Soni Farid Maulana, seorang penulis puisi religius yang mengarah pada sufistik, lahir di Tasikmalaya Jawa Barat pada tanggal 19 Februari 1962 dari pasangan R. Sarah Solihati dan R. Yuyu Yuhana. Selain kedua orang tuanya, Soni juga sangat menyayangi neneknya (Oneng Rohana) yang merawat dan mengasuhnya semenjak ia kecil, dan memperkenalkannya pada puisi, khususnya teks-teks tembang Sunda yang sering didendangkan saat menidurkan Soni di waktu kecil. Hal tersebut menempa Soni menjadi seorang penyair yang produktif setelah dewasa. Bahkan, ia juga menulis juga dalam bahasa Sunda. Saat neneknya meninggal tahun 1976, untuk mengenangnya, Soni menciptakan puisi "Di Pemakaman". Soni menikah dengan Heni Hendrayani pada 19 Februari 1990 dan dikaruniai tiga anak.
Dia telah menyelesaikan pendidikannya di ASTI Bandung tahun 1986. Setelah itu, Soni bekerja sebagai wartawan Pikiran Rakyat, Bandung akhir Februari 1990. Selain itu, ia tetap aktif menulis sajak dalam Suara Pembaharuan, Pelita, Suara Karya Minggu, Pikiran Rakyat, Republika, Gelora, Horison, Hikmah Mitra Desa, Mutiara, Ulumul Qur'an, dan Citra Yogya.
Karya-karya Soni, antara lain, kumpulan puisi berjudul Bunga Kecubung (1989), Dunia Tanpa Peta (1985), Krematorium Matahari (1985), Para Penziarah (1987), Matahari Berkabut (1989), Guguran Debu (1994), Panorama Kegelapan (1996), Lagu dalam Hujan (1996), dan Sehabis Hujan (1996). Angsana (Ultimus, 2007), Sehampar Kabut (Ultimus, 2006), Secangkir Teh (Grasindo, 2005), Variasi Parijs van Java (Kiblat, 2004), Tepi Waktu Tepi Salju (Kelir, 2004), Selepas Kata (Pustaka Latifah, 2004), Kalakay Mega (1992), dan Peneguk Sunyi (2009).
Sejumlah puisinya juga dimuat dalam antologi bersama, antara lain, Tonggak jilid 4 (1987), Malam 1000 Bulan (1992), Seratus Sajak Sunda (1992, Ed. Abdullah Mustappa), Orba (1993), Dari Negeri Poci 2 (1994, ed. F. Rahadi), Sajak Sunda Indonesia Emas (1995, ed. Abdullah Mustapa dan Taufik Faturohman). Dua kumpulan puisinya,Sehampar Kabut masuk dalam Lima Besar Khatulistiwa Literary Award 2005-2006, dan Angsana masuk dalam Lima Besar Khatulistiwa Literary Award 2006-2007. Sebagai jurnalis pun Soni mendapat hadiah dari PWI Pusat, yakni Anugerah Jurnalistik Zulharmans pada tahun 1999 atas sebuah esai yang ditulisnya berjudul Penyair Taufiq Ismail Peka Sejarah. Pada tahun yang sama, Soni juga mendapat Hadiah Sastra LBSS untuk sebuah puisi Sunda yang ditulisnya. Selain mendapat penghargaan, puisi-puisi yang ditulisnya banyak yang dibahas, baik dalam bentuk esai, skripsi, maupun disertasi. Salah seorang penulis asing yang menulis puisi Soni untuk disertasinya adalah Ian Campbell dari Australia. Puisinya selain diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, juga ke dalam bahasa Jerman dan Belanda. Puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Prof. Dr. A. Teeuw dan Linde Voute dalam antologi Winternachten (1999). Sementara dalam bahasa Jerman, beberapa puisinya terbit di majalah Orientirungen (2000) melalui terjemahan Berthold Damshäuser.
Soni juga menulis puisi dengan latar belakang luar negeri. Sejumlah puisinya bertema musim dingin, baik mengenai Paris, Den Haag, Leiden, maupun sejumlah tempat lainnya di Eropa. Dua puisi yang cukup menggetarkan, antara lain, berjudul "Di Negeri Salju" yang didedikasikan kepada Rendra, dan "Berjalan di Pinggir Sungai Seine" yang dipersembahkan kepada istrinya. Kedua puisi tersebut ditulis pada tahun 1999. Pada tahun itu, Soni memang berkesempatan ke luar negeri, Belanda, mengikuti Festival de Winternachten bersama Rendra, setelah itu melanjutkannya ke Paris.
Selain menulis puisi, ia juga senang menulis cerpen. Beberapa kumpulan cerpennya antara lain, Orang Malam (Q-Press, 2005), Di Luar Mimpi (1997), Kita Lahir sebagai Dongengan (2000), dan Palung Rasa (2001). Soni saat ini mencurahkan perhatiannya pada cerpen dan novel. Dia berpendapat bahwa "Saya rasa sudah cukup saya bergelut dengan puisi, mudah-mudahan Februari 2008 saya akan menerbitkan dua kumpulan puisi terakhir. Puisi yang bersumber Hadis Muhammad dan Alqur'an akan menjadi penutup kumpulan puisi saya".
Soni, antara lain hadir di Forum Puisi Indonesia 1987 yang diselenggarakan DKJ, Asean Writers Conference IV (1990) di Queezon City, Filipina, Festival de Winter-nachten di Den Haag, Belanda (1999), Puisi International Indonesia di Bandung (2002), International Literary Biennale 2005, Living Together di Bandung (2005).
Yakob Sumardjo berkomentar bahwa membaca sajak-sajak Soni akan terasa penguasaannya terhadap idiom-idiom puitik modern. Imajinya terasa cerdas, otentik dan di luar dugaan. Benny Yohanes (dalam Berita Buana 27 Januari 1987) menyatakan adanya "aspek religius yang menandai hubungan vertikal antara makhluk dan Khaliknya yang muncul sebagai arus kuat dalam meraih posisi makna hidupnya. Pada Soni Farid Maulana, arus itu sama nilainya dengan ketentraman dan katarsis diri".
Dalam kumpulan sajaknya yang awal, Soni lebih banyak mengungkapkan dunia kesendiriannya, dunia seorang lelaki yang ditekan oleh kesunyian. Dunia remaja yang masih kalut untuk menentukan nilai yang harus dipegang. Namun, dalam perkembangan lebih lanjut, menurut Micky Hidayat, Soni Farid Maulana tampak mempunyai warna tersendiri. Dia memperlihatkan sosok kepenyairannya yang mendalam, yang tercermin pada tema-temanya yang luas tentang pengembaraan rohani, masalah sosial, cinta alam, kemanusian, perenungan diri, dan religiusitas.
Isbedy Setiawan ZS berpendapat bahwa sajak-sajak Soni Farid Maulana memakai idiom (simbol) batu, baja, burung, mawar, daun, lautan maupun embun. Dari pilihan simbol ini disimpulkan bahwa Soni, selain berjiwa halus dan dingin seperti batu, juga memiliki cinta seperti mawar atau burung karena menyadari bahwa sesungguhnya nasib manusia bagai setetes embun di atas daun yang sesaat akan terjatuh ke tanah.