Semaoen lahir tahun 1899 di Mojokerto. Oleh A. Teuw dalam bukunya Sastra Baru Indonesia ia digolongkan sebagai seorang anggota komunis penting yang menulis sebuah roman politik berjudul Hikajat Kadiroen. Bersama-sama dengan Mas Marco, Semaoen oleh Edwina Satmoko Tanojo digolongkan sebagai tokoh pers yang menggunakan karya sastra sebagai alat propaganda. Pemerintah Belanda pada masa itu menggolongkan mereka "sebagai saudagar kitab yang kurang suci hatinya" atau pengarang bacaan liar. Karya-karya mereka diterbitkan oleh penerbit PKI dan berisi pandangan politik yang bertentangan dengan pemerintah.
Karier kepengarangannya dimulai dari profesinya sebagai seorang wartawan. Kariernya sebagai wartawan dimulai pada tahun 1917 sebagai jurnalis di Sinar Djawa-Sinar Hinia. Dia mulai masuk dalam jajaran redaksi Sinar Djawa-Sinar Hinia pada tanggal 19 November 1917 dan ditempatkan sebagai redaktur bagian politik, lalu pada tanggal 1 Mei 1918 ia tidak saja menjadi redaktur, tetapi juga menjabat sebagai direktur penerbitan ini. Di bawah kepemimpinannya, Sinar Djawa-Sinar Hinia bersifat dinilai oleh Rinkes sebagai terbitan yang ekstrimis.
Selain sebagai jurnalis, Semaoen dikenal sebagai tokoh partai Sarikat Islam Semarang dan kemudian menjadi ketua Partai Komunis Hinia (perubahan nama dari ISDV) yang berdiri pada tanggal 23 Mei 1920. Dari sepak terjangnya tersebut, novelnya yang berjudul Hikajat Kadiroen yang dimuat dalam Sinar Djawa-Sinar Hinia mulai 5 Mei 1920 dan tamat pada 22 September 1920 dicap sebagai roman politik.
Apa yang diungkapkan dalam novelnya terwakili oleh seorang tokoh bernama Kadiroen, seorang priyayi muda yang kuat dan cakap yang terpilih sebagai patih karena keaktifannya di dunia politik. Tokoh Kadiroen dicitrakan sebagai seorang pemuda pejabat pemerintah yang berhasil menjauhkan diri dari sifat menjilat dan tidak jujur yang pada masa itu sedang menggejala di kalangan pegawai pemerintah. Akan tetapi, Kadiroen menghadapi kenyataan bahwa ia tidak dapat menolong rakyat yang miskin. Dia frustasi dan kemudian meninggalkan pekerjaannya untuk terjun ke pergerakan politik. Tokoh ini berharap setelah terjun ke dunia politik akan dapat berbuat banyak untuk rakyat.
Apa yang diungkapkan tersebut terkait dengan latar kehidupan keluarga orang kebanyakan dalam lingkungan pegawai kereta api. Ayahnya adalah salah seorang pegawai kereta api. Semaoen tumbuh dalam era politik etis. Setelah lulus sekolah bumiputera kelas satu, ia bekerja di SS (Staatsspoor) sebagai juru tulis pada tahun 1912. Saat itu usianya baru 13 tahun. Dua tahun kemudian yaitu pada tahun 1914, ia sudah menjadi anggota Sarekat Islam Surabaya dan terpilih menjadi sekretaris partai tersebut. Tahun 1915 Semaoen bertemu dengan Sneevliet, ketua "Sociale Democratische Arbeiders Partij (SDAP)" di Belanda yang datang ke Hindia Belanda pada bulan Februari 1913. Keakrabannya dengan Sneevliet yang dianggapnya sebagai seorang Belanda yang bebas dari mentalitas kolonial mendorongnya aktif dalam "Indische Sociaal Democratische Vereeniging" (ISDV)—kelompok debat orang-orang sosialis Belanda yang kemudian dimasuki pula oleh Bumiputera--dan "Vereeniging voor Spoor-en Tramwegpersoneel" (VSTP) dan menjadi propagandis VSTP.
Saat itu, Semaoen masih sangat muda, ia yang termuda di antara Mas Marco dan Tjokroaminoto. Sebagai propagandis Sarekat Sekerja yang bukan berasal dari golongan priyayi, ia merasakan bahwa pergerakan merupakan kenyataan hidup yang harus dihadapi. Kemudaannya dan kedekatannya dengan Sneevliet menjadikannya tidak dianggap berbahaya oleh pemerintah Belanda. Dia kemudian menjadi pemimpin surat kabar Sinar Hinia dan menjadi pengurus Sarekat Islam Semarang. Namun, tampaknya ia memiliki sikap yang berbeda dengan pemimpin pergerakan pendahulunya. Di bawah kepemimpinannya Sarekat Islam menggandeng kalangan buruh dan rakyat kecil.
Sepak terjang Semaoen akhirnya terhenti karena ia ditangkap oleh Pemerintah Belanda pada tanggal 8 Mei 1923. Dia seorang penganjur pemogokan, yang kemudian terwujud sesaat setelah ia ditangkap. Pemerintah Belanda memutuskan untuk mengasingkannya ke Timor. Namun, atas permintaannya, ia memilih untuk iasingkan ke Belanda. Dia berangkat pada tanggal 18 Agustus 1923 dan baru kembali ke Indonesia pada tahun 1957 dan meninggal dunia pada bulan April 1971 di Jakarta. Semaoen dikebumikan di Gunungpasir, Jawa Timur.