• Halaman Beranda

  • Data Referensi Kebahasaan dan Kesastraan

  • Ahli Bahasa

    Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA)

    Bahasa Daerah Di Indonesia

    Duta Bahasa

    KBBI

    Penelitian Bahasa

    Registrasi Bahasa

    UKBI

    Indeks Pemanfaatan Bahasa Daerah

    Indeks Kemahiran Berbahasa

    Revitalisasi Bahasa Daerah

  • Gejala Sastra

    Hadiah/Sayembara Sastra

    Karya Sastra

    Lembaga Sastra

    Media Penyebar/Penerbit Sastra

    Pengarang Sastra

    Penelitian Sastra

    Registrasi Sastra Cetak

    Registrasi Sastra Lisan

    Registrasi Manuskrip

  • Pencarian lanjut berdasarkan kategori kebahasaan dan kesastraan

  • Statistik

  • Info

 
 

Dampol Siburuk

Kategori: Registrasi Sastra Lisan

 

Suku : Batak Toba

Genre : Prosa

Provinsi: Provinsi Sumatera Utara

Kabupaten/Kota: Kabupaten.Samosir

Kecamatan: Pangururan

Desa: Pangururan

Penyebaran: Wilayah tanah Batak


Dampol Siburuk adalah cerita rakyat masyarakat Batak Toba, Sumatera Utara, yang menginspirasi penemuan pengobatan patah tulang ala urut burung butbut (dampol siburuk) dengan menggunakan sarang burung butbut sebagai ramuannya. Pada masa cerita rakyat ini masih hidup dan sering dituturkan, pengobatan patah tulang ala "dampol siburuk" pun masih dipraktikkan dalam mengobati patah tulang. Saat ini cerita rakyat tersebut tidak pernah lagi dituturkan, demikian juga praktik pengobatan “dampol siburuk” sehingga sudah dalam kategori hampir punah. Para seniman dan budayawan Batak Toba telah mengalihwahanakan cerita rakyat "Dampol Siburuk" ini menjadi seni pertunjukan. Badan Bahasa melalui Pusat Pengembangan dan Pelindungan telah merevitalisasi cerita rakyat "Dampol Siburuk" pada Agustus 2016 di Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.

 

Sinopsis Dampol Siburuk

Sepasang induk burung butbut (pidong siburuk) bersama seekor anaknya yang belum dapat terbang, pada suatu pagi sedang bersuka ria. Ketika kedua induk burung siburuk itu pergi mencari makan, tinggallah sendiri anaknya yang masih kecil di sarangnya. Kemudian datang seorang penggembala dan melihat anak burung siburuk tersebut, dan timbullah niatnya untuk memiliki anak burung siburuk tersebut. Lalu dipatahkannya tulang sayap anak siburuk itu supaya kelak tidak bisa terbang. Setelah kedua induknya kembali ke sarangnya, mereka terkejut dan sedih melihat anaknya yang menderita patah sayap. Tidak lama kemudian, kedua induk burung siburuk itu terbang meninggalkan anaknya. Akan tetapi, tidak lama kemudian, keduanya kembali ke sarangnya. Mereka membawa dedaunan dan tetumbuhan seperti sipijor na ganggang, amos-amos, sigagaton ni hirik, dan tetumbuhan lainnya. Tetumbuhan itulah yang digunakan oleh kedua induk burung tersebut mengobati sayap anaknya yang patah. Kedua induk siburuk itu dengan sabar dan tekun membalut sayap anaknya yang patah dengan bermacam dedaunan. Tidak berapa lama pula, sayap patah anak siburuk itu pun sembuh. Setelah sembuh, keluarga burung itu pun kembali riang gembira. Karena anaknya sudah dapat terbang, keluarga burung siburuk itu terbang membawa anaknya meninggalkan sarang mereka dan tidak pernah lagi kembali ke tempat itu.

Tidak berapa lama kemudian si penggembala datang hendak memeriksa anak burung siburuk itu. Tetapi, alangkah terkejutnya dia karena anak burung siburuk itu tidak ada lagi di sarangnya. Ia hanya menemukan sarang kosong dengan beberapa macam dedaunan yang masih kehijauan namun mulai kering. Dengan penuh tanda tanya si penggembala mengambil sarang burung siburuk tersebut, lalu diserahkannya kepada seorang dukun pengobatan di kampungnya. Melihat dedaunan dan tetumbuhan itu, sang dukun pun senang hatinya, karena dedaunan seperti itulah yang dicari-carinya untuk digunakan mengobati orang yang patah tulang atau terkilir.

Sementara itu, sebagaimana kebiasaan di perkampungan Batak, pada malam hari di saat bulan terang, para gadis menari atau martumba di tengah halaman perkampungan. Pada saat mereka menari, salah seorang dari penari itu terjatuh hingga kakinya terkilir. Maka dibawalah si gadis itu ke dukun patah. Sang dukun pun mengobatinya dengan menggunakan dampol siburuk. Tidak berapa lama kemudian kaki gadis penari yang terkilir itu pun sembuh seperti sedia kala. Demikianlah cerita Dampol Siburuk.

Berdasarkan cerita Dampol Siburuk, orang Batak menemukan pengobatan patah tulang ala dampol Siburuk. Cerita ini meninggalkan pesan supaya melindungi satwa liar dan lingkungan hidup atau alam semesta. (Jonner Sianipar)

 
PENCARIAN TERKAIT
 
© 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
 

Dampol Siburuk

Kategori: Registrasi Sastra Lisan

 

Suku : Batak Toba

Genre : Prosa

Provinsi: Provinsi Sumatera Utara

Kabupaten/Kota: Kabupaten.Samosir

Kecamatan: Pangururan

Desa: Pangururan

Penyebaran: Wilayah tanah Batak


Dampol Siburuk adalah cerita rakyat masyarakat Batak Toba, Sumatera Utara, yang menginspirasi penemuan pengobatan patah tulang ala urut burung butbut (dampol siburuk) dengan menggunakan sarang burung butbut sebagai ramuannya. Pada masa cerita rakyat ini masih hidup dan sering dituturkan, pengobatan patah tulang ala "dampol siburuk" pun masih dipraktikkan dalam mengobati patah tulang. Saat ini cerita rakyat tersebut tidak pernah lagi dituturkan, demikian juga praktik pengobatan “dampol siburuk” sehingga sudah dalam kategori hampir punah. Para seniman dan budayawan Batak Toba telah mengalihwahanakan cerita rakyat "Dampol Siburuk" ini menjadi seni pertunjukan. Badan Bahasa melalui Pusat Pengembangan dan Pelindungan telah merevitalisasi cerita rakyat "Dampol Siburuk" pada Agustus 2016 di Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.

 

Sinopsis Dampol Siburuk

Sepasang induk burung butbut (pidong siburuk) bersama seekor anaknya yang belum dapat terbang, pada suatu pagi sedang bersuka ria. Ketika kedua induk burung siburuk itu pergi mencari makan, tinggallah sendiri anaknya yang masih kecil di sarangnya. Kemudian datang seorang penggembala dan melihat anak burung siburuk tersebut, dan timbullah niatnya untuk memiliki anak burung siburuk tersebut. Lalu dipatahkannya tulang sayap anak siburuk itu supaya kelak tidak bisa terbang. Setelah kedua induknya kembali ke sarangnya, mereka terkejut dan sedih melihat anaknya yang menderita patah sayap. Tidak lama kemudian, kedua induk burung siburuk itu terbang meninggalkan anaknya. Akan tetapi, tidak lama kemudian, keduanya kembali ke sarangnya. Mereka membawa dedaunan dan tetumbuhan seperti sipijor na ganggang, amos-amos, sigagaton ni hirik, dan tetumbuhan lainnya. Tetumbuhan itulah yang digunakan oleh kedua induk burung tersebut mengobati sayap anaknya yang patah. Kedua induk siburuk itu dengan sabar dan tekun membalut sayap anaknya yang patah dengan bermacam dedaunan. Tidak berapa lama pula, sayap patah anak siburuk itu pun sembuh. Setelah sembuh, keluarga burung itu pun kembali riang gembira. Karena anaknya sudah dapat terbang, keluarga burung siburuk itu terbang membawa anaknya meninggalkan sarang mereka dan tidak pernah lagi kembali ke tempat itu.

Tidak berapa lama kemudian si penggembala datang hendak memeriksa anak burung siburuk itu. Tetapi, alangkah terkejutnya dia karena anak burung siburuk itu tidak ada lagi di sarangnya. Ia hanya menemukan sarang kosong dengan beberapa macam dedaunan yang masih kehijauan namun mulai kering. Dengan penuh tanda tanya si penggembala mengambil sarang burung siburuk tersebut, lalu diserahkannya kepada seorang dukun pengobatan di kampungnya. Melihat dedaunan dan tetumbuhan itu, sang dukun pun senang hatinya, karena dedaunan seperti itulah yang dicari-carinya untuk digunakan mengobati orang yang patah tulang atau terkilir.

Sementara itu, sebagaimana kebiasaan di perkampungan Batak, pada malam hari di saat bulan terang, para gadis menari atau martumba di tengah halaman perkampungan. Pada saat mereka menari, salah seorang dari penari itu terjatuh hingga kakinya terkilir. Maka dibawalah si gadis itu ke dukun patah. Sang dukun pun mengobatinya dengan menggunakan dampol siburuk. Tidak berapa lama kemudian kaki gadis penari yang terkilir itu pun sembuh seperti sedia kala. Demikianlah cerita Dampol Siburuk.

Berdasarkan cerita Dampol Siburuk, orang Batak menemukan pengobatan patah tulang ala dampol Siburuk. Cerita ini meninggalkan pesan supaya melindungi satwa liar dan lingkungan hidup atau alam semesta. (Jonner Sianipar)

 
PENCARIAN TERKAIT
 
 
 
© 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa