Tenggelamnya Kapal van der Wijck merupakan novel karya Hamka yang pertama kali terbit pada tahun 1938 sebagai cerita bersambung dalam rubrik "Feuilleton" majalah Pedoman Masyarakat. Kemudian, cerita bersambung itu dikumpulkan oleh Syarkawi dan diterbitkan di Medan oleh Penerbit Centrale Courant pada tahun 1939. Selanjutnya, karya Hamka yang satu ini hingga tahun 1963 telah mengalami cetak ulang tujuh kali oleh penerbit yang berbeda-beda. Cetakan pertama (1939) dan kedua (1949) diterbitkan oleh Penerbit Centrale Courant. Cetakan ketiga (tahun 1951), keempat (tahun 1958), dan kelima (tahun 1961) diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka di Jakarta. Cetakan keenam (tahun 1961) dan ketujuh (tahun 1963) novel itu diterbitkan di Bukittinggi oleh Penerbit NV Nusantara. Cetakan ke-26 (tahun 2002) oleh Penerbit Bulan Bintang.
Tenggelamnya Kapal van der Wijck mengisahkan cinta tak sampai yang dihalangi oleh adat Minangkabau yang terkenal kukuh. Dalam novel itu diceritakan bahwa Zainuddin, seorang anak yang lahir dari perkawinan campuran Minang dan Makasar, tidak berhasil mempersunting gadis idamannya, Hayati, karena ninik-mamaknya tidak setuju dan menganggap Zainuddin sebagai manusia yang tidak jelas asal-usulnya. Zainuddin kemudian menjadi pengarang. Dalam suatu kecelakaan gadis kecintaannya meninggal dalam kapal yang ditumpanginya. Dari inti cerita itu dapat dikatakan bahwa novel Hamka ini mengetengahkan masalah adat yang mengatur jodoh seseorang.
Sementara itu, masalah agama tidaklah menjadi masalah pokok, seperti yang sering disebut-sebut orang bahwa novel itu membawakan napas keagamaan, sebagaimana dikatakan oleh Goenawan Mohamad (1966). Dalam novel itu ternyata masalah agama lebih dominan sebagai latar karena masalah itu bukanlah sebagai persoalan utama yang dihadapi para pelakunya.
Dalam novel Hamka ini alur cerita terbangun melalui peristiwa-peristiwa yang terungkap lewat surat-surat. Ada 35 surat yang ditulis oleh tokoh-tokohnya. Tokoh dalam novel itu saling berkirim surat untuk mengemukakan berbagai perasaan dan pengalamannya. Misalnya, Hayati berkirim surat kepada Zainudin enam kali, Zainudin berkirim surat kepada Hayati sembilan kali, dan Hayati kepada Chadijah lima kali. Menurut H.B. Jassin (1967) , surat-surat yang dimasukkan Hamka dalam novelnya itu sebagian besar merupakan ulangan yang tidak membuka pemandangan baru dan dapat dihilangkan dengan tidak mengurangi jalan cerita. Menurut Jassin pula, komposisi surat-menyurat dalam novel Hamka itu merupakan pengaruh dari Alexander Dumas, yang bukunya Margaretha Gauthier telah diterjemahkan oleh Hamka.
Pengaruh Alexander Dumas yang terwujud dalam surat-menyurat yang muncul dalam novel Hamka itu sebenarnya tidak terlalu menimbulkan persoalan. Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck baru bermasalah setelah dituduh sebagai karya jiplakan, dan Hamka, pengarangnya, dicap sebagai doktor plagiator. Novel Hamka terbit pertama kali pada tahun 1938 dan pada cetakan keenam--tahun 1961--novel itu baru dipermasalahkan. Jadi, setelah beredar selama 23 tahun novel tersebut baru dituduh sebagai barang jiplakan. Tuduhan plagiat terhadap novel tersebut juga menjadi polemik yang hangat pada zamannya.
Polemik tentang novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck yang dituduh sebagai karya jiplakan itu berawal dari tulisan Abdullah Said Patmadji atau lebih terkenal dengan sebutan Abdullah S.P., seorang cerpenis dan penyair kelahiran Cirebon, yang dipublikasikan dalam lembaran kebudayaan "Lentera" harian Bintang Timur, pada tanggal 12 dan 14 September 1962. Abdullah S.P. menyatakan bahwa karya Hamka Tenggelamnya Kapal van Der Wijck >merupakan jiplakan dari Magdalaine karangan Alphonse Care yang diterjemahkan oleh Said Mustafa al-Manfaluthi ke dalam bahasa Arab. Dalam tulisannya yang pertama, Abdullah S.P. mengatakan bahwa gaya Hamka sangat mirip dengan gaya pujangga Mesir Al-Manfaluthi: gaya bahasanya, jalan pikirannya, perasaannya, dan filsafatnya. Ditambahkannya pula bahwa karya Hamka itu seperti pinang dibelah dua dengan Magdalaine-nya Manfaluthi: temanya, isinya, dan napasnya; hanya tempat kejadian dan tokoh-tokohnya yang disulap dengan menggunakan warna setempat. Dalam tulisannya yang pertama, Abdullah S.P. baru menerka bahwa karya Hamka itu sama dengan Magdalaine. Selanjutnya, dalam rangkaian tulisan yang kedua Abdullah S.P. mulai membandingkan kutipan dari Tenggelamnya Kapal van der Wijck dengan kutipan dari Magdalaine. Berdasarkan perbandingan itu, Abdullah S.P. mengatakan bahwa titik tolak jiplakan dimulai dengan pendekatan pribadi antara dua pasang remaja, Zainuddin dan Stevents.
Tulisan Abdullah S.P. itu kemudian dikutip oleh Kantor Berita Antara yang disebarluaskan dalam buletin hariannya pada tanggal 19 September 1962. Sejak itu tuduhan jiplakan karya Hamka meluas dan menjadi polemik. Tanggapan datang dari berbagai kritikus, sastrawan, penerjemah, dan pemerhati sastra. Pramoedya Ananta Toer, pimpinan "Lentera" Bintang Timur mengungkapkan bahwa sebagai pengagum Hamka, ia sangat kecewa dengan terbongkarnya kepalsuan Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan ia mengharapkan agar Hamka menempuh "jalan yang baik", yaitu minta maaf kepada seluruh pembaca (12 Mei 1963).
Sekretaris BMKN, Anas Ma'ruf (12 Mei 1963) menyatakan bahwa tulisan Abdullah S.P. dan keberanian Bintang Timur yang telah menyingkap kebenaran dan fakta perlu mendapat pujian yang layak, tetapi tulisan itu kurang meyakinkan karena hal pokok seperti gagasan, tema, dan plot dalam keseluruhan kurang disinggung. Ia pun angkat topi kepada Berita Minggu yang giat mencari dan memuat visi-visi lain sebagai pengimbang dan pemelihara berkembangnya benih demokrasi. Kritikus lain, yaitu Usmar Ismail (12 Mei 1963), tokoh Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia mengemukakan bahwa sastrawan dalam menciptakan karyanya melalui tiga masa, yaitu masa terjemahan, masa pengaruh, dan masa keaslian. Yang ketiga pun hasil kristalisasi masa-masa sebelumnya; hanya seorang yang jenius yang mampu menciptakan keaslian. Jadi, apa yang terjadi pada Hamka adalah masa keaslian yang telah melalui kristalisasi masa-masa sebelumnya.
Tanggapan lain datang dari Ali Audah (10 Oktober 1962) yang telah menerjemahkan karya Manfaluthi ke dalam bahasa Indonesia. Ia menyatakan bahwa ada persamaan dan napas Manfaluthi yang begitu besar pengaruhnya kepada Hamka, tetapi setelah dibandingkan, kedua karya tersebut masih terlihat pengkhayalan kreatif dan gaya khas Hamka. Ali Audah yakin bahwa Hamka tidak sekadar memindahkan ide pengarang tentang masyarakat dan kehidupan serta romantismenya, tetapi ia berbicara tentang kekuasaan "ninik-mamak" di Minangkabau seperempat abad yang lalu.
Sementara itu, Zuber Usman, mantan Redaktur Balai Pustaka yang mahir berbahasa Arab sudah mengetahui bahwa Hamka banyak dipengaruhi oleh Manfaluthi sehingga karya Hamka bernapaskan karya Manfaluthi dan hal-hal seperti itu tak perlu dihebohkan. Hal yang sama juga disampaikan oleh Nur St. Iskandar bahwa apa yang dilakukan oleh Hamka bukan pekerjaan menjiplak. Tuduhan menjiplak itu pun tidak tepat diberikan kepadanya sebab Hamka memang seorang pengarang. Hal itu lebih baik dikatakan sebagai pengaruh Manfaluthi terhadap Hamka (2 Oktober 1962).
Hamka yang selama polemik berlangsung tetap diam karena tidak mau melayani fakta yang dicampuradukkan dengan opini akhirnya memberi komentar pada harian Berita Minggu (No. 31, 30 September 1962) bahwa ia memang sangat terpengaruh oleh Manfaluthi. Namun, sebagai orang yang beragama, ia percaya kepada keadilan Tuhan: seandainya bersalah, ia pastilah sudah jatuh. Hamka menyebutkan bahwa tuduhan tersebut hanyalah ingin menjatuhkan namanya.
Untuk menyelesaikan suasana yang gelap yang menutupi dunia sastra Indonesia, semula Fakultas Sastra UI akan membentuk suatu komisi yang bertugas menyelidiki apakah karya Hamka itu merupakan karya jiplakan atau karya asli. Namun, pembentukan komisi itu dianggap tidak praktis. Kemudian, timbul gagasan praktis, yaitu ciptaan Manfaluthi diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan disajikan kepada pembaca. A.S. Alatas, dosen Jurusan Sastra Arab, Fakultas Sastra UI kemudian menerjemahkan karya Manfaluthi tersebut.
Setelah penerjemahan itu, H.B. Jassin, kritikus sastra Indonesia mengatakan bahwa meskipun terdapat persamaan tema, plot, dan pikiran, Hamka jelas-jelas menimba dari sumber pengalaman hidup dan inspirasinya. Persamaan yang mungkin ada dengan karangan Manfaluthi dengan menyajikan beberapa pikiran dan patron cerita dapatlah dikembalikan pada pengaruh belaka, Hamka tidaklah menjiplak (17 Februari 1963). Keterangan H.B. Jassin segera dibantah harian Bintang Timur, 24 Februari 1963, dengan menurunkan berita yang berjudul "Berdasarkan Keterangan H.B. Jassin: Tenggelamnya Kapal van der Wijck Memang Plagiat, yang Tidak Plagiat Cuma Caranya Lakukan Plagiat".
Sesungguhnya, tuduhan Hamka sebagai plagiat tidak terlepas dari upaya Lekra untuk menyerang sastrawan-sastrawan yang tidak sehaluan politik. Sebagaimana dikemukakan Taufiq Ismail dalam bukunya Benteng dan Tirani, Hamka merupakan sasaran pertama Pramoedya (Pramoedya adalah pemimpin lembar kebudayaan "Lentera" harian Bintang Timur). Hamka dituduh, dipermalukan, dan dihina habis-habisan dengan bahasa yang kasar melalui lembar kebudayaan "Lentera" harian Bintang Timur dan tidak diberi kesempatan untuk hak membela diri di harian itu. Puncak penghinaannya adalah bahwa Hamka dituduh mengadakan rapat gelap yang merencanakan akan membunuh Menteri Agama dan Presiden sehingga ia ditahan tanpa pernah diadili.