa Suwarsih tidak diragukan lagi untuk disebut sebagai novelis terbesar karena ia mampu menulis novel realis terbaik sebelum perang.
Hazil Tanzil dalam tulisannya yang berjudul "Jassin dan Sastra sampai Awal Orde Baru" (1987) menyatakan bahwa Suwarsih secara terang-terangan melakukan kritik terhadap penjajah dengan memaparkan nasib rakyat yang dibungkam dan sebagainya. Tulisannya yang berbau politik itu tidak berhasil mendapatkan penerbit sehingga ia harus mencari penerbit di Negeri Belanda. Tahun 1975 Suwarsih mengusahakan penerbitan buku Buiten het Gareel dalam bahasa Indonesia dengan judul Manusia Bebas, oleh Penerbit Djambatan, Jakarta, dan Suwarsih sendiri sebagai editornya.
Karya-karya Suwarsih yang lain adalah Tujuh Cerita Pendek (kumpulan cerita pendek) Pustaka Rakyat 1951, Empat Serangkai Serangkai: Kumpulan Cerita Pendek, Pustaka Rakyat, 1954, Siluman Karang Kobar (kumpulan cerita pendek) Penerbit Pembangunan, 1963, Jakarta, Empat Serangkai (kumpulan cerita pendek, 1954) yang diterbitkan oleh Pustaka Rakyat, Jakarta, Hati Wanita (cerpen, 1964), Arlina (novel, 1975, memperoleh Hadiah Penghargaan Sayembara Mengarang Roman DKJ, 1975), Maryati (novel, 1976, direkomendasikan oleh dewan juri Sayembara Roman DKJ 1976 sebagai karangan yang dapat diterbitkan, judul aslinya "Maryati dan Kawan-Kawan", dan Maryanah (novel Sunda) yang ditulis tahun 1937 dan baru diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1958.