Tak Putus Dirundung Malang merupakan novel yang dikarang oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Novel itu pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1929. Novel ini dicetak ulang beberapa kali oleh PT Dian Rakyat. Pada tahun 1982, novel ini sampai pada cetakan VII.
Novel itu menceritakan dua orang anak yang waktu masih anak-anak telah kehilangan ibu bapaknya sehingga mereka hidup dalam kemelaratan. Kebengisan pamannya menyebabkan mereka pergi meninggalkan kampung halaman. Mereka kemudian pergi ke Bengkulu, dan hanya sebentar hidup senang di sana.
Setelah menderita bermacam-macam kesusahan, Lamina yang termuda di antara kedua bersaudara itu bunuh diri karena saudaranya, Mansur, dipenjara karena sesuatu hal. Sesudah keluar dari penjara Mansur menjadi lain. Lima belas tahun lamanya ia mengembara di seluruh kepulauan Indonesia sebagai orang pendiam yang tidak suka berkawan. Dalam hidupnya ia hanya menunggu ajalnya sebagai suatu rahmat dari Tuhan. Ia jatuh ke dalam laut dan tenggelam di tempat adiknya dahulu menemui ajal.
M. Saleh Saad beranggapan bahwa S. Takdir Alijahbana sebenarnya memiliki kemampuan untuk memberikan yang baik di akhir cerita, misalnya memberikan gambaran pelabuhan Bengkulen waktu pagi, suasana riang gembira, hiruk-pikuk anak perahu berebut penumpang dan barang, sedangkan di buritan duduk Mansur merenung sendiri. Kontras yang disengaja antara keriangan pagi dan kesayuan hati, menonjolkan kesayuan hati Mansur itu lebih ke depan lagi.
H.B. Jassin (1985) melihat adanya jiwa romantik pengembara yang senantiasa diburu dalam novel Tak Putus Dirundung Malang karya Sutan Takdir Alisjahbana. Selain itu, Jassin juga melihat kemiripan novel Takdir ini dengan novel Kelalaian Di Lautan Utara yang pernah diterjemahkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Novel terjemahan Takdir itu juga bercerita tentang seorang pelaut yang adiknya bunuh diri dan dikubur di dalam laut.