• Halaman Beranda

  • Data Referensi Kebahasaan dan Kesastraan

  • Ahli Bahasa

    Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA)

    Bahasa Daerah Di Indonesia

    Duta Bahasa

    KBBI

    Penelitian Bahasa

    Registrasi Bahasa

    UKBI

    Indeks Pemanfaatan Bahasa Daerah

    Indeks Kemahiran Berbahasa

    Revitalisasi Bahasa Daerah

  • Gejala Sastra

    Hadiah/Sayembara Sastra

    Karya Sastra

    Lembaga Sastra

    Media Penyebar/Penerbit Sastra

    Pengarang Sastra

    Penelitian Sastra

    Registrasi Sastra Cetak

    Registrasi Sastra Lisan

    Registrasi Manuskrip

  • Pencarian lanjut berdasarkan kategori kebahasaan dan kesastraan

  • Statistik

  • Info

 
 
Puisi Gelap
Kategori: Gejala Sastra

 

Puisi Gelap merupakan puisi yang banyak mengandung majas, kias, dan lambang yang bersifat pribadi sehingga sulit untuk dipahami maknanya. Bentuk puisi seperti itu sifatnya terlalu pribadi sehingga pembaca kesulitan menafsirkan maknanya secara jelas karena maknanya tersembunyi dan bertingkat-tingkat, serta mengandung keruwetan dan kerumitan pemikiran atau ketiadaan makna sama sekali.

Dalam Puisi Gelap, penyair sengaja menyatakan suatu maksud atau pengertian dengan menggunakan lambang-lambang, kiasan-kiasan, bentuk tipografis, dan dengan menggunakan kalimat yang tidak langsung menyatakan maksudnya. Kata-kata yang digunakannya pada umumnya adalah kata-kata yang disertai konotasi dan memakai simbol-simbol pribadi.

Bentuk puisi seperti itu disebut dengan istilah puisi hermetis atau puisi tertutup. Puisi seperti itu merupakan ekspresi perseorangan dan bersifat curahan perasaan.

KUTULIS SEDIH LAUT

Kutulis sedih laut
pada wajah gelombang
lumut gelisah
di ketiak karang

Kutulis kemarau daratan
pada putih tulang
kota-kota sangar
membakar seribu bulan


(Maman S. Taswie dalam Zaidan, 1991)

Pengarang ingin berkomunikasi dengan pembaca, tetapi pembaca tidak menangkap apa yang dikomunikasikan oleh pengarang melalui sajaknya itu. Puisi gelap dimulai dari era kepenyairan Amir Hamzah pada sekitar tahun 1930-an. Amir Hamzah banyak menggunakan majas, terutama metafora, dan lambang yang sifatnya pribadi. Orang yang pertama kali menyebut istilah puisi gelap adalah Chairil Anwar dalam esainya berjudul "Hoppla" (dimuat dalam majalah Pembangoenan Tahun I Nomor 1, 10 Desember 1945). Esai Chairil Anwar itu kemudian dimuat dalam buku H.B. Jassin Chairil Anwar: Pelopor Angkatan 45 (Jakarta: Gunung Agung, cetakan pertama 1956, cetakan kedua 1959).

Sajak-sajak Amir Hamzah yang amat terkenal dalam kumpulan sajak Nyanyi Sunyi banyak mengungkapkan majas-majas yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, Chairil Anwar menyebutnya sebagai "puisi gelap" (duistere poezie). Penjelasan Chairil tentang puisi gelap tersebut sebagai berikut.

"Puisi Amir Hamzah dalam Nyanyi Sunyi ialah yang dinamakan "puisi gelap" (duistere poezie). Maksudnya: kita tidak akan bisa mengerti Amir Hamzah jika membaca Nyanyi Sunyi sonder pengetahuan tentang sejarah dan agama karena kalimat-kalimat Amir di sini mengenai misal-misal serta perbandingan-perbandingan dari sejarah dan agama (ke-Islam-an) (Jassin, 1959).

Sebagai contoh adalah sajak "Padamu Jua" yang di dalamnya terdapat ungkapan-ungkapan sebagai berikut seperti: "kandil kemerlap", "pelita jendela di malam gelap", "rindu rupa rindu rasa", "kata merangkai hati", "Engkau cemburu, engkau ganas, mangsa aku dalam cakarmu, bertukar tangkap dengan lepas", "Engkau pelik penarik angin bagai dara di balik tirai". Ungkapan seperti itu merupakan lambang dan majas yang sifatnya pribadi, bukan umum. Hanya penyairnya yang dapat mengerti makna ungkapan tersebut.

Pada tahun 1980-an banyak ditemukan puisi-puisi gelap seperti yang ditulis Afrizal Malna dan Kriapur. Abdul Hadi W.M. (1988) menyebutkan bahwa sajak-sajak Kriapur bukan menggunakan kata-kata klise, tapi tampak aneh dan gila. Ungkapan seperti "bulan pecah berantakan" dan "kupahat mayatku di dasar air" adalah majas dan lambang yang bersifat pribadi sehingga gelap maknanya.

Iwan Fridolin dengan tulisannya yang berjudul "Impian dan Luka Sejarah" berpendapat bahwa secara umum puisi gelap dapat dikatakan sebagai sebuah puisi yang maknanya tersembunyi, sukar, atau tidak ada kemungkinan untuk dipahami. Ia mungkin menyajikan makna yang bertingkat-tingkat, keruwetan dan kerumitan pemikiran atau ketiadaan makna sama sekali. Hal ini biasanya ditandai oleh penggunaan gaya eliptik, metafor, alusi dan referensi yang muskil, bentuk tipografis, bahasa arkhaik atau berbunga-bunga, serta citraan atau simbol pribadi.

 
PENCARIAN TERKAIT

  • Kredo Puisi
    Kredo puisi merupakan ungkapan persaksian yang mengandung wawasan estetik puisi-puisi karya Sutardji Calzoum Bachri. Kredo puisi ini mula-mula dimuat dalam majalah Horison No.12 Th.IX, Desember ...
  • Pengadilan Puisi
    Pengadilan Puisi, tepatnya "Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir", merupakan nama sebuah acara yang diselenggarakan Yayasan Arena. Acara ini diadakan di Aula Universitas Parahyangan, Bandung, 8 ...
  • Pencitraan dalam Puisi Muris SD yang Terbit di Majalah dinding Sanggar Sastra
    Peneliti : Diana Tanggal Penelitian : 05-06-2005 Abstrak :-
  • Pendekatan Stilistik dalam Puisi Jawa Modern Dialek Osing
    Peneliti : Setya Yuwana, dkk Tanggal Penelitian : 01-01-1995 Abstrak :Tujuan penelitian ini adalah mengungkap hubungan antara aspek bahasa dengan fungsi estetik dan perbedaan-perbedaan linguistik ...
  • Karakteristik Puisi-Puisi di Majalah Panjebar Semangat Tahun 1945—1980
    Peneliti : Andi Asmara Tanggal Penelitian : 01-01-2013 Abstrak :Penelitian ini bertujuan untuk memahami karakteristik-karakteristik struktur batin puisi-puisi di majalah Panjebar Semangat tahun ...
  •  
    © 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
     
    Puisi Gelap
    Kategori: Gejala Sastra

     

    Puisi Gelap merupakan puisi yang banyak mengandung majas, kias, dan lambang yang bersifat pribadi sehingga sulit untuk dipahami maknanya. Bentuk puisi seperti itu sifatnya terlalu pribadi sehingga pembaca kesulitan menafsirkan maknanya secara jelas karena maknanya tersembunyi dan bertingkat-tingkat, serta mengandung keruwetan dan kerumitan pemikiran atau ketiadaan makna sama sekali.

    Dalam Puisi Gelap, penyair sengaja menyatakan suatu maksud atau pengertian dengan menggunakan lambang-lambang, kiasan-kiasan, bentuk tipografis, dan dengan menggunakan kalimat yang tidak langsung menyatakan maksudnya. Kata-kata yang digunakannya pada umumnya adalah kata-kata yang disertai konotasi dan memakai simbol-simbol pribadi.

    Bentuk puisi seperti itu disebut dengan istilah puisi hermetis atau puisi tertutup. Puisi seperti itu merupakan ekspresi perseorangan dan bersifat curahan perasaan.

    KUTULIS SEDIH LAUT

    Kutulis sedih laut
    pada wajah gelombang
    lumut gelisah
    di ketiak karang

    Kutulis kemarau daratan
    pada putih tulang
    kota-kota sangar
    membakar seribu bulan


    (Maman S. Taswie dalam Zaidan, 1991)

    Pengarang ingin berkomunikasi dengan pembaca, tetapi pembaca tidak menangkap apa yang dikomunikasikan oleh pengarang melalui sajaknya itu. Puisi gelap dimulai dari era kepenyairan Amir Hamzah pada sekitar tahun 1930-an. Amir Hamzah banyak menggunakan majas, terutama metafora, dan lambang yang sifatnya pribadi. Orang yang pertama kali menyebut istilah puisi gelap adalah Chairil Anwar dalam esainya berjudul "Hoppla" (dimuat dalam majalah Pembangoenan Tahun I Nomor 1, 10 Desember 1945). Esai Chairil Anwar itu kemudian dimuat dalam buku H.B. Jassin Chairil Anwar: Pelopor Angkatan 45 (Jakarta: Gunung Agung, cetakan pertama 1956, cetakan kedua 1959).

    Sajak-sajak Amir Hamzah yang amat terkenal dalam kumpulan sajak Nyanyi Sunyi banyak mengungkapkan majas-majas yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, Chairil Anwar menyebutnya sebagai "puisi gelap" (duistere poezie). Penjelasan Chairil tentang puisi gelap tersebut sebagai berikut.

    "Puisi Amir Hamzah dalam Nyanyi Sunyi ialah yang dinamakan "puisi gelap" (duistere poezie). Maksudnya: kita tidak akan bisa mengerti Amir Hamzah jika membaca Nyanyi Sunyi sonder pengetahuan tentang sejarah dan agama karena kalimat-kalimat Amir di sini mengenai misal-misal serta perbandingan-perbandingan dari sejarah dan agama (ke-Islam-an) (Jassin, 1959).

    Sebagai contoh adalah sajak "Padamu Jua" yang di dalamnya terdapat ungkapan-ungkapan sebagai berikut seperti: "kandil kemerlap", "pelita jendela di malam gelap", "rindu rupa rindu rasa", "kata merangkai hati", "Engkau cemburu, engkau ganas, mangsa aku dalam cakarmu, bertukar tangkap dengan lepas", "Engkau pelik penarik angin bagai dara di balik tirai". Ungkapan seperti itu merupakan lambang dan majas yang sifatnya pribadi, bukan umum. Hanya penyairnya yang dapat mengerti makna ungkapan tersebut.

    Pada tahun 1980-an banyak ditemukan puisi-puisi gelap seperti yang ditulis Afrizal Malna dan Kriapur. Abdul Hadi W.M. (1988) menyebutkan bahwa sajak-sajak Kriapur bukan menggunakan kata-kata klise, tapi tampak aneh dan gila. Ungkapan seperti "bulan pecah berantakan" dan "kupahat mayatku di dasar air" adalah majas dan lambang yang bersifat pribadi sehingga gelap maknanya.

    Iwan Fridolin dengan tulisannya yang berjudul "Impian dan Luka Sejarah" berpendapat bahwa secara umum puisi gelap dapat dikatakan sebagai sebuah puisi yang maknanya tersembunyi, sukar, atau tidak ada kemungkinan untuk dipahami. Ia mungkin menyajikan makna yang bertingkat-tingkat, keruwetan dan kerumitan pemikiran atau ketiadaan makna sama sekali. Hal ini biasanya ditandai oleh penggunaan gaya eliptik, metafor, alusi dan referensi yang muskil, bentuk tipografis, bahasa arkhaik atau berbunga-bunga, serta citraan atau simbol pribadi.

     
    PENCARIAN TERKAIT

  • Kredo Puisi
    Kredo puisi merupakan ungkapan persaksian yang mengandung wawasan estetik puisi-puisi karya Sutardji Calzoum Bachri. Kredo puisi ini mula-mula dimuat dalam majalah Horison No.12 Th.IX, Desember ...
  • Pengadilan Puisi
    Pengadilan Puisi, tepatnya "Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir", merupakan nama sebuah acara yang diselenggarakan Yayasan Arena. Acara ini diadakan di Aula Universitas Parahyangan, Bandung, 8 ...
  • Pencitraan dalam Puisi Muris SD yang Terbit di Majalah dinding Sanggar Sastra
    Peneliti : Diana Tanggal Penelitian : 05-06-2005 Abstrak :-
  • Pendekatan Stilistik dalam Puisi Jawa Modern Dialek Osing
    Peneliti : Setya Yuwana, dkk Tanggal Penelitian : 01-01-1995 Abstrak :Tujuan penelitian ini adalah mengungkap hubungan antara aspek bahasa dengan fungsi estetik dan perbedaan-perbedaan linguistik ...
  • Karakteristik Puisi-Puisi di Majalah Panjebar Semangat Tahun 1945—1980
    Peneliti : Andi Asmara Tanggal Penelitian : 01-01-2013 Abstrak :Penelitian ini bertujuan untuk memahami karakteristik-karakteristik struktur batin puisi-puisi di majalah Panjebar Semangat tahun ...
  • Kredo Puisi
    Kredo puisi merupakan ungkapan persaksian yang mengandung wawasan estetik puisi-puisi karya Sutardji Calzoum Bachri. Kredo puisi ini mula-mula dimuat dalam majalah Horison No.12 Th.IX, Desember ...
  • Pengadilan Puisi
    Pengadilan Puisi, tepatnya "Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir", merupakan nama sebuah acara yang diselenggarakan Yayasan Arena. Acara ini diadakan di Aula Universitas Parahyangan, Bandung, 8 ...
  • Pencitraan dalam Puisi Muris SD yang Terbit di Majalah dinding Sanggar Sastra
    Peneliti : Diana Tanggal Penelitian : 05-06-2005 Abstrak :-
  • Pendekatan Stilistik dalam Puisi Jawa Modern Dialek Osing
    Peneliti : Setya Yuwana, dkk Tanggal Penelitian : 01-01-1995 Abstrak :Tujuan penelitian ini adalah mengungkap hubungan antara aspek bahasa dengan fungsi estetik dan perbedaan-perbedaan linguistik ...
  • Karakteristik Puisi-Puisi di Majalah Panjebar Semangat Tahun 1945—1980
    Peneliti : Andi Asmara Tanggal Penelitian : 01-01-2013 Abstrak :Penelitian ini bertujuan untuk memahami karakteristik-karakteristik struktur batin puisi-puisi di majalah Panjebar Semangat tahun ...
  •  
     
     
    © 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa