Suku : Batak Toba
Genre : Prosa
Provinsi: Provinsi Sumatera Utara
Kabupaten/Kota: Kabupaten.Samosir
Kecamatan: Pangururan
Desa: Pangururan
Penyebaran: Wilayah tanah Batak
Dampol
Siburuk adalah cerita rakyat masyarakat Batak Toba, Sumatera Utara, yang menginspirasi
penemuan pengobatan patah tulang ala urut burung butbut (dampol siburuk) dengan menggunakan sarang burung butbut sebagai ramuannya.
Pada masa cerita rakyat ini masih hidup dan sering dituturkan, pengobatan patah
tulang ala "dampol siburuk" pun masih dipraktikkan dalam mengobati
patah tulang. Saat ini cerita rakyat tersebut tidak pernah lagi dituturkan, demikian
juga praktik pengobatan “dampol siburuk” sehingga sudah dalam kategori hampir
punah. Para seniman dan budayawan Batak Toba telah mengalihwahanakan cerita rakyat
"Dampol Siburuk" ini menjadi seni pertunjukan. Badan Bahasa melalui
Pusat Pengembangan dan Pelindungan telah merevitalisasi cerita rakyat "Dampol
Siburuk" pada Agustus 2016 di Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatera
Utara.
Sinopsis Dampol Siburuk
Sepasang induk burung butbut (pidong
siburuk) bersama seekor anaknya yang
belum dapat terbang, pada suatu pagi sedang bersuka
ria. Ketika kedua induk burung siburuk
itu pergi mencari makan, tinggallah sendiri anaknya yang masih kecil di sarangnya. Kemudian datang seorang penggembala dan melihat anak burung siburuk tersebut, dan timbullah niatnya untuk memiliki
anak burung siburuk tersebut. Lalu dipatahkannya tulang sayap anak siburuk
itu supaya kelak tidak bisa terbang. Setelah kedua induknya kembali ke
sarangnya, mereka terkejut dan sedih melihat
anaknya yang menderita patah sayap. Tidak lama kemudian, kedua induk burung siburuk itu terbang meninggalkan anaknya. Akan tetapi, tidak lama kemudian,
keduanya
kembali ke sarangnya. Mereka membawa dedaunan
dan tetumbuhan seperti sipijor na
ganggang, amos-amos, sigagaton ni
hirik, dan tetumbuhan lainnya. Tetumbuhan
itulah yang digunakan oleh kedua induk burung tersebut mengobati sayap anaknya
yang patah. Kedua induk siburuk itu
dengan sabar dan tekun membalut
sayap anaknya yang patah dengan bermacam dedaunan. Tidak berapa lama pula, sayap patah anak siburuk itu pun sembuh. Setelah sembuh,
keluarga burung itu pun kembali riang gembira. Karena anaknya sudah dapat
terbang, keluarga burung siburuk itu terbang membawa anaknya meninggalkan sarang mereka dan tidak pernah
lagi kembali ke tempat itu.
Tidak berapa lama kemudian si penggembala datang hendak memeriksa anak
burung siburuk itu. Tetapi, alangkah
terkejutnya dia karena anak burung siburuk itu tidak ada lagi di sarangnya. Ia hanya menemukan sarang kosong dengan beberapa macam
dedaunan yang masih kehijauan namun mulai kering. Dengan penuh tanda tanya si penggembala mengambil sarang burung siburuk
tersebut, lalu diserahkannya kepada seorang dukun pengobatan di
kampungnya. Melihat dedaunan dan tetumbuhan itu, sang dukun pun senang hatinya,
karena dedaunan seperti itulah yang dicari-carinya untuk digunakan mengobati orang
yang patah
tulang atau terkilir.
Sementara itu, sebagaimana kebiasaan di perkampungan Batak, pada malam
hari di saat bulan terang, para gadis menari atau martumba di tengah halaman perkampungan. Pada saat mereka menari,
salah seorang dari penari itu terjatuh hingga kakinya terkilir. Maka dibawalah si
gadis itu ke dukun patah. Sang
dukun pun mengobatinya dengan menggunakan dampol siburuk. Tidak berapa lama
kemudian kaki gadis penari yang terkilir itu pun sembuh seperti sedia kala. Demikianlah
cerita Dampol Siburuk.
Berdasarkan
cerita
Dampol Siburuk, orang Batak menemukan
pengobatan patah tulang ala
dampol Siburuk.
Cerita ini meninggalkan pesan supaya melindungi satwa liar dan lingkungan hidup
atau alam semesta. (Jonner Sianipar)