Halaman Beranda
Data Referensi Kebahasaan dan Kesastraan
Ahli Bahasa
Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA)
Bahasa Daerah Di Indonesia
Duta Bahasa
KBBI
Penelitian Bahasa
Registrasi Bahasa
UKBI
Indeks Pemanfaatan Bahasa Daerah
Indeks Kemahiran Berbahasa
Revitalisasi Bahasa Daerah
Gejala Sastra
Hadiah/Sayembara Sastra
Karya Sastra
Lembaga Sastra
Media Penyebar/Penerbit Sastra
Pengarang Sastra
Penelitian Sastra
Registrasi Sastra Cetak
Registrasi Sastra Lisan
Registrasi Manuskrip
Pencarian lanjut berdasarkan kategori kebahasaan dan kesastraan
Statistik
Info
Peneliti : Agus Yulianto, Saefuddin, Dede Hidayatullah, Dahliana, Musdalifah, Sri Wahyu Nengsih
Tanggal Penelitian : 03-12-2012
Abstrak :
Pengajaran wacana bahasa Indonesia, khususnya terkait dengan kohesi dan koherensi wacana, secara implisit diajarkan di kelas X, XI, dan XII. Artinya, dalam setiap kesempatan, peranti kohesi, khususnya konjungsi disampaikan oleh guru bahasa. Suatu wacana pada umumnya dipahami sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat (Kartomiharjo, 1993). Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan dan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain dan membentuk satu kesatuan. Chaer (1994: 267) mengatakan bahwa persyaratan gramatikal dalam wacana itu dapat terpenuhi kalau dalam wacana itu sudah terbina kekohesiannya. Pernyataan ini menguatkan pendapat Tarigan (1987: 70) yang sebelumnya berpendapat bahwa wacana yang ideal adalah wacana yang mengandung seperangkat proposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi. Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) merupakan jenjang pendidikan yang harus dilalui siswa untuk melangkah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Para siswa SMA/MA diharapkan memiliki kemampuan menulis sehingga dapat bermanfaat di kemudian hari. Dalam konteks analisis wacana, siswa diharapkan dapat memahami dan menafsirkan wacana dengan baik. Kemampuan seperti ini tercantum dalam KTSP