Walujati Supangat dikenal sebagai penyair dan cerpenis, mempunyai nama lengkap Louise Walujati Hatmoharsoio. Nama Supangat adalah nama suaminya. Nama kecil Walujati adalah Wiesje, lahir di Sukabumi pada tanggal 5 Desember 1924. Orang tuanya berasal dari Jawa Tengah dari lingkungan keraton. Ibunya seorang Islam yang taat, sedangkan ayahnya cenderung pada teosofi.
Waluyati menempuh pendidikan di E.L.S. kemudian masuk Mulo di Sukabumi, lalu melanjutkan ke H.B.S. bagian B di Bogor. Ketika ia duduk di kelas 4, pemerintah Belanda, jatuh sehingga ia tidak dapat melanjutkan sekolah lagi. Sementara itu, pada masa pendudukan Jepang, Walujati mempelajari Nippon-go karena berhasrat untuk mengerti puisi Jepang. Dia pernah menjadi guru sekolah rakyat dan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Walujati bekerja di bidang sosial.
Sewaktu berumur 13 tahun, Walujati mulai menulis sajak dan prosa dalam bahasa Belanda, sehingga menarik perhatian gurunya di H.B.S. Guru inilah yang membimbing Walujati ke bidang sastra Belanda. Pada waktu berumur 15 tahun, Walujati mulai tertarik kepada buku-buku filsafat dengan pemuka-pemukanya Krisjnamurti, Jinarajadasa, dan Annie Besant, selain memperdalam sastra. Sajak pertamanya ditulis dalam bahasa Indonesia dan dimuat dalam Pantja Raya tahun 1946—1947 kemudian dimuat lagi dalam Mimbar Indonesia.
Bukunya yang berjudul Pundjani diterbitkan oleh Gapura di Jakarta pada tahun 1951. Sebelum diterbitkan, naskah buku itu berjudul "Pundjani dan Suaminya". Atas anjuran H.B. Jassin buku itu diubah judulnya menjadi "Tjerita seorang Pelukis". Judul itu pun akhirnya berubah menjadi Pundjani. Buku itu berisi masalah cinta suami, cinta anak, cinta keluarga, dan cinta masyarakat. Di dalam naskah itu terungkap masalah pengorbanan, pengharapan, kekecewaan, dan kesetiaan.
Sebuah naskah karya Walujati yang masih berupa ketikan, belum diterbitkan, berjudul "Kita Hidup", tersimpan di PDS H.B. Jassin. Naskah tersebut bercerita tentang tiga generasi remaja.
Sajak Walujati Supangat juga dimuat dalam buku Gema Tanah Air 1 yang diterbitkan oleh Gunung Agung 1948. Sajak-sajak itu adalah "Telaga Remaja", "Nanti, Nantikanlah ...", "Siapa", "Berpisah", dan "Engkau".
Beberapa sajak Walujati juga dipublikasian oleh majalah Mimbar Indonesia dan Pantja Raya. Sajak yang berjudul "Negara Bangun" dimuat dalam Mimbar Indonesia nomor 15, Th. IV, 15 April 1950:21—23, sajak yang berjudul "Tjinta" dimuat dalam Mimbar Indonesia nomor 8, Th. IV, 25 Februari 1950, sajak berjudul "Sinar Padam" dan "Astana Anjar" masuk Rubrik "Kumandang Tanah Air" pada Mimbar Indonesia nomor 2 , Th. IV, 14 Januari 1950, sajak berjudul "Kesuma Dikala Sendja ..." dimuat dalam Pantja Raya nomor 13, Th. II, 1947 yang merupakan terjemahan dari "Nauw Zichtbaar Wiegen ..." oleh W. Kloos (1859—1937), sajak berjudul "Bambu" dan "Pelangi" dimuat dalam Pantja Raya nomor 11—12, Th. II, 1947:409, sajak berjudul "Tenanglah Adikkoe" dimuat dalam Pantja Raya no. 7, Th. II, 1947:207, sajak berjudul "Telaga Remadja", "Nanti, Nantikanlah", "Sesal", "Tjinta Iboe", dan "Siapa" dimuat dalam Pantja Raya nomor 1, Th. II, 15 Nopember 1946:19, sajak berjudul "Senja-Kala", "Adikkoe, Terima Kasih ... ", dan "Soeara Iboe" dimuat dalam Pantja Raya nomor 18, Th. I, 1946:488, sajak berjudul "Engkau" dimuat dalam Pantja Raya nomor 17, Th. I, 1946:19, sajak berjudul "Berpisah" pada Pantja Raya nomor 24, Th. 1, 1946:672, sajak berjudul "Iboe" dan "Kelana" dimuat dalam Pantja Raya nomor 19, Th. I, 1946:582, sajak berjudul "Inikah Tjinta" dimuat dalam Pantja Raya nomor 5, Th. II, 1947:143, sajak berjudul "Tanaman Hidoepkoe", "Soeara Bahagia", dan "Djoeita" dimuat dalam Pantja Raya nomor 19, Th. I, 1946:512. Sajak-sajak lain yang dipublikasikan berjudul "Wach, wacht toch" dalam Criterium no. 8—9, Agustus—September 1947.
Selain sajak-sajak tersebut, ditemukan pula cerpen dan sajak-sajak yang ditulis dalam buku tulis yang tersimpan di PDS H.B. Jassin, tertanggal 9 Januari 1947. Cerpennya itu berjudul "Pohon Djeroek Berkembang". Sementara itu, kumpulan sajak Waluyati yang berjudul "Antara Fadjar dan Sendja" di dalamnya berisi 18 sajak, yaitu (1) "Senandung Fadjar", (2) "Anak-anak Bermain", (3) "TjintaMu", (4) "Gadis", (5) "Di dalam Hutan", (6) "Sinar TjintaMu", (7) "Renungan" (8) "Bahagia", (9) "Aku Mengerti", (10) "Zaman Keruh", (11) "Djangan, Djangan ...," (12) "Melur Gugur", (13) "Ibu", (14) "Itulah Pesta", (15) "Astana Anyar", (16) "Sendja di Kota", (17) "Sinar Padam", dan (18) "Senandung Sendja". Selain kedelapan belas sajak tersebut, juga terdapat beberapa sajak yang belum dipublikasikan yang berjudul (1) "Senandung Rindu", (2) "Bajangan Petjah-Petjah", (3) "Damars bij Zonsonolergang", (4) "Djeruk Berkembang", (5) "Aku Mengerti", (6) "Meditasi", (7) "Bahagia", dan (8) "GadisTua".
H.B. Jassin mengungkapkan ihwal Walujati dengan menghubungkannya dengan karyanya dan tiba pada kesimpulan bahwa Walujati menjadi seorang yang luas dalam pandangan kebatinannya sehingga di dalam sajak-sajaknya tiada terlihat pengaruh yang berat kepda sesuatu agama saja, melainkan tercapai olehnya tingkat yang mistis universal.