Asrul Sani termasuk salah seorang sastrawan pelopor Angkatan '45. Bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, ia dianggap sebagai trio pembaharu puisi Indonesia. Di samping dikenal sebagai penyair, ia juga dikenal sebagai penulis esai yang andal pada tahun 1950-an.
Asrul Sani lahir di Rao, suatu daerah di sebelah utara Sumatra Barat, tanggal 10 Juni 1926, meninggal di Jakarta, 11 Januari 2003. Dia anak kedua, dari dua bersaudara, seorang raja yang bergelar Sultan Marah Sani Syair Alamsyah yang Dipertuan Rao Mapat. Saudara tunggalnya bernama Chairul Basri. Sebagaimana orang Minang pada umumnya, Asrul Sani juga berasal dari keluarga yang berlatar belakang agama Islam. Meski Asrul tidak pernah dipukul jika tidak sembahyang, bukan berarti pendidikan agama diabaikan dalam keluarganya.
Asrul Sani, bahkan disekolahkan secara khusus di sekolah agama yang bernama Dar el Ashar. Pendidikan formalnya dimulai di Hollands Inlandsche School (HIS) Bukittinggi, tahun 1933. Pada usia yang sangat muda ini ia sudah harus meninggalkan orang tuanya di Rao (berjarak kira-kira 100 km dari Bukittinggi) untuk tinggal di asrama bersama kakaknya, Chairul Basri. Setelah tamat dari HIS Bukittinggi, ia melanjutkan sekolahnya ke Jakarta. Dia masuk sekolah teknik Koningin Wilhelmina School (KWS) yang terletak di Jalan Budi Utomo dengan masa belajar lima tahun. Namun, ia gagal menyelesaikan sekolahnya. Ia menderita inferiority complex karena ia sama sekali tidak berbakat dalam hal teknik. Kegemarannya mengutak-ngatik gramafone, yang dikira ayahnya sebagai tanda-tanda awal menggemari masalah teknik, kiranya hanya gejala umum seorang anak yang serba ingin tahu.
Tahun 1942 Asrul pindah ke SMP Taman Siswa, Jakarta. Di sekolah inilah ia berkenalan dengan Pramoedya Ananta Toer dan bersama-sama menjadi anggota kelompok "Penggemar Sastra" di sekolah mereka. Setelah tamat SMP, Asrul masuk ke Sekolah Kedokteran Hewan, Bogor, dan melanjutkan ke Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan (sekarang Institut Pertanian Bogor, IPB) hingga meraih gelar kesarjanaannya tahun 1955.
Pekerjaannya sangat beragam. Dia dikenal sebagai sastrawan, penulis skenario film, sutradara seni pentas dan film, Direktur Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi), Anggota Badan Sensor Film (BSF), Pengurus Pusat Nahdatul Ulama (NU), dan Anggota DPR-MPR (wakil seniman) 1966—1982. Dari sekian banyak kegiatannya, hanya kegiatan yang berhubungan dengan gelar kesarjanannya yang tidak terlihat.
Asrul Sani menikah dua kali. Pertama dengan Siti Nuraini, temannya sesama sastrawan, tanggal 29 Maret 1951, di Bogor. Dia dikaruniai tiga anak perempuan. Asrul Sani dan Nuraini bercerai tahun 1961. Sebelas tahun kemudian, tepatnya tanggal 29 Desember 1972, Asrul Sani menikah yang kedua kalinya dengan Mutiara Sarumpaet. ia juga dikaruniai tiga anak, ketiga-tiganya laki-laki, yaitu Syauki, Zaki, dan Gibran.
Minat Asrul pada bidang sastra bukanlah datang secara tiba-tiba. Bibitnya sudah ditanamkan oleh ibu dan ayahnya sejak ia kecil. Bahkan, sebelum pandai membaca, ia telah mendengar cerita "Surat kepada Radja" karangan Tagore yang terkenal itu dari ibunya. Ibunya selalu membacakan cerita-cerita untuknya ketika ia belum bisa membaca, sedangkan ayahnya kerap memanggil "tukang kaba" (pendongeng yang menjajakan ceritanya berkeliling kampung) ke rumah mereka. Setiap tukang kaba itu datang, Asrul merasa sangat senang dan mendengarkan ceritanya dengan keingintahuan yang sangat besar.
Minat Asrul dalam menulis pertama kali muncul ketika ia membaca puisi yang ditulis oleh Sappho. Sappho dalam puisinya itu menyanjung-nyanjung seorang courtisan yang berjalan dengan sandal beludru. Sebagai pemula, tentu saja, Asrul belum bisa menangkap makna puisi itu. Akan tetapi, kesan yang satu itu, "Courtisan yang berjalan dengan sandal beludru", sangat terkesan di hatinya. Setelah selesai membaca puisi itu, ia merasa ada dorongan yang kuat sekali di dalam dirinya untuk menulis. Tulisan pertamanya yang berbentuk puisi yang berjudul "Kekasih Pradjurit", dimuat dalam surat kabar Pemandangan tahun 1943, ketika Asrul duduk di kelas dua SMP Taman Siswa. Sesuai dengan zamannya, sajak itu bercerita tentang prajurit pembela tanah air. Setelah itu, bermunculan puisi dan cerpennya di berbagai media massa, antara lain, di majalah Siasat, Kisah, Konfrontasi, dan Gema Suasana serta surat kabar Mimbar Indonesia dan Indonesia Raja.
Chairil Anwar adalah nama yang selalu terkait erat dengan Asrul Sani. Mereka bersahabat. Keakraban mereka membuat mereka, secara tidak sadar, saling mempengaruhi. Pengaruh itu dapat dilihat dari puisi mereka yang berjudul "Cerita buat Dien Tamaela" (Chairil Anwar) dan "Mantera" (Asrul Sani). Sumber inspirasi mereka sama, yakni laut. Hanya bedanya, laut bagi Chairil Anwar merupakan "sesuatu yang romantis", sedangkan bagi Asrul Sani merupakan "suatu misteri".
Bersama Chairil Anwar jugalah, ditambah dengan Rivai Apin, ia menerbitkan buku kumpulan puisi yang berjudul Tiga Menguak Takdir (1950). Judul Tiga Menguak Takdir ditafsirkan orang bermacam-macam. Ada yang menafsirkannya sebagai usaha mereka memberontak "Takdir" (Sutan Takdir Alisjahbana), tokoh Pujangga Baru yang dilambangkan sebagai satu tembok yang kokoh dan ada pula yang menafsirkannya sebagai usaha mereka untuk mencoba membuka, memahami, dan mengerti "takdir' (nasib) manusia.
Setelah menerbitkan buku kumpulan puisi bersama yang dirancang selama satu setengah tahun itu, mereka bertiga mengeluarkan "Surat Kepercayaan Gelanggang". Gelanggang itu sendiri sebenarnya adalah ruang budaya dalam majalah Siasat yang mereka kelola. Melalui "Gelanggang" inilah, mereka banyak menyatakan ide, gagasan, dan cita-cita kepengarangan.
Meski lebih banyak menggeluti film, terutama pertengahan tahun 1950-an, Asrul Sani mempunyai peranan cukup penting di dalam peta kehidupan sastra di Indonesia. Prof. Dr. A. Teeuw mengatakan bahwa Asrul Sani adalah salah seorang yang terpenting dan menjadi harapan pada angkatan sesudah perang.
Karya-karya yang dihasilkannya, antara lain, Tiga Menguak Takdir (buku kumpulan puisi bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, 1950), Mantera (kumpulan puisi, 1975), Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat (kumpulan cerpen, yang berisi, antara lain, cerpen "Museum" dan "Sahabat Saya Coriaz", 1972), Mahkamah (drama, 1988), dan esai-esai yang tersebar di berbagai media, antara lain berjudul "Catatan atas Kertas Merah Jambu" yang kemudian dikumpulkan dan diedit Ajip Rosidi dengan kata pengantar Taufik Abdullah. Selain itu, ia juga menulis ratusan karya terjemahan yang meliputi puisi, cerpen, novel, dan drama, serta puluhan naskah skenario film.
Ajip Rosidi dalam kata pengantar untuk esai-esai Asrul Sani yang dieditnya dengan judul Surat-Surat Kepercayaan menyatakan bahwa sumbangan Asrul dalam dunia sastra lebih banyak berbentuk esai dan yang lebih nyata lagi adalah posisi Asrul sebagai konseptor "Surat Kepercayaan Gelanggang". Karena banyaknya esai yang ditulisnya, agar tidak muncul anggapan bahwa dasawarsa 1950-an penulis esai itu sedikit, Asrul menggunakan beberapa nama samaran seperti Ida Anwar, Idham Mahmud, Ali Akbar, Ali Emran, Fajria Novari, dan F. Anwar. Taufik Abdullah menyebut Asrul sebagai salah seorang pemikir kebudayaan modern yang cukup penting dalam sejarah pemikiran kita.