Utuy Tatang Sontani dikenal sebagai penulis sastra drama, cerpenis, dan novelis. Nama Sontani sebenarnya merupakan nama yang ditambahkan oleh Utuy karena ia sangat mengagumi tokoh utama, Sontani, seorang pemberani, yang terdapat dalam buku Pelarian dari Digul. Jadi, kalau mengirimkan karya-karyanya ke Sinar Pasundan, Utuy selalu menggunakan nama Sontani. Utuy menulis karyanya dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Dia lahir di Cianjur, Jawa Barat, 31 Mei 1920 dan meninggal di Moskow, 17 September 1979. Utuy dimakamkan di Mitinskoye di kawasan Mitino, sekitar 40 kilometer dari Moskow.
Kedatangan Utuy ke Moskow semula karena harus berobat ke Peking (sekarang Beijing) sebelum meletus G-30-S/PKI. Meletusnya G-30-S/PKI membuat Utuy tidak bisa pulang ke Indonesia dan selama tujuh tahun berada di Peking. Akhirnya, ia memutuskan untuk tinggal di Moskow sambil mengajar bahasa Indonesia di Institut Bahasa-Bahasa Timur Moskow sampai meninggal dunia.
Utuy mengawali pendidikannya di Cianjur, lalu menamatkan Taman Dewasa di Bandung. Setelah itu, ia bekerja di RRI Tasikmalaya kemudian pindah ke Balai Pustaka, Jawatan Pendidikan Masyarakat (Bagian Naskah dan Majalah), Jawatan Kebudayaan Kementrian PP & K, dan Lembaga Bahasa dan Kesusastraan Indonesia.
Pengalaman Utuy di bidang kebudayaan tampak dalam kegiatan berorganisasi. Dia ikut mendirikan Beungkeutan Pangulik Budaya Kiwari pada tahun 1957. Lembaga itu merupakan pengikat para pengarang dan seniman yang berasal dari Jawa Barat yang berdomisili di Jakarta. Lembaga ini dipimpin oleh Rukasah S.W.
Akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia) melakukan langkah-langkah penting dan berhasil mengajak para seniman terkemuka untuk memasuki organisasi tersebut. Berkaitan dengan itu, Utuy pun masuk ke dalam organisasi tersebut. Mulanya Utuy menolak masuk Lekra, tetapi dirangkul terus dan diberi kesempatan untuk tampil dalam berbagai forum penampilan, akhirnya masuk juga. Selanjutnya, Korrie Layun Rampan (2000) mengatakan, bahwa Utuy menulis drama dalam jumlah yang cukup banyak dan beragam dalam berbagai variasi bentuk, seperti drama bersajak, drama dalam bentuk novel, dan drama-drama konvensional.
Agam Wispi salah seorang Pimpinan Pusat Lekra (1959—1965), di Jakarta pada akhir 1999, menyatakan bahwa Utuy Tatang Sontani merupakan tokoh pembaharu dalam penulisan drama di Indonesia. Sementara itu, Taufiq Ismail mengatakan bahwa karya-karya Utuy tidak mengandung ideologi Marxis—Leninis karena karyanya bercirikan individualisme yang bertolak belakang dengan realisme sosialis (Taufik Ismail, Horison, 6 Juni 1997 dan Korrie Layun Rampan, Horison, Agustus 2000). A. Teeuw (1980) mengatakan, bahwa Utuy termasuk pengarang produktif dan karyanya bermutu.
Karya-karya Utuy, antara lain, adalah drama yang berjudul 1) Suling (1948), 2) Bunga Rumah Makan (1948), 3) Awal dan Mira (1952) (drama ini kemudian meraih Hadiah BMKN tahun 1953), 4) Manusia Iseng (1953), 5) Sangkuriang Dayang Sumbi (1953), 6) Sayang Ada Orang Lain (1954), 7) Di Langit Ada Bintang (1955), 8) Selamat Jalan Anak Kupur (1956), 9) Di Muka Kaca (1957), dan 10) Saat yang Genting (1958). Drama Saat yang Genting ini kemudian meraih hadiah sastra Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) untuk tahun 1957/1958, 11) Segumpal Daging Bernyawa (1961), 12) Tak Pernah Menjadi Tua (1963), 13) Si Sapar (1964), dan 14) Si Kampeng (1964); novel karya Utuy adalah Tambera (1949); sedangkan kumpulan cerpennya adalah Orang-Orang Sial (1951), dan Menuju Kamar Durhaka (2002). Di samping itu, Utuy juga sempat menerjemahkan Selusin Dongeng karya Jean de la Fontaine pada taun 1949. Karya-karya Utuy ada yang sudah disalin ke dalam bahasa Rusia, Iran, dan Cina.