Robohnya Surau Kami merupakan judul kumpulan cerita pendek A.A. Navis. Judul itu juga merupakan cerpen Navis yang paling terkenal dan banyak dibicarakan orang. Cerpen ini pertama kali terbit dalam majalah Kisah, Jakarta, tahun 1955. Cerpen ini kemudian terbit dalam buku kumpulan cerpen Navis pada tahun 1956 oleh Penerbit NV Nusantara, Bukittinggi. Oplag buku itu sekitar 3.000 eksemplar. Cetakan 11 buku itu dicetak oleh penerbit yang sama pada tahun 1961. Pada tahun 1986 kumpulan cerpen ini diterbitkan oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama hingga beberapa kali cetak ulang.
Dalam buku itu terdapat delapan cerpen Navis, yaitu (1) "Robohnya Surau Kami", (2) "Anak Kebanggaan, (3) "Nasihat-Nasihat", (4) "Topi Helm", (5) "Datangnya dan Perginya", (6) "Pada Pembotakan Terakhir", (7) "Angin dari Gunung", dan (8) "Menanti Kelahiran".
Edisi kedua kumpulan cerpen ini diterbitkan aleh PT Gramedia, Jakarta pada tahun 1986. Dalam terbitan edisi kedua ini ada tambahan dua cerpen Navis, yaitu (9) "Penolong" dan (10) "Dari Masa ke Masa".
Cerpen pertama dalam kumpulan cerpen ini berjudul Robohnya Surau Kami yang berkisah tentang seorang penjaga surau yang kuat ber-ibadat, tetapi akhirnya mati bunuh diri karena sindiran seorang pembual bahwa hidup demikian tidak diridhoi Allah jika tidak disertai amal kemasyarakatan. Persoalan utama dalam novel ini adalah orang Islam yang baik tidak hanya beribadat untuk akhirat, tetapi juga beramal untuk kepentingan hidup di dunia, pandai mensyukuri nikmat yang diberikan Allah di dunia.
Menurut Navis (dalam Yusra, 1994), cerpen ini bersumber dari gurauan M. Syafei kepada A. Khalik, Kepala Jawatan Kebudayaan Sumatera Tengah, tempat Navis bekerja. Inti gurauannya itu adalah bahwa di akhirat nanti orang-orang Eropa rnasuk surga, sedangkan orang Indonesia masuk neraka karena orang Indonesia tidak mau memanfaatkan alam yang kaya raya yang dianugrahkan Tuhan, tidak pandai mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepada mereka. Di samping itu, di kampungnya sendiri, Padangpanjang, Navis melihat sebuah surau yang sudah roboh karena orang tua yang menjaganya sudah meninggal. Jadi, berdasarkan gurauan M. Syafei dan fakta robohnya surau ternpat Navis mengaji dulu, ditambah fakta meninggalnya garin maka jadilah cerpen itu.
Cerpen kedua dalam buku itu berjudul, "Anak Kebanggaan" mengisahkan seorang ayah yang sangat mengharapkan kesuksesan anak laki-lakinya. Ia berharap agar anak yang menjadi kebanggaan dan tumpuan hidupnya itu berhasil menjadi dokter. Akan tetapi, keinginannya itu sirna karena anaknya itu telah meninggal dunia.
Cerpen ketiga dalam buku itu berjudul '"Nasihat-Nasihat". Cerpen ini mengisahkan orang tua yang sudah lama hidup dan banyak pengalaman merasa tahu segala-galanya. Ternyata anggapan itu tidak benar. Orang tua itu salah menafsirkan kisah cinta Hasibuan dengan seorang gadis yang baru dikenalnya di atas bis, ada unsur penipuan. Orang tua itu menasihati Hasibuan agar menjauhi, bahkan kalau perlu mengusir gadis itu karena menurut orang tua itu, gadis itu kurang sopan atau gila karena sifatnya terlalu berani dan bertentangan dengan adat kebiasaan gadis di Minangkabau yang sangat pemalu dan tidak berani mendekati pemuda yang tidak dikenalnya. Ternyata tafsiran orang tua itu salah, gadis itu ternyata orang baik, sopan, dan cantik pula. Akhirnya orang tua itu merasa malu atas sikapnya yang sok tahu dan nasihat-nasihatnya yang tidak benar. Pengarang dalam cerpennya itu ingin mengatakan bahwa orang yang sombong, terlalu percaya atas kemampuannya akan mengalami kegagalan dan kekecewaan.
Cerpen keempat dalam buku itu berjudul 'Topi Helm" mengisahkan perlakuan sewenang-wenang masinis kareta api terhadap bawahannya, tukang rem gerbong kereta api yang bernama Pak Kari. Pak Kari sangat menghargai topi helmnya. la melakukan kesalahan karena meninggalkan tugasnya mengerem gerbong kereta api yang menjadi tanggung jawabnya. Hal itu dilakukannya karena topi helmnya jatuh dan ia turun dari gerbong untuk mengambil topi itu ketika kereta api itu perlu direm. Akibatnya, masinis itu marah sekali dan membakar topi helm Pak Kari. Pak Kari merasa dendam atas perbuatan masinis itu. Pada suatu ketika ia dapat membalas kesewenang-wenangan masinis itu dengan melemparkan bara api panas ke muka masinis itu ketika sedang berada dekat gerbong kereta api.
Cerpen kelima dalam buku itu berjudul "Datangnya dan Perginya" memberikan penyelesaian yang ekstrem. Seorang ayah yang telah menyia-nyiakan anaknya dari salah seorang istrinya. Di hari tuanya berkali-kali ia mendapat surat dari anaknya yang telah dewasa yang meminta ia supaya datang berkunjung melihat menantu dan cucunya. Sang ayah pada mulanya tidak mau memenuhi undangan itu karena rasa angkuh, malu, dan rasa bersalah, tetapi akhirnya ia pergi juga. Ia bertemu dengan bekas istrinya yang membukakan rahasia yang mengagetkannya. Anaknya Masri telah kawin dengan Arni. Keduanya adalah turunan darahnya yang berlainan ibu. Sang ayah menyalahkan bekas istrinya itu karena ia tidak memberitahukan kekeliruan itu pada Masri. Mantan istrinya itu menjelaskan bahwa hal itu sudah terlambat dan ia tidak mau merusakkan kebahagiaan kedua anak itu. Dalam perdebatan tentang baik buruknya memberitahukan masalah itu, sang ayah akhirnya mengalah dan pulang kembali tanpa menemui kedua anaknya.
Cerpen keenam dalam buku itu berjudul "Pada Pembotakan Terakhir". Cerpen ini mengisahkan anak yatim Maria mendapat perlakuan yang kejam dari neneknya, Mak Pasah. Menurut Jassin (1962), kekejaman Mak Pasah yang melanggar batas tidak beralasan dan tidak sehat.
Cerpen ketujuh berjudul "Angin dari Gunung" yang mengisahkan peristiwa yang redup dengan suasana kenangan yang kesepian, yaitu pertemuan dua bekas kekasih sesudah sembilan tahun berpisah. Gadis yang dulu begitu lincah bergerak di barisan depan, kini cacat tidak berdaya, namun daya hidupnya tidak patah, sisa hidupnya diabadikannya pada neneknya.
Cerpen kedelapan berjudul "Menanti Kelahiran", yang mengisahkan pasangan muda yang sedang menanti kelahiran bayinya yang pertama, yaitu Lena dan suaminya Haris. Mereka mengalami peristiwa yang menyakitkan hati, ditipu oleh orang yang menyamar menjadi pembantu rumah tangga. Karena merasa kasihan kepada orang yang berpura-pura melarat itu, mereka tertipu dan orang itu berhasil mencuri barang-barangnya. Akibat peristiwa itu, Lena menjadi sok dan sangat bersedih hati. Tidak lama kemudian, Lena melahirkan secara mendadak sebelum waktunya yang mengakibatkan anaknya menjadi cacat.
Cerpen kesembilan berjudul "Penolong", mengisahkan peristiwa kecelakaan kereta api di Batang Anai, antara Padangpanjang dan Padang. Banyak sekali korban dalam kecelakaan itu. Kecelakaan itu terjadi akibat terlalu padatnya penumpang, cuaca buruk, dan jalan licin. Sidin ikut membantu korban kecelakaan itu. Dengan susah payah berusaha meringankan berbagai penderitaan orang,
Cerpen kesepuluh berjudul "Dari Masa ke Masa" yang mengisahkan pengalaman pengarang cerpen ini ketika masih muda yang selalu disuruh oleh orang-orang tua minta nasihat kepada orang tua-tua sebelum melakukan suatu pekerjaan yang dianggap penting. Anak-anak muda dulu giat bekerja, berani, dan banyak inisiatif, Sekarang anak-anak muda malas bertanya dan minta nasihat kepada orang tua, kurang berani, dan kurang inisiatipnya. Tampaknya tidak ada kemajuan, bahkan banyak kemundurannya.
Jassin (1962 ) berpendapat bahwa cerpen "Robohnya Surau Kami" mempunyai kelemahan karena keputusan bunuh diri oleh kakek Garin, penjaga surau, sesudah mendengar cerita perumpamaan Ajo Sidi merupakan satu perbuatan di luar perhitungan dan mengherankan. Sang kakek dalam jalan pikiran yang ortodoks sebetulnya tak perlu putus asa, bahkan seharusnya memperbanyak amal dunianya, di samping amal akhirat, apalagi jika ia ingat bahwa bunuh diri bukanlah perbuatan yang diridoi Allah. Lagi pula sifat-sifat Haji Saleh yang diceritakan Ajo Sidi memang tidak diperbolehkan dalam agama Islam. Misalnya, angkuh dan sombong, juga terhadap Tuhan yang dianggapnya bersifat khilaf dan dikiranya mundur dibentak, dan bersifat pura-pura. Tambah tidak mengerti kita akan keputusan kakek apabila kita ingat bahwa ia punya fungsi yang berguna dalam masyarakat meskipun hanya sebagai pengasah pisau di samping kerjanya penjaga surau. Tidak semua orang punya kemampuan dan kesempatan untuk memberikan jasa yang sama pada masyarakat. Selain itu, keputusan kakek untuk bunuh diri yan disebabkan oleh tafsirannya yang keliru mengenai dongengan Ajo Sidi, yang diakui sebagai pembual yang kuat bekerja. apakah juga ia kuat beribadat. Tak ada petunjuk ke arah itu. Dan, kemenangannya adalah kemenangan orang yang mementingkan kerja di atas dunia.
Bahrum Rangkuti (1962, 1963) dalam majalah Gema Islam mengemukakan bahwa cerpen "Robohnya Surau Kami" ini bermutu sastra yang tinggi karena memberikan pemikiran baru dalam ajaran agama Islam. Sementara itu, Teeuw (1989) hanya menanggapi cerpen "Robohnya Surau Kami" dan tidak memberikan komentar terhadap cerpen Navis yang lain yang ada dalam kumpulan cerpen ini. Menurut Teeuw (1956), cerpennya yang pertama yang paling memikat. Judulnya sendiri kebetulan sudah secara simbolik memberikan pernyataan tentang lenyapnya kesalahan tradisional yang tak terelakkan karena Tuhan pun sudah tidak lagi suka akan kesalehan introvert, kesalehan yang mengabaikan kepentingan sosial orang lain.