• Halaman Beranda

  • Data Referensi Kebahasaan dan Kesastraan

  • Ahli Bahasa

    Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA)

    Bahasa Daerah Di Indonesia

    Duta Bahasa

    KBBI

    Penelitian Bahasa

    Registrasi Bahasa

    UKBI

    Indeks Pemanfaatan Bahasa Daerah

    Indeks Kemahiran Berbahasa

    Revitalisasi Bahasa Daerah

  • Gejala Sastra

    Hadiah/Sayembara Sastra

    Karya Sastra

    Lembaga Sastra

    Media Penyebar/Penerbit Sastra

    Pengarang Sastra

    Penelitian Sastra

    Registrasi Sastra Cetak

    Registrasi Sastra Lisan

    Registrasi Manuskrip

  • Pencarian lanjut berdasarkan kategori kebahasaan dan kesastraan

  • Statistik

  • Info

 
 

Kande-kandea

Kategori: Registrasi Sastra Lisan

 

Suku : Cia-Cia, Muna (Pancana), dan Wolio

Genre : Pertunjukan

Provinsi: Provinsi Sulawesi Tenggara

Kabupaten/Kota: Kabupaten.Buton

Kecamatan: Sangia Wambulu

Desa: Desa Baruta

Penyebaran: Buton


Tradisi kande-kandea merupakan tradisi makan bersama yang sangat umum ditemukan pada masyarakat Buton. Khusus di Kabupaten Buton, terdapat tiga etnis yang masih secara rutin melaksanakannya, yaitu etnis Cia-Cia, Muna (Pancana), dan Wolio. Penamaan atas tradisi ini juga beragam sesuai dengan bahasa etnisnya masing-masing, misalnya etnis Muna (Pancana) menyebut kafoma-foma’a, etnis Cia-Cia menyebut maataa, dan etnis Wolio menyebut peka kande-kandea. Secara umum tradisi kande-kandea yang dilakukan ketiga etnis tersebut merupakan tradisi makan bersama yang melibatkan unsur hiburan dan ritual, serta terdapat interaksi sosial, politik, dan budaya di dalamnya.

Pada zaman dulu, pekande-kandea merupakan tradisi untuk menyambut pulangnya para laskar Kesultanan Buton dari medan perang. Jika para laskar tersebut kembali dengan membawa kemenangan, pekande-kandea jauh lebih meriah lagi. Para gadis bersiap dengan makanannya untuk menyuapkannya ke para anggota laskar yang lelah sebagai penghargaan atas perjuangan mereka dimedan laga. Disamping itu acara ini merupakan pula acara pertemuan muda mudi karena hanya pada acara seperti inilah remaja putera dan puteri memperoleh kesempatan bebas untuk saling pandang.

Berbicara mengenai wacana tradisi kande-kandea di Buton, maka akan membahas tentang dua kekuatan yang menghidupinya hingga saat ini, yaitu negara dan adat. Dua kekuatan tersebut mengelola tradisi kande-kandea dengan cara dan tujuan yang berbeda-beda. Bagi masyarakat adat Baruta Analalaki (Nama masyarakat adat yang terdapat di Desa Baruta, Kecamatan Sangia Wambulu, Kabupaten Buton) acara ini dilaksanakan secara sederhana, bersifat ritual dan dilaksanakan secara tertutup di rumah adatnya. Tradisi yang kerap disebut dengan kande-kandea kabolosi ini, hanya dapat dihadiri oleh masyarakat adat dari beberapa desa, yaitu Desa Tolandona, Baruta Analalaki, Baruta, dan Tampuna. Konon mereka merupakan kelompok masyarakat bangsawan Buton yang bermukim di wilayah pesisir.

Tradisi kande-kandea kabolosi melambangkan kesatuan mistis dan sosial masyarakatnya, dengan cara menghadirkan arwah-arwah leluhur di tengah-tengah mereka. Konsep ritualnya adalah masyarakat mempersembahkan makanan kepada arwah leluhur dan dimakan secara bersama-sama, seperti slametan pada masyarakat Jawa. Kande-kandea kabolosi meliputi lima rangkaian ritual yaitu ziarah Fompua dan Dampu, powintahano lima, kande-kandeano fompu’a, kande-kandeano kabolosi dan kadandio.

 
PENCARIAN TERKAIT
 
© 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
 

Kande-kandea

Kategori: Registrasi Sastra Lisan

 

Suku : Cia-Cia, Muna (Pancana), dan Wolio

Genre : Pertunjukan

Provinsi: Provinsi Sulawesi Tenggara

Kabupaten/Kota: Kabupaten.Buton

Kecamatan: Sangia Wambulu

Desa: Desa Baruta

Penyebaran: Buton


Tradisi kande-kandea merupakan tradisi makan bersama yang sangat umum ditemukan pada masyarakat Buton. Khusus di Kabupaten Buton, terdapat tiga etnis yang masih secara rutin melaksanakannya, yaitu etnis Cia-Cia, Muna (Pancana), dan Wolio. Penamaan atas tradisi ini juga beragam sesuai dengan bahasa etnisnya masing-masing, misalnya etnis Muna (Pancana) menyebut kafoma-foma’a, etnis Cia-Cia menyebut maataa, dan etnis Wolio menyebut peka kande-kandea. Secara umum tradisi kande-kandea yang dilakukan ketiga etnis tersebut merupakan tradisi makan bersama yang melibatkan unsur hiburan dan ritual, serta terdapat interaksi sosial, politik, dan budaya di dalamnya.

Pada zaman dulu, pekande-kandea merupakan tradisi untuk menyambut pulangnya para laskar Kesultanan Buton dari medan perang. Jika para laskar tersebut kembali dengan membawa kemenangan, pekande-kandea jauh lebih meriah lagi. Para gadis bersiap dengan makanannya untuk menyuapkannya ke para anggota laskar yang lelah sebagai penghargaan atas perjuangan mereka dimedan laga. Disamping itu acara ini merupakan pula acara pertemuan muda mudi karena hanya pada acara seperti inilah remaja putera dan puteri memperoleh kesempatan bebas untuk saling pandang.

Berbicara mengenai wacana tradisi kande-kandea di Buton, maka akan membahas tentang dua kekuatan yang menghidupinya hingga saat ini, yaitu negara dan adat. Dua kekuatan tersebut mengelola tradisi kande-kandea dengan cara dan tujuan yang berbeda-beda. Bagi masyarakat adat Baruta Analalaki (Nama masyarakat adat yang terdapat di Desa Baruta, Kecamatan Sangia Wambulu, Kabupaten Buton) acara ini dilaksanakan secara sederhana, bersifat ritual dan dilaksanakan secara tertutup di rumah adatnya. Tradisi yang kerap disebut dengan kande-kandea kabolosi ini, hanya dapat dihadiri oleh masyarakat adat dari beberapa desa, yaitu Desa Tolandona, Baruta Analalaki, Baruta, dan Tampuna. Konon mereka merupakan kelompok masyarakat bangsawan Buton yang bermukim di wilayah pesisir.

Tradisi kande-kandea kabolosi melambangkan kesatuan mistis dan sosial masyarakatnya, dengan cara menghadirkan arwah-arwah leluhur di tengah-tengah mereka. Konsep ritualnya adalah masyarakat mempersembahkan makanan kepada arwah leluhur dan dimakan secara bersama-sama, seperti slametan pada masyarakat Jawa. Kande-kandea kabolosi meliputi lima rangkaian ritual yaitu ziarah Fompua dan Dampu, powintahano lima, kande-kandeano fompu’a, kande-kandeano kabolosi dan kadandio.

 
PENCARIAN TERKAIT
 
 
 
© 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa