Kadarwati Wanita dengan Lima Nama sebuah novel karya Pandir Kelana yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1982 oleh penerbit Sinar Harapan, Jakarta. Novel setebal 199 halaman itu dihiasi gambar seorang wanita cantik bersama dua orang tentara Nippon oleh ilustrator SH.
Novel Kadarwati Wanita dengan Lima Nama mengisahkan Panji Kelana (pengarang novel) menghubungi Ibu Mirah meminta izin dan arahan untuk menulis kisah Ibu Mirah, kemudian atas anjuran Letnan Bargowo, Panji Kelana diperkenankan untuk menulis kisah Ibu Mirah itu. Setelah Ibu Mirah merestui, kisah kehidupan wanita itu pun dipaparkannya.
Pertengahan tahun 1942 seorang gadis naik kereta api dari Semarang menuju Magelang. Di perjalanan, Kadarwati berjumpa dengan seorang pemuda tampan yang bernama Bargowo. Usia pemuda itu terlihat lebih muda dari Kadarwati. Walaupun hanya sekejap, pertemuan mereka cukup menyenangkan, Kadarwati sangat terkesan dengan pertemuan itu. Kadarwati seorang wanita cantik dan cerdik. Sebagai Asisten Apoteker, ia bercita-cita menjadi dokter. Kadarwati sangat gembira ketika mendapat kesempatan melanjutkan sekolah dokter yang dibiayai oleh Nippon. Di pihak lain, orang tua Kadarwati sangat was-was melepas kepergian putrinya. Walaupun ayah, ibu, dan saudaranya tidak merestui sepenuhnya, Kadarwati tetap berangkat ke Sonanto, Singapura.
Nasib malang mulai dirasakannya, Kadarwati sangat kecewa karena ternyata tidak dididik sebagai calon dokter, tetapi mengikuti pendidikan mengatur rumah tangga pembesar Nippon. Ia terpaksa protes kepada pemerintahan Nippon, tetapi usahanya itu sia-sia. Bahkan, Nippon mengancam akan membunuh keluarga Kadarwati jika wanita itu tidak mau tunduk pada peraturan. Dengan penuh dendam dan kecewa, ia mulai menjalani pendidikan itu. Selesai pendidikan, Kadarwati ditugaskan menjadi kepala rumah tangga Tuan Harada yang mengepalai seluruh perkebunan karet kekuasaan Jepang di kawasan Sumatra dan Malaya.
Kadarwati mulai berserah diri kepada Tuhan dalam menjalani kodrat hidupnya. Sekalipun berputus asa, ia tetap mengikuti arus kehidupan yang dihadapinya dengan penuh ketabahan. Perilaku Harada yang sopan dan halus budi merupakan obat kekecewaan gadis itu. Akhirnya, mereka saling jatuh cinta. Kadarwati senang mendapat perlindungan dari Harada dan dari kebengisan tentara Jepang. Sebagai imbalan, Kadarwati pun melakukan tugasnya sebagai kepala rumah tangga tanpa beban dan mencurahkan kasih sayangnya dengan tulus ikhlas kepada Harada, walaupun harus mengugurkan kandungannya demi profesinya sebagai kepala rumah tangga.
Suasana menyenangkan itu tidak berlangsung lama karena atasan Harada mengetahui ikatan cinta mereka. Harada dipindahtugaskan ke tempat lain. Kadarwati sangat sedih karena tidak ada lagi pelindung dirinya. Kedudukan Harada diganti oleh Nakamura.
Sikap Nakamura terkesan kasar dan licik. Kadarwati diperkosa sehingga timbul rasa dendam dan ingin membalas kekejaman Nakamura. Kadarwati yang cerdik merekayasa situasi di rumah Nakamura. Ia memikat setiap tamu yang berada di perkebunan itu sehingga Nakamura merasa cemburu , sampai berkelahi. Suatu hari, tamu Nakamura adalah seorang Jendral Nipon bernama Nizizumi. Laki-laki itu pun terkena rayuan Kadarwati. Nakamura berkelahi dengan Nizizumi, kemudian Nakamura dipindahkan ke perkebunan yang lebih terpencil. Setelah itu, Nizizumi membawa Kadarwati pindah ke Saigon. Ruang gerak Kadarwati lebih leluasa. Ia berhasil menyadap pembicaraan para pembesar Nipon se-Asia Tenggara dan informasi itu akan ia laporkan pada pejuang Republik Indonesia (RI).
Atas persetujuan Tanaka, Nizizumi mengizinkan Kadarwati pulang ke Indonesia. Tahun 1944, Kadarwati sudah berada di Jakarta, langsung diantarkan ke rumah kediaman Mayor Sato, yang pernah menjadi ajudan Tanaka. Mayor Sato ternyata tidak menghargai Kadarwati. Bahkan, ia mencari wanita lain setelah bosan dengan Kadarwati. Semua kawan Mayor Sato dibiarkan menikmati tubuh Kadarwati, juga Kadarwati pernah dipaksa untuk melayani sopirnya. Martabat Kadarwati jatuh, rasa dendamnya semakin membara. Ia melayani seorang jenderal hingga sersan, bahkan seorang sopir. Dalam keputusasaannya itu Kadarwati mengganti namanya menjadi Astuti, seperti nama seorang pelacur kebanyakan yang pernah dikenalnya. Ia mendengar dari Mayor Sato, bahwa Jendral Tanaka dan Jendral Nizizumi tewas dalam kecelakaan pesawat udara menuju ke Birma. Oleh karena itu, Astuti (Kadarwati) tidak berharap kembali ke Saigon dan Sato semakin sewenang-wenang padanya.
Suatu hari Hakone yang memimpin Kurabu di Semarang datang dan membawa Astuti ke Semarang sebagai pelayan di Kurabu. Selain sebagai istri simpanan Hakone, ia menjadi pelayan yang terampil sehingga para pembantu di tempat itu sayang kepadanya. Diam-diam, Astuti berkenalan dengan mandor kebun Tarmiji yang menghubungkan Astuti dengan seorang pejuang gerakan bawah tanah anti Jepang. Astuti yang terlanjur tahu banyak rahasia Jepang selama menjadi kepala rumah tangga di Singapura dan Saigon memberikan informasinya kepada pejuang di bawah tanah yang anti Jepang. Ia rela bekerja sebagai mata-mata pejuang RI. Pertemuannya dengan seorang pemuda pejuang berlangsung pada malam hari di semak-semak dekat kamarnya. Setelah pertemuan terjadi, Astuti baru teringat bahwa pemuda itu tak lain adalah Bargowo. Dalam pertemuan itu Bargowo ingin mengajak wanita itu lari, tetapi Astuti menolak karena ia masih ingin melangsungkan balas dendamnya kepada tentara Nippon.
Suatu malam yang telah direncanakan, Astuti mendapat tugas menjamu tamu sekitar tiga puluh orang di Kurabu. Ia mengeluarkan pil tidur yang telah lama dikumpulkannya. Pil tersebut dimasukkan ke dalam minuman para tamu Nippon itu. Setelah minuman selesai dibagikan dan dinikmatinya, mereka menari-nari dan satu demi satu mereka tergeletak tidak berdaya. Astuti segera menyiram bensin dan membakarnya. Seluruh pelayan di Kurabu berhamburan keluar bersama Astuti yang segera mengenakan kain dan kebaya yang telah dipesannya dari Bargowo. Dalam keadaan kalut jiwanya, Astuti menjadi latah, ia teringat seorang pembantu bernama mbok Jakem yang latah. Untuk itu, Astuti menamakan dirinya mbok Jakem. Ia berteriak-teriak seperti orang gila di sepanjang perjalanan menuju Magelang tempat tinggal orang tuanya. Selain itu, mbok Jakem mendengar pekik merdeka dari para pemuda yang lalu lalang di jalan.
Sampai di Magelang, ia tidak berani menemui orang tuanya. Mbok Jakem bersama Sumilah segera mengalihkan tujuannya ke Yogyakarta. Selanjutnya mbok Jakem mengubah namanya menjadi Ibu Mirah. Melalui Sumilah itu, Mirah mengetahui dunia perdagangan emas. Akhirnya, Mirah memutuskan bertempat tinggal di Balokan Yogyakarta. Ia membeli rumah dengan perhiasan pemberian Harada. Bersama Ibu Sinder dan Ibu Salyo, Mirah memperjuangkan nasib para pelacur di sekitarnya agar mau meninggalkan pekerjaan itu. Mereka memberi kursus keterampilan memasak, membatik, dan meramu jamu.
Suatu ketika, Mirah bertemu Bargowo di rumah Ibu Sinder karena Bargowo adalah kawan karib Mayor Heru, kemenakan Ibu Sinder. Bargowo yang telah berubah menjadi Letnan Birowo belum menyadari bahwa wanita yang ada di hadapannya itu adalah Kadarwati. Pada pertemuan ketiga barulah Mirah mengakui bahwa dirinya adalah Kadarwati dan Birowo sangat senang menemukan kawan lamanya kembali. Mirah berhasil menyembuhkan Birowo dari penyakit impoten. Setelah pertemuannya dengan Birowo, Mirah kini memiliki kepercayaan diri. Bayang-bayang tentara Nippon yang terbakar hidup-hidup yang semula selalu menghantui dirinya pun telah lenyap. Atas anjuran Ibu Sinder yang telah dianggap ibunya sendiri, Mirah pergi ke Magelang menjumpai kedua orang tuanya. Pertemuan mereka sangat membahagiakan. Dari cerita ayahnya, kakak Kadarwati yang bernama Kadarman telah berhasil menjadi dokter. Namun, mereka tidak berani bertanya pengalaman Kadarwati. Mereka berjanji akan menjenguk Kadarwati ke Yogyakarta kelak.
Kadarwati yang sudah kepalang tanggung akhirnya tetap berjuang membela kemerdekaa. Ia berusaha mengarahkan para pelacur untuk memperoleh informasi tentang rencana Belanda yang bermanfaat bagi tentara RI. Mereka mendapat tugas mulia sebagai mata-mata tentara RI. Para pelacur yang selalu dihina itu dengan gagah berani membela para pejuang kemerdekaan.
Pada akhir cerita, di luar alur penceritaan, kembali terjadi dialog antara Ibu Mirah dengan Panji Kelana (pengarang novel) tentang karangannya. Pengarang ingin mematikan Letnan Birowo, tetapi Kadarwati menolak dengan alasan Kadarwati dan Birowo masih harus berjuang untuk menebus dosa-dosanya di masa lalu. Untuk meyakinkan bahwa Letnan Birowo masih ada, Ibu Mirah mempersilakan pengarang itu masuk ke kamarnya menjenguk Birowo yang sedang terbaring tidak berdaya. Ia terkena pecahan mortir. Kakinya telah diamputasi karena membusuk dan syaraf serta pancaindranya lambat laun tidak berfungsi. Kadarwati dengan tulus ikhlas merawat Bargowo.
Leon Agusta dalam artikelnya "Novel Karya Seorang Jendral", dalam Mutiara, tahun XV, No. 275, Rabu, 18 Agustus—31 Agustus 1982 menyatakan bahwa Kadarwati Wanita dengan Lima Nama ditulis oleh pengarangnya sebagai sebuah epos tanpa hero atau heroik. Tidak ada pahlawan yang ada hanyalah kepahlawanan. Ibu Basuki atau Bargowo bukan pahlawan. Mereka tidak dipersiapkan untuk menjadi pahlawan dan tidak pula mereka inginkan.
Selain esai itu terdapat tiga judul artikel yang membahas film yang diangkat dari novel Kadarwati Wanita dengan Lima Nama. Judul tiga artikel itu adalah (1) "Film yang Diputar: Kadarwati", dalam Berita Buana, Tahun 13, No.148, 8 Februari 1984:5/5—7; (2) "Menyoroti 'Kadarwati'", dalam Karya Bhakti, Tahun 4, No.162, Rabu 29 Februari, 1984: Hlm. 2/1—3; dan (3) "Kadarwati Wanita dengan Lima Nama, karya Pandir Kelana, dalam Sinar Harapan, 1982, terdiri atas 2 eksemplar. Kisah tokoh Kadarwati karya Pandir Kelana terdapat juga pada akhir novel yang berjudul Ibu Sinder, kedua tokoh itu, ibu Sinder dan Kadarwati bersama-sama mengangkat derajat kaum wanita tuna susila dan ikut membantu perjuangan kemerdekaan RI.