Nh. Dini, seorang sastrawan, yang mempunyai nama lengkap Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin, lahir tanggal 29 Februari 1936 di Semarang, Jawa Tengah. Sebagai sastrawan, Nh. Dini menulis berbagai genre sastra, yaitu puisi, drama, cerita pendek, dan novel, tetapi ia lebih terkenal sebagai novelis yang kebanyakan karyanya mempergunakan latar negara-negara luar Indonesia.
Nh. Dini putri adalah bungsu pasangan Salyowijiyo, seorang pegawai perusahaan kereta api, dan Kusaminah. Dini juga berdarah bugis selain Jawa. Nh. Dini berkakak empat orang, yaitu (1) Heratih, (2) Mohamad Nugroho, (3) Siti Maryam, dan (4) Teguh Asmar. Dari keempat saudaranya itu yang paling akrab dengan Dini adalah Teguh Asmar karena keduanya sama-sama seniman. Nh. Dini juga dekat dengan ayahnya yang telah membimbingnya dalam mencintai seni. Sebelum meninggal, ayahnya berpesan agar Dini belajar menari dan memukul gamelan yang tujuannya untuk mendidiknya supaya Dini memahami kelembutan dalam kehidupan. Itulah sebabnya, mengapa tokoh utama wanita dalam novelnya Pada Sebuah Kapal sangat menonjol sifat kelembutannya.
Tahun 1960 Nh. Dini dipersunting seorang diplomat Perancis, Yves Coffin, yang pada saat itu sedang bertugas selama empat tahun di Indonesia. Setelah menikah, mereka pindah ke Jepang. Setahun kemudian, yaitu tahun 1961, lahir anak pertamanya yang diberi nama Marie Glaire Lintang. Dari Jepang mereka pindah ke Kamboja. Tahun 1967 lahir pula anak kedua (laki-laki) Louis Padang di L'Hay-'les Roses, Perancis. Akhirnya, mereka menetap di Perancis. Rumah tangga pasangan Nh. Dini dan Yves Coffin ini retak setelah mereka jalani selama lebih kurang dua puluh tahun. Setelah menyelesaikan urusan perceraiannya, tahun 1980 Nh. Dini kembali ke tanah air dalam keadaan sakit kanker. Setelah kesehatannya pulih, Nh. Dini aktif menulis dan membimbing anak-anak di desa Kedung Pani, sambil memupuk bakat menulis anak-anak bersama pondok bacaannya di Pondok Sekayu, di desa Kedung Pani, Semarang pada tahun 1986. Setelah Nh. Dini pindah ke Yogyakarta, Pondok Baca itu dipindah pula ke Yogyakarta di alamat Nh. Dini, Graha Wredha Mulya 1-A (2003). Selain itu, Nh. Dini juga mempunyai pondok baca cabang Jakarta, dan di Kupang Timur.
Dalam hal keyakinan, Nh. Dini tidak tegas memeluk salah satu agama, hanya diakuinya bahwa ia pernah mendapat pendidikan agama Islam Jawa. Kepada anaknya ia juga tidak memaksakan agama apa yang harus mereka anut walaupun ia mengirim anak-anaknya ke gereja ketika mereka masih kecil. Dini memberikan kebebasan memilih agama kepada anak-anaknya.
Dini tidak sempat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi karena ketika usianya tiga belas tahun, ayahnya meninggal dunia. Akan tetapi, ia sangat haus akan ilmu. Oleh karena itu, setiap ada kesempatan, ia menyempatkan diri mengikuti pendidikan, seperti mengikuti pendidikan untuk menjadi pegawai GIA. Di samping itu, dengan kelincahannya, ia juga mengikuti Kursus B-1 Sejarah dan bahasa asing pada tahun 1957 di Semarang.
Nh. Dini pernah bekerja sebagai penyiar RRI Semarang. Setelah lulus pendidikan di GIA, ia bekerja sebagai pramugari di Jakarta (1957—1960). Akan tetapi, setelah bersuami, 1960, Dini berhenti dari pekerjaannya.
Bakat kepengarangannya terbina sejak kecil, terutama karena dorongan ayahnya yang selalu menyeiakan bacaan bagi putri bungsunya ini. Nh. Dini baru menyadari bahwa bakat menulisnya muncul ketika gurunya di sekolah mengatakan bahwa tulisannya merupakan yang terbaik di antara tulisan kawan-kawannya dan tulisannya itu dijadikan sebagai contoh tulisan yang baik. Nh. Dini memupuk bakatnya dengan selalu mengisi majalah dinding di sekolahnya. Dia juga menulis esai dan sajak secara teratur dalam buku hariannya. Tahun 1952 sajak Nh. Dini dimuat dalam majalah Budaja dan Gadjah Mada di Yogyakarta dan juga dibacakan pada acara "Kuntjup Mekar" di Radio Jakarta. Cerpennya dimuat di dalam majalah Kisah dan Mimbar Indonesia, seperti "Kelahiran" (1956), "Persinggahan" (1957), dan "Hati yang Damai" (1960). Cerita-cerita pendeknya "Penungguan" (1955), "Pagi Hudjan" (1957), "Pengenalan" (1959), "Sebuah Teluk" (1959), "Hati yang Damai" (1960), dan "Seorang Paman" (1960) juga dimuat di "Gelanggang", lembar kebudayaan majalah Siasat.
Bakat kesenimanannya tidak terbatas pada karya sastra. Bersama kakaknya, Teguh Asmar, Nh. Dini mendirikan perkumpulan seni "Kuntjup Seri" yang kegiatannya berlatih karawitan atau gamelan, bermain sandiwara, dan menyanyi, baik lagu-lagu Jawa maupun lagu Indonesia. Di samping aktif dalam kegiatan itu, Nh. Dini juga masih sempat bekerja sebagai anggota redaksi ruang "Kebudayaan" dalam majalah pelajar kota Semarang, Gelora Muda.
Nh. Dini juga menulis naskah drama yang disajikan di RRI Semarang. Dalam acara lomba naskah drama di RRI Semarang, Nh. Dini mendapat hadiah pertama. Nh. Dini juga pernah mendapat penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah Thailand pada tahun 2003.
Nh. Dini banyak dinilai sebagai pengarang sastra prosa Indonesia terkemuka. Salah seorang tokoh yang mengungkapkan hal itu adalah A. Teeuw yang juga menyatakan bahwa novel-novel Dini sangat mengesankan, baik jumlah maupun mutunya. Selain itu, Nh. Dini juga dikenal sebagai pengarang yang secara intens membicarakan masalah perempuan.
Berikut ini sejumlah karya Nh. Dini, baik yang berbentuk puisi, kumpulan cerita pendek, maupun novel adalah sebagai berikut. Puisi (1) "Bagi Seorang jang Menerima" (Gadjah Mada, 1954); (2) "Penggalan" (Gadjah Mada, 1954); (3) "Kematian" (Indonesia, 1958); Kumpulan cerita pendek (1) Dua Dunia (NV Nusantara, 1956,), (2) Tuileries (Penerbit Sinar Harapan, 1982), (3) Segi dan Garis (Pustaka Jaya, 1983); Novel (1) Hati jang Damai (NV Nusantara, 1961), (2) Pada Sebuah Kapal (Pustaka Jaya, 1972), (3) La Barka (Pustaka Jaya, 1975), (4) Sebuah Lorong di Kotaku (1976), (5) Namaku Hiroko (Pustaka Jaya, 1977), (6) Padang Ilalang di Belakang Rumah (Pustaka Jaya, 1978), (7) Langit dan Bumi Sahabat Kami (Pustaka Jaya, 1979), (8)Sekayu (Pustaka Jaya, 1981), (9) Kuncup Berseri (Gramedia Pustaka Utama, 1982), (10)Orang-Orang Trans(1985),(11) Pertemuan Dua Hati (Gramedia, 1986) novel ini telah ddiangkat ke layar perak oleh Wim Umboh (12) Keberangkatan (Gramedia, 1987), (13) Jalan Bendungan (Jambatan, 1989), (14) Tirai Menurun (Gramedia, 1993), (15) Tanah Baru, Tanah Air Kedua (Grasindo, 1997), (16) Kemayoran: cerita Kenangan (Gramedia, 2000), (17) Jepun Negerinya Hiroko (Gramedia, Pustaka Utama, 2000), Dari Parangakik ke Kamboja (2003); Biografi Analisis Hamzah: Pangeran dari Negeri Seberang (Gaya Favorit Press, 1981), Dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang (novel, 2012).