| |
Satyagraha Hoerip dikenal dengan nama sapaan Mas Oyik (orang yang idealismenya kerakyatan) dan nama panjangnya Satyagraha Hoerip Soeprobo. Satyagraha Hoerip lahir tanggal 7 April 1934 di Lamongan, Jawa Timur, dari keluarga berada. Nama lengkapnya Raden Hoerip Satyagraha Prawirodihardjo. Ayahnya, Raden Soeprobo Prawiradimulja, pernah bekerja sebagai Sekretaris Wilayah Daerah Kabupaten Lamongan, sebagai camat (asisten wedana) di Blitar, sebagai patih Nganjuk, sebagai Bupati Bondowoso, dan terakhir menjadi residen di Surabaya. Ibunya, yang bernama Raden Rara Suhartini Sumodihardjo, saudara sepupu Presiden Sukarno. Satyagraha Hoerip anak pertama dari lima bersaudara. Namun, hanya Satyagraha yang menekuni dunia tulis menulis. Bakat menulis Satyagraha sudah terlihat sejak kecil. Dia gemar membaca. Ketika Jepang berkuasa, Satyagraha masih sempat secara sembunyi-sembunyi mencari bacaan-bacaan berbahasa Belanda yang ketika itu sudah dilarang. Meskipun lahir dari keluarga kaya, Satyagraha tetap bersikap sederhana. Dia lebih senang hidup di desa-desa menyelami kehidupan rakyat kecil.
Sebagai anak pamong praja yang selalu berpindah-pindah tempat tinggal, Satyagraha menjalani pendidikan dengan tersendat-sendat. Dia mulai memasuki dunia sekolah pada tahun 1940-an di ELS, sekolah taman kanak-kanak zaman Belanda. Setelah tamat ELS, Satyagraha melanjutkan sekolah ke SR di Kediri, kemudian ke SMP di Blitar dan pindah ke Nganjuk. Di bangku SMP inilah Satyagraha mulai menulis. Dia menulis beberapa puisi yang dimuat di surat kabar daerah. Ketika itu ia menggunakan nama samaran I. Poreh dan I. Gst. Poreh. Setelah tamat SMP, Satyagraha pindah ke Malang untuk meneruskan sekolah ke SMA. Di SMA Bagian A, ketika berada di Malang, ia pernah menjadi murid Iwan Simatupang, sastrawan terkemuka tahun 1960-an. Teman-temannya di SMA yang akhirnya sama-sama menjadi sastrawan antara lain Alex Leo, Titie Said Sadikun, dan Budihardjo Sn. Di SMA, Satyagraha makin sering menulis sastra yang dimuat di media massa cetak, seperti Mingguan Minggu, majalah Aneka, Starmus, dan Minggu Pagi. Setelah tamat SMA, atas kehendak ayahnya, Satyagraha kuliah di Fakultas Hukum sebagai penerima bea siswa ikatan dinas. Meskipun kuliah di Fakultas Hukum, ia lebih sering terlihat di Fakultas Sastra. Selama menjadi mahasiwa, ia giat mengasuh majalah mahasiswa. Bersama beberapa orang temannya, ia mendirikan GM Sos (Gerakan Mahasiwa Sosialis). Satyagraha tercatat sebagai salah seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan.
Sebagai orang yang gemar mengembara dan berpindah-pindah tempat tinggal, Satyagraha dapat dikatakan tidak mempunyai pekerjaan tetap. Dia juga berpindah-pindah dari pekerjaan yang satu ke pekerjaan yang lain. Tahun 1960 Satyagraha bekerja sebagai wartawan Minggu Pagi di Yogyakarta, dan satu tahun kemudian (1961) ia bekerja di Penerbit Ganaco, Bandung. Tahun 1964 Satyagraha bekerja sebagai Sekretaris Kedutaan Besar Aljazair. Tahun 1966—1967 ia bekerja sebagai wartawan Harian Kami, kemudian pindah ke surat kabar Sinar Harapan hingga tahun 1969. Tahun 1972—1973 Satyagraha mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Satyagraha kembali bekerja di Sinar Harapan sebagai editor senior tahun 1980. Tahun 1982 ia diangkat sebagai dosen tamu di Indonesia Studies Summer Institute, Universitas Ohio, Athens, Amerika Serikat. Profesi dosen itu agak lama berlangsung karena ia juga memberi kuliah dan sebagai dosen penguji di Modern Indonesian Literature and Culture. Tahun 1990 Satyagraha dikukuhkan sebagai profesor tamu di Jurusan Pusat Studi Asia Tenggara, Universitas Kyoto, Jepang. Tahun 1990-an sampai akhir hayatnya—meninggal tanggal 14 Oktober 1998—kegiatannya hanya menulis dan menulis, baik menulis sastra, artikel tentang sastra, artikel sosial, maupun kritik sastra.
Satyagraha menikah dengan gadis Manado bernama Agustina Wilhelmina Ulag Nieman, penganut agama Kristen yang taat, tanggal 14 Mei 1964. Dari pernikahannya itu mereka ianugerahi lima orang anak. Setelah menikah, Satyagraha akhirnya memeluk agama Kristen.
Pria yang tidak pernah berhasil meraih gelar sarjana dari beberapa perguruan tinggi itu tampaknya mengkhususkan diri untuk menulis cerita pendek. Bahkan, ia sempat mendapat julukan "suhu cerita pendek" di Indonesia. Sastrawan yang lebih dikenal dengan panggilan Oyik itu tidak hanya ahli mencipta cerita pendek, tetapi juga aktif mengumpulkan cerita-cerita pendek Indonesia dan menerjemahkannya ke dalam bahasa asing. Selain itu, Satyagraha pernah bekerja sebagai editor buku yang berjudul "New York After Midnight", kumpulan 11 cerpen dari 11 pengarang. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul 11 Indonesian Short Stories, dan diterbitkan oleh Penerbit Wira Pratama tahun 1991.
Satyagraha Hoerip mendapatkan berbagai hadiah, seperti tahun 1961 atas cerita pendeknya "Seorang Buruan" memenangkan Hadiah Hiburan majalah Sastra. Tahun 1968 berkat cerita pendeknya "Sebelum yang Terakhir" mendapat pujian dari redaksi Horison. Pengalaman yang sangat berharga bagi Satyagraha adalah ketika ia mendapat Hadiah Nemis dari Pemerintah Chili tahun 1987. Pada waktu itu Satyagraha dinyatakan sebagai pemenang Sayembara penulisan cerpen yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Chili untuk Indonesia di Jakarta tanggal 27 Agustus 1987. Selain itu, tahun 1997 berkat cerita pendek "Sarinah Kembang Cikembang" ia mendapat penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Cerita pendek "Pada Titik Kulminasi" termuat dalam bunga rampai Laut Biru Langit Biru susunan Ajip Rosidi.
Berdasarkan pengalaman menulisnya, Satyagraha pernah menulis cerita film dengan judul Palupi. Cerita itu kemudian digarap Asrul Sani menjadi film dan berubah judul menjadi Apa yang Kau Cari Palupi?. Selain itu, pada tahun 1963, konon Satyagraha pernah membintangi film "Penyebrangan". Satyagraha juga aktif menulis artikel-artikel sosial, antara lain "Buat Para Pemimpin Berpikir dan Bertindak sebagai Teladan" Sinar Harapan, 12 Desember 1967, "Bahaya Tenggelamnya Warisan Kebudayaan Kita karena Pemerintah & Para Sarjana Tak Mencegahnja", Sinar Harapan, 9 Januari 1968, dan "Kesadaran Rakjat, Kuntji Paling Utama", Sinar Harapan, 28 Mei 1968.
Goenawan Mohammad dalam "Catatan Pinggir" Tempo, 26 Oktober 1998", menyatakan bahwa bagaimanapun, Satyagraha Hoerip adalah penulis yang bisa jadi saksi utama pergulatan intelektual di Indonesia yang mau tak mau menyangkut banyak hal, dari cerita pendek sampai kekuasaan yang jatuh bangun.
Karya-karya Satyagraha, antara lain sebagai berikut.
1) Bisma Banteng Mayapada (cerita wayang, 1960); 2) Keperluan Hidup Manusia (1963; terjemahan dari Leo Tolstoy); 3) Sepasang Suami Isteri (novel, 1964); 4) Burung Api (cerita anak, 1970); 5) Tentang Delapan orang (kumpulan cerpen, 1980) ; 6) Sesudah Bersih Desa (kumpulan cerpen, 1989); 7) Cerita Pendek Indonesia 1-3 (antologi cerpen, 1979, tahun 1989 terbit dalam edisi revisi menjadi 4 jilid); 8) Antologi Esai tentang Persoalan Sastra (antologi esai, 1969, terbit ulang tahun 1982 dengan judul Sejumlah Masalah Sastra); 9) Circumcision (antologi cerpen, 1994); 10) Bisma Dewabrata (cerita Wayang, 1995).