• Halaman Beranda

  • Data Referensi Kebahasaan dan Kesastraan

  • Ahli Bahasa

    Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA)

    Bahasa Daerah Di Indonesia

    Duta Bahasa

    KBBI

    Penelitian Bahasa

    Registrasi Bahasa

    UKBI

    Indeks Pemanfaatan Bahasa Daerah

    Indeks Kemahiran Berbahasa

    Revitalisasi Bahasa Daerah

  • Gejala Sastra

    Hadiah/Sayembara Sastra

    Karya Sastra

    Lembaga Sastra

    Media Penyebar/Penerbit Sastra

    Pengarang Sastra

    Penelitian Sastra

    Registrasi Sastra Cetak

    Registrasi Sastra Lisan

    Registrasi Manuskrip

  • Pencarian lanjut berdasarkan kategori kebahasaan dan kesastraan

  • Statistik

  • Info

 
 
Trisnojuwono   (1926-1996)
Kategori: Pengarang Sastra

 
 

Trisnoyuwono adalah sastrawan yang banyak menulis beberapa karya sastra dengan latar perjuangan melawan penjajah. Dia lahir di Sosrokusuman, Yogyakarta, hari Kamis Pon, tanggal 12 November 1926, dan meninggal dunia di Bandung tanggal 29 Oktober 1996 di Bandung.

Trisnojuwono adalah anak Kadim Harjoprawiro, seorang mandor listrik. Dia lahir sebagai anak sulung dan satu-satunya anak laki-laki dari empat bersaudara. Tahun 1950 ia merantau ke Jakarta. Setelah enam tahun di Jakarta, ia meminang Sulasmi Sumandi, gadis kota Tegal, anak R.A. Harsokusumo. Mereka menikah tanggal 28 Juli 1956. Tidak lama kemudian, Trisnojuwono kawin lagi dengan gadis Sunda bernama Nunung Malia Atmawijaya. Ternyata, hubungan kedua wanita itu sangat baik seperti keluarga. Istri pertama Trisnojuwono menempati rumah di Kompleks Wartawan III/35 Bandung, sedangkan istri kedua bertempat tinggal di Perumahan Bale Endah, Bandung.

Dari perkawinannya dengan Sulasmi Sumadi, Trisnojuwono memperoleh satu orang putri dan satu orang putra, yakni Tristanti Milayani, lahir 28 Juli 1962, dan Tristan Indrawan, yang dikenal dengan nama Inong. Tristanti Milayani menyelesaikan pendidikannya di IPB, Jurusan Planologi, dan menikah dengan Atok. Mereka dikaruniai dua orang anak. Dari perkawinannya dengan Nunung, Trisnojuwono juga mendapat dua anak, yakni Tristian Wirawan, lahir 30 Oktober 1965, dan Triustanti Sintawardani, lahir 1 Januari 1967. Tristian Wirawan sangat menyukai olah raga terjun payung dan meninggal dunia tanggal 27 Januari 1989 karena payung yang diterjunkannya tidak dapat mengembang dengan sempurna.

Trisnojuwono sangat disayangi oleh orang tuanya karena ketika masih bayi, ia pernah diramal oleh orang Jepang, pemilik toko di Yogyakarta, bahwa ia akan menjadi orang yang pandai. Oleh karena itu, orang tuanya menyekolahkannya ke HIS Kanisius, di Kidul Loji meskipun biayanya sangat mahal. Trisnojuwono tidak tergolong sebagai anak yang pintar dan tidak juga tergolong anak yang bodoh. Kemampuannya biasa-biasa saja dan tidak pernah tinggal kelas.

Setelah lulus dari HIS, Trisnojuwono melanjutkan sekolahnya ke SMP, kemudian ke SMA. Namun, belum sempat menyelesaikan sekolah, ia ikut berpetualang dengan para pejuang untuk bertempur melawan Belanda. Tahun 1946 ia masuk Tentara Rakyat Mataram (TRM) di Yogyakarta. Tahun 1947 ia menyelesaikan SMA. Seusai perang revolusi, tahun 1950 Trisnojuwono masuk menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan pernah mengikuti pelatihan Combat Intelligence di Bandung. Setelah selesai mengikuti pelatihan itu, ia melanjutkan pendidikan ke Kursus Radio Telegrafi dan Latihan Dasar yang diselenggarakan oleh TNI Angkatan Udara. Selain itu, ia juga mengikuti pelatihan terjun payung yang pertama kali bagi TNI Angkatan Darat. Dalam pelatihan itu, ia mendapatkan wing dan brevel.

Trisnojuwono suka berpetualang sehingga mempunyai banyak pengalaman. Hampir semua pekerjaan yang digelutinya selalu dekat dengan maut. Mula-mula ia terlibat dalam pertempuran di zaman revolusi tahun 1945. Hampir selama satu tahun, ia berpetualang melakukan pertempuran ke berbagai daerah, antara lain Semarang, Magelang, dan Surabaya. Tahun 1946 ia kembali ke Yogyakarta dan bergabung dengan pasukan Tentara Rakyat Mataram (TRM). Selama berstatus sebagai anggota TRM, ia aktif mengikuti pertempuran di Srondol dan Semarang. Tahun 1947 Trisnojuwono bergabung dengan ALRI dan sempat mengikuti pertempuran di Sumatra Tengah selama satu bulan. Tidak lama kemudian, ia kembali ke Yogyakarta dan bergabung dengan pasukan Corps Mahasiswa (CM). Tahun 1949 ia sakit sehingga dirawat di RSUP Semarang. Ketika dirawat di rumah sakit itu, ia melarikan diri. Tahun 1950 ia merantau ke Jakarta. Mula-mula ia bekerja sebagai pegawai Tata Usaha Technisch Institut. Kemudian, ia ddiangkat sebagai kopral, kemudian naik pangkat sebagai sersan. Ketika berpangkat sersan itu, ia dipindahkan ke Brigade 23 Siliwangi yang dipimpin oleh Mayor Kemal Idris dan kepala stafnya H.R. Dharsono. Tahun 1951 pangkat Trisnojuwono naik lagi menjadi sersan mayor. Karier Trisnojuwono di militer terus menanjak sehingga ia ditugaskan mengikuti beberapa jenis pelatihan di bidang militer. Tahun 1952 ia tercatat sebagai salah seorang yang ikut mendirikan Korps Komando di bawah pimpinan Mayor A. Visser atas penunjukan Kolonel Kawilarang. Pada perkembangan berikutnya, Korps Komando itu menjadi Pasukan Elite Angkatan Darat TNI, yaitu RPKAD/Kopassus. Karier kemiliteran Trisnojuwono berakhir tahun 1953.

Karier Trisnojuwono dalam dunia kepengarangan dimulai sekitar tahun 1953 setelah dinonaktifkan dari dinas militer. Semula ia menulis puisi, kemudian beralih ke cerita pendek dan novel. Pada tahap awal ia mengalami kegagalan, tetapi tidak menjadikan dirinya putus asa. Dia belajar kepada penulis-penulis yang telah punya nama, seperti S.M. Ardan, Sukanto S.A, Ajip Rosidi, Sobron Aidit, dan Syuman Djaya.

Pada awal kepengarangannya, tema cerita pendek yang dipilihnya adalah masalah percintaan yang dimuat di dalam majalah hiburan, seperti majalah Aneka dan majalah Ria selama hampir tiga tahun. Namun, majalah tersebut bubar. Selain itu, ia tercatat sebagai wartawan dan redaktur beberapa penerbitan, seperti Trio, Aneka, Berita Minggu, dan terakhir sebagai wartawan di harian Pikiran Rakyat, Bandung. Selama menjadi wartawan, ia lebih suka meliput kegiatan-kegiatan lapangan, seperti meliput penumpasan gerombolan PGRS/ PARAKU oleh Pasukan RPKAD di pedalaman Kalimantan Barat. Dia juga pernah meliput berita pada suatu operasi yang dilakukan oleh Batalyon Zeni di Wamena, Irian Jaya.

Peranan Trisnojuwono dalam khazanah sastra Indonesia dapat terungkap melalui pendapat yang disampaikan beberapa kritikus. Motinggo Boesye (1958) menyatakan bahwa keistimewaan cerita-cerita Trisnojuwono ialah adanya saat-saat yang memaksa kita tertarik karena ada suatu yang hebat yang akan diceritakan, semuanya menunjukkan teknik bercerita dengan gaya bahasa yang sederhana saja. Yang kurang bisa dipahami Trisnojuwono ialah ketidakseimbangan dalam bercerita sehingga kadang-kadang ia harus bertanya dengan kalimat tanya untuk diri sendiri. Mohamad Rustandi (1958) menilai karya Trisnojuwono sebagai aliran realisme humanis, merupakan pengaruh gaya realisme Idrus dan gaya Pramoedya Ananta Toer. A.D. Donggo (1960) mengatakan bahwa Trisnojuwono telah memberikan sebuah fragmen dan dokumentasi sastra revolusi kepada kita dan kita telah menerima buku itu sebagaimana adanya. H.B. Jassin (1967) berpendapat bahwa satu hal yang mengherankan bahwa Trisnojuwono yang memberikan harapan-harapan baik dengan bukunya Laki-Laki dan Mesiu (1957) menyodorkan kumpulan Angin Laut (1958) yang dinilai berada sedikit di bawah Laki-Laki dan Mesiu. Selain itu, Jassin juga berpendapat bahwa entah sadar atau tidak Trisnojuwono menggunakan antiklimaks dalam alur ceritanya.

Ajip Rosidi (1968) menyatakan bahwa cerita-cerita pendek Trisnojuwono melukiskan kehidupan tentara dan keadaan sewaktu revolusi. Selain itu, kumpulan cerita pendek Laki-Laki dan Mesiu dapat dikatakan sebagai "daerah baru" dalam kesusastraan Indonesia. Jakob Sumarjo (1974) menyatakan bahwa cerita pendek dan novel Trisnojuwono selalu kembali pada dunia militer dan percintaan. Trisnojuwono tidak pernah beranjak dari dua dunianya itu dan tak pernah terjun dalam masalah keagamaan, sosial, politik, dan filsafat.

Trisnojuwono lebih dikenal sebagai cerpenis karena sebagian besar karya yang dihasilkannya berbentuk cerita pendek. Cerpennya, "Tinggul" memenangkan Hadiah Pertama majalah Kisah tahun 1956. Kumpulan cerpennya Laki-Laki dan Mesiu (1957) memenangkan Hadiah Sastra Nasional BMKN 1957/58.

Selain itu, Trisno juga menulis novel. Karya Trisnojuwono yang berbentuk novel, antara lain, (1) Pagar Kawat Berduri yang diterbitkan oleh Penerbit Djambatan, Jakarta tahun 1961, mendapat Hadiah Sastra Yayasan Yamin tahun 1964 (tahun 1963 novel ini difilmkan oleh Asrul Sani); (2) Biarkan Matahari Membersihkan Dulu, diterbitkan oleh Sapta, Bandung tahun 1965; (3) Bulan Madu (1962) s; dan (4) Petualang (1981).

Sebagian besar karya Trisnojuwono berbentuk cerita pendek yang tersebar dalam beberapa majalah. Cerita pendek karya Trisnojuwono yang telah dibukukan antara lain sebagai berikut (1) Laki-Laki dan Mesiu diterbitkan oleh PT Pembangunan, Jakarta, tahun 1957. Di dalam buku itu dimuat 10 judul cerita pendek, yaitu "Tinggul", "Kopral Tohir", "Dropping Zone", "Restoran", "Sebelum Payung Terbuka", "Pa Parman", "Pagar Kawat Berduri", "Di Kaki Merapi, "Rancah", dan "Lewat Tambun", (2) Angin Laut diterbitkan oleh PT Pembangunan, Jakarta, tahun 1958. Buku ini memuat 13 cerita pendek, yaitu "Angin Laut", "Awal Musim Semi", "Permainan", "Kucing", "Anak dan Angan-Angan", "Ular Belang", "Pahlawan", "Pa Amin", "Retnowati", "Matanya Sebening Mataku", "Rumah Baru", dan "Sahabat Pena", (3) Di Medan Perang diterbitkan NV Nusantara, Bukittinggi tahun 1962. Buku ini memuat 12 cerita pendek, yaitu "Di Medan Perang"," Kota Kecil", "Mata-Mata", "Pahlawan", "Di Ibukota", "Kereta Makan", "Hadiah", Di Kampung", "Surat-Surat Cinta Menjelang Magrib", "Sebuah Taman di Kota" dan "Ibunda", (4) Kisah-Kisah Revolusi ditulis tahun 1965, tanpa penerbit. Buku ini memuat 10 cerita pendek, yaitu "Kisah Seorang Prajurit", "Terang Bulan di Telaga Cibitung", "Matinya Seorang Penembak", "Kebun Kopi Sedang Berbunga", "Kuburan di Atas Bukit", "Setelah Subuh Mulai Menyepuh Langit", "Air Mata di Pipi Tidak Diusapnya", "Jendelanya Tidak Tertutup", "Kendaraan Terakhir", dan "Cincin Kawin".

Trisnojuwono juga menulis beberapa cerita pendek yang tidak pernah dibukukan, yang tersebar di beberapa surat kabar dan majalah, seperti Roman, Trio, Pikiran Rakyat, Siasat, Berita Minggu, dan Star Weekly. Cerita-cerita pendek itu, antara lain "Wijaya Kusuma", "Malam Minggu", "Omong-Omong dengan Kang Dipo", "Sehidup Semati", "Fantaisie Impromptu, "Djohan Pemuda Pemalu", "Cubanera", "Mata-Mata", "Gugur Bunga", "Tiga Hari di Rumah Gila", "Tuk Bugel", "Wajah Ayu", "Elastria", "Di Kampung", dan "Lepas".

Karyanya yang telah diterjemahkan antara lain cerita pendek "Di Kaki Merapi" dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris oleh Dewwent May dengan judul "At the Foot of Mount Merapi" yang dimuat dalam Indonesian Observer.

 
PENCARIAN TERKAIT
 
© 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
 
Trisnojuwono   (1926-1996)
Kategori: Pengarang Sastra

 
 

Trisnoyuwono adalah sastrawan yang banyak menulis beberapa karya sastra dengan latar perjuangan melawan penjajah. Dia lahir di Sosrokusuman, Yogyakarta, hari Kamis Pon, tanggal 12 November 1926, dan meninggal dunia di Bandung tanggal 29 Oktober 1996 di Bandung.

Trisnojuwono adalah anak Kadim Harjoprawiro, seorang mandor listrik. Dia lahir sebagai anak sulung dan satu-satunya anak laki-laki dari empat bersaudara. Tahun 1950 ia merantau ke Jakarta. Setelah enam tahun di Jakarta, ia meminang Sulasmi Sumandi, gadis kota Tegal, anak R.A. Harsokusumo. Mereka menikah tanggal 28 Juli 1956. Tidak lama kemudian, Trisnojuwono kawin lagi dengan gadis Sunda bernama Nunung Malia Atmawijaya. Ternyata, hubungan kedua wanita itu sangat baik seperti keluarga. Istri pertama Trisnojuwono menempati rumah di Kompleks Wartawan III/35 Bandung, sedangkan istri kedua bertempat tinggal di Perumahan Bale Endah, Bandung.

Dari perkawinannya dengan Sulasmi Sumadi, Trisnojuwono memperoleh satu orang putri dan satu orang putra, yakni Tristanti Milayani, lahir 28 Juli 1962, dan Tristan Indrawan, yang dikenal dengan nama Inong. Tristanti Milayani menyelesaikan pendidikannya di IPB, Jurusan Planologi, dan menikah dengan Atok. Mereka dikaruniai dua orang anak. Dari perkawinannya dengan Nunung, Trisnojuwono juga mendapat dua anak, yakni Tristian Wirawan, lahir 30 Oktober 1965, dan Triustanti Sintawardani, lahir 1 Januari 1967. Tristian Wirawan sangat menyukai olah raga terjun payung dan meninggal dunia tanggal 27 Januari 1989 karena payung yang diterjunkannya tidak dapat mengembang dengan sempurna.

Trisnojuwono sangat disayangi oleh orang tuanya karena ketika masih bayi, ia pernah diramal oleh orang Jepang, pemilik toko di Yogyakarta, bahwa ia akan menjadi orang yang pandai. Oleh karena itu, orang tuanya menyekolahkannya ke HIS Kanisius, di Kidul Loji meskipun biayanya sangat mahal. Trisnojuwono tidak tergolong sebagai anak yang pintar dan tidak juga tergolong anak yang bodoh. Kemampuannya biasa-biasa saja dan tidak pernah tinggal kelas.

Setelah lulus dari HIS, Trisnojuwono melanjutkan sekolahnya ke SMP, kemudian ke SMA. Namun, belum sempat menyelesaikan sekolah, ia ikut berpetualang dengan para pejuang untuk bertempur melawan Belanda. Tahun 1946 ia masuk Tentara Rakyat Mataram (TRM) di Yogyakarta. Tahun 1947 ia menyelesaikan SMA. Seusai perang revolusi, tahun 1950 Trisnojuwono masuk menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan pernah mengikuti pelatihan Combat Intelligence di Bandung. Setelah selesai mengikuti pelatihan itu, ia melanjutkan pendidikan ke Kursus Radio Telegrafi dan Latihan Dasar yang diselenggarakan oleh TNI Angkatan Udara. Selain itu, ia juga mengikuti pelatihan terjun payung yang pertama kali bagi TNI Angkatan Darat. Dalam pelatihan itu, ia mendapatkan wing dan brevel.

Trisnojuwono suka berpetualang sehingga mempunyai banyak pengalaman. Hampir semua pekerjaan yang digelutinya selalu dekat dengan maut. Mula-mula ia terlibat dalam pertempuran di zaman revolusi tahun 1945. Hampir selama satu tahun, ia berpetualang melakukan pertempuran ke berbagai daerah, antara lain Semarang, Magelang, dan Surabaya. Tahun 1946 ia kembali ke Yogyakarta dan bergabung dengan pasukan Tentara Rakyat Mataram (TRM). Selama berstatus sebagai anggota TRM, ia aktif mengikuti pertempuran di Srondol dan Semarang. Tahun 1947 Trisnojuwono bergabung dengan ALRI dan sempat mengikuti pertempuran di Sumatra Tengah selama satu bulan. Tidak lama kemudian, ia kembali ke Yogyakarta dan bergabung dengan pasukan Corps Mahasiswa (CM). Tahun 1949 ia sakit sehingga dirawat di RSUP Semarang. Ketika dirawat di rumah sakit itu, ia melarikan diri. Tahun 1950 ia merantau ke Jakarta. Mula-mula ia bekerja sebagai pegawai Tata Usaha Technisch Institut. Kemudian, ia ddiangkat sebagai kopral, kemudian naik pangkat sebagai sersan. Ketika berpangkat sersan itu, ia dipindahkan ke Brigade 23 Siliwangi yang dipimpin oleh Mayor Kemal Idris dan kepala stafnya H.R. Dharsono. Tahun 1951 pangkat Trisnojuwono naik lagi menjadi sersan mayor. Karier Trisnojuwono di militer terus menanjak sehingga ia ditugaskan mengikuti beberapa jenis pelatihan di bidang militer. Tahun 1952 ia tercatat sebagai salah seorang yang ikut mendirikan Korps Komando di bawah pimpinan Mayor A. Visser atas penunjukan Kolonel Kawilarang. Pada perkembangan berikutnya, Korps Komando itu menjadi Pasukan Elite Angkatan Darat TNI, yaitu RPKAD/Kopassus. Karier kemiliteran Trisnojuwono berakhir tahun 1953.

Karier Trisnojuwono dalam dunia kepengarangan dimulai sekitar tahun 1953 setelah dinonaktifkan dari dinas militer. Semula ia menulis puisi, kemudian beralih ke cerita pendek dan novel. Pada tahap awal ia mengalami kegagalan, tetapi tidak menjadikan dirinya putus asa. Dia belajar kepada penulis-penulis yang telah punya nama, seperti S.M. Ardan, Sukanto S.A, Ajip Rosidi, Sobron Aidit, dan Syuman Djaya.

Pada awal kepengarangannya, tema cerita pendek yang dipilihnya adalah masalah percintaan yang dimuat di dalam majalah hiburan, seperti majalah Aneka dan majalah Ria selama hampir tiga tahun. Namun, majalah tersebut bubar. Selain itu, ia tercatat sebagai wartawan dan redaktur beberapa penerbitan, seperti Trio, Aneka, Berita Minggu, dan terakhir sebagai wartawan di harian Pikiran Rakyat, Bandung. Selama menjadi wartawan, ia lebih suka meliput kegiatan-kegiatan lapangan, seperti meliput penumpasan gerombolan PGRS/ PARAKU oleh Pasukan RPKAD di pedalaman Kalimantan Barat. Dia juga pernah meliput berita pada suatu operasi yang dilakukan oleh Batalyon Zeni di Wamena, Irian Jaya.

Peranan Trisnojuwono dalam khazanah sastra Indonesia dapat terungkap melalui pendapat yang disampaikan beberapa kritikus. Motinggo Boesye (1958) menyatakan bahwa keistimewaan cerita-cerita Trisnojuwono ialah adanya saat-saat yang memaksa kita tertarik karena ada suatu yang hebat yang akan diceritakan, semuanya menunjukkan teknik bercerita dengan gaya bahasa yang sederhana saja. Yang kurang bisa dipahami Trisnojuwono ialah ketidakseimbangan dalam bercerita sehingga kadang-kadang ia harus bertanya dengan kalimat tanya untuk diri sendiri. Mohamad Rustandi (1958) menilai karya Trisnojuwono sebagai aliran realisme humanis, merupakan pengaruh gaya realisme Idrus dan gaya Pramoedya Ananta Toer. A.D. Donggo (1960) mengatakan bahwa Trisnojuwono telah memberikan sebuah fragmen dan dokumentasi sastra revolusi kepada kita dan kita telah menerima buku itu sebagaimana adanya. H.B. Jassin (1967) berpendapat bahwa satu hal yang mengherankan bahwa Trisnojuwono yang memberikan harapan-harapan baik dengan bukunya Laki-Laki dan Mesiu (1957) menyodorkan kumpulan Angin Laut (1958) yang dinilai berada sedikit di bawah Laki-Laki dan Mesiu. Selain itu, Jassin juga berpendapat bahwa entah sadar atau tidak Trisnojuwono menggunakan antiklimaks dalam alur ceritanya.

Ajip Rosidi (1968) menyatakan bahwa cerita-cerita pendek Trisnojuwono melukiskan kehidupan tentara dan keadaan sewaktu revolusi. Selain itu, kumpulan cerita pendek Laki-Laki dan Mesiu dapat dikatakan sebagai "daerah baru" dalam kesusastraan Indonesia. Jakob Sumarjo (1974) menyatakan bahwa cerita pendek dan novel Trisnojuwono selalu kembali pada dunia militer dan percintaan. Trisnojuwono tidak pernah beranjak dari dua dunianya itu dan tak pernah terjun dalam masalah keagamaan, sosial, politik, dan filsafat.

Trisnojuwono lebih dikenal sebagai cerpenis karena sebagian besar karya yang dihasilkannya berbentuk cerita pendek. Cerpennya, "Tinggul" memenangkan Hadiah Pertama majalah Kisah tahun 1956. Kumpulan cerpennya Laki-Laki dan Mesiu (1957) memenangkan Hadiah Sastra Nasional BMKN 1957/58.

Selain itu, Trisno juga menulis novel. Karya Trisnojuwono yang berbentuk novel, antara lain, (1) Pagar Kawat Berduri yang diterbitkan oleh Penerbit Djambatan, Jakarta tahun 1961, mendapat Hadiah Sastra Yayasan Yamin tahun 1964 (tahun 1963 novel ini difilmkan oleh Asrul Sani); (2) Biarkan Matahari Membersihkan Dulu, diterbitkan oleh Sapta, Bandung tahun 1965; (3) Bulan Madu (1962) s; dan (4) Petualang (1981).

Sebagian besar karya Trisnojuwono berbentuk cerita pendek yang tersebar dalam beberapa majalah. Cerita pendek karya Trisnojuwono yang telah dibukukan antara lain sebagai berikut (1) Laki-Laki dan Mesiu diterbitkan oleh PT Pembangunan, Jakarta, tahun 1957. Di dalam buku itu dimuat 10 judul cerita pendek, yaitu "Tinggul", "Kopral Tohir", "Dropping Zone", "Restoran", "Sebelum Payung Terbuka", "Pa Parman", "Pagar Kawat Berduri", "Di Kaki Merapi, "Rancah", dan "Lewat Tambun", (2) Angin Laut diterbitkan oleh PT Pembangunan, Jakarta, tahun 1958. Buku ini memuat 13 cerita pendek, yaitu "Angin Laut", "Awal Musim Semi", "Permainan", "Kucing", "Anak dan Angan-Angan", "Ular Belang", "Pahlawan", "Pa Amin", "Retnowati", "Matanya Sebening Mataku", "Rumah Baru", dan "Sahabat Pena", (3) Di Medan Perang diterbitkan NV Nusantara, Bukittinggi tahun 1962. Buku ini memuat 12 cerita pendek, yaitu "Di Medan Perang"," Kota Kecil", "Mata-Mata", "Pahlawan", "Di Ibukota", "Kereta Makan", "Hadiah", Di Kampung", "Surat-Surat Cinta Menjelang Magrib", "Sebuah Taman di Kota" dan "Ibunda", (4) Kisah-Kisah Revolusi ditulis tahun 1965, tanpa penerbit. Buku ini memuat 10 cerita pendek, yaitu "Kisah Seorang Prajurit", "Terang Bulan di Telaga Cibitung", "Matinya Seorang Penembak", "Kebun Kopi Sedang Berbunga", "Kuburan di Atas Bukit", "Setelah Subuh Mulai Menyepuh Langit", "Air Mata di Pipi Tidak Diusapnya", "Jendelanya Tidak Tertutup", "Kendaraan Terakhir", dan "Cincin Kawin".

Trisnojuwono juga menulis beberapa cerita pendek yang tidak pernah dibukukan, yang tersebar di beberapa surat kabar dan majalah, seperti Roman, Trio, Pikiran Rakyat, Siasat, Berita Minggu, dan Star Weekly. Cerita-cerita pendek itu, antara lain "Wijaya Kusuma", "Malam Minggu", "Omong-Omong dengan Kang Dipo", "Sehidup Semati", "Fantaisie Impromptu, "Djohan Pemuda Pemalu", "Cubanera", "Mata-Mata", "Gugur Bunga", "Tiga Hari di Rumah Gila", "Tuk Bugel", "Wajah Ayu", "Elastria", "Di Kampung", dan "Lepas".

Karyanya yang telah diterjemahkan antara lain cerita pendek "Di Kaki Merapi" dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris oleh Dewwent May dengan judul "At the Foot of Mount Merapi" yang dimuat dalam Indonesian Observer.

 
PENCARIAN TERKAIT
 
 
 
© 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa