Bulan Merah merupakan judul kumpulan cerita pendek karya Soekanto S.A. yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1958. Bukuberukuran 18,5 x 12,5 cm dengan tebal 83 halaman itu diberi delapan buah gambar sebagai ilustrasi oleh Dahlan Djazh. Cetakan keduanya diterbitkan kembali oleh Balai Pustaka pada tahun 1964.
Buku itu memuat delapan cerita pendek yang dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama: "Bulan Merah", terdiri atas empat cerita pendek, yaitu "Kenangan Hitam"(halaman 7—15), "Pengantin Maut" (halaman 16—25), "Bulan Merah" (halaman 27—35), serta "Gali dan Kemudian Timbuni" (halaman 37—42). Bagian kedua: "Potret Diri", terdiri atas empat cerita pendek, yaitu "Siti Aisah" (halaman 45—52), "Setangkai Kembang Chrysant" (halaman 55—61), "Bernaung di Atap Biru" (halaman 63—71), dan " Potret Diri" (halaman 73—83).
"Kenangan Hitam" menceritakan tentang seorang teman tokoh aku yang meninggalkan sekolah dan berusaha melarikan diri dari kenyataan karena merasa hidupnya hanya mengandalkan belas kasihan orang. Ia menjalani hidup dengan menuruti kata hati dan mimpinya. Akan tetapi, ia merasa kosong dan tidak puas dengan hidup yang dijalaninya. Untuk mengisi kekosongan itu, ia pergi ke tempat pelacuran di kawasan Senen, tetapi di sana pun ia hanya menjumpai kejemuan. Kebosanan dalam menjalani kehidupan membuat teman tokoh aku ini merasa gagal.
"Pengantin Maut" menceritakan tentang Suwandi yang membunuh Musa, ayah kandungnya. Suwandi tidak setuju dengan keputusan ayahnya yang mengawini mantan pelacur yang cantik dan muda. Ketidaksetujuan Suwandi dilatarbelakangi prasangka bahwa sang ibu tiri ingin menguasai harta almarhum ibunya.
Cerpen "Bulan merah" yang dijadikan judul buku itu menceritakan tentang Dudung, seorang pelajar yang ingin pandai dan terkenal, tetapi tidak mau belajar. Pada akhirnya, ia dibawa ke rumah sakit jiwa karena pikirannya terganggu. Cerita pendek "Gali dan Kemudian Timbuni" menceritakan tentang prosesi pemakaman teman tokoh aku yang bernama Kartika. "Siti Aisah" menceritakan kecintaan tokoh aku kepada seorang gadis bernama Siti Aisah, temannya di sekolah menengah. Diam-diam tokoh aku jatuh cinta kepada Siti Aisah, tetapi aku bertepuk sebelah tangan karena posisinya sebagai loper koran ayah Siti Aisah. Setelah beberapa lama tokoh aku menjadi pengarang terkenal. Ia berkeinginan menulis cerita tentang hubungannya dengan Siti Aisah.
"Setangkai Kembang Chrysant" menceritakan tentang kehidupan tokoh aku yang tidak mau terikat dan tidak mau diatur oleh orang lain. Tokoh aku kecewa karena sang adik tidak menghargai bunga pemberiannya hanya karena ia tidak memiliki jambangan bunga.
"Bernaung di Atap Biru" menceritakan tentang tokoh aku yang sedang menunggui rumah seorang pengantin perempuan. Ia berkhayal bertemu dengan mantan pacarnya, Tini, dan mengajaknya menikah. Setelah berdialog panjang lebar dalam khayalannya, akhirnya tokoh aku sadar dan ingat kembali kepada Tuhan. Ia pun pasrah dan yakin bahwa Tuhan akan mempertemukan dengan jodohnya.
"Potret Diri" berkisah tentang kehidupan seorang laki-laki yang terombang-ambing antara khayalan dan kenyataan. Ia menjadi guru karena ingin seperti temannya yang menikah dengan muridnya, tetapi impiannya gagal. Ia ingin menjadi pelukis karena murid yang dicintainya menyukai lukisan. Dengan menjadi seorang pelukis, ia ingin memberi hadiah lukisan buatannya kepada gadis yang dicintainya.
Kumpulan cerpen Bulan Merah ini diulas oleh Trisno Sumardjo dalam majalah Budaya, Edisi 6, Juni, Tahun V 1959. Trisno menyatakan bahwa cerpen-cerpen Soekanto S.A. ini bukanlah cerita sebenarnya. Pengarang dapat menyelami perkembangan watak pelaku/tokohnya, mengendapkan pikiran-pikiran para pelaku yang bernapaskan nada kerinduan, kesangsian, penyesalan, dan kekesalan, dan keputusasaan. Sayangnya, Soekanto terlalu sering menggunakan kalimat pendek dengan kata-kata yang sama dan berulang-ulang. Secara umum, Trisno Sumardjo menyatakan bahwa kumpulan cerita pendek ini kurang humoris.
Karya Soekanto S.A. ini diulas juga oleh Ajip Rosidi dalam tulisannya yang berjudul "Hati yang Gelisah" dalam majalah Pustaka dan Budaya, Tahun 1, Nomor 1 Maret 1959. Ajip Rosidi menilai bahwa karya Soekanto S.A. ini menampilkan cerita tentang kegagalan manusia dalam menempuh hidupnya di dunia. Agar hidupnya tidak mengalami kegagalan itulah, timbul kesadaran Soekanto untuk berbuat sesuatu yang berarti dalam hidupnya. Menurut Ajip, khususnya dalam dunia kesusastraan Indonesia, Soekanto telah menunjukkan arti hidup itu.