B. Soelarto, seorang pengarang, lahir di Purworejo 11 September 1936. Ayahnya bernama R. Soekiter dan ibunya R.A. Mariah. Dia menikah dengan Siti Hartati dan memperoleh tiga orang anak, yakni Dyah Sutiarti Soelarto, Muhammad Cahyahadi Soelarto, dan Dyah Lias Nuraini Soelarto. Dia meninggal di Yogyakarta pada tanggal 3 Maret 1992.
Pendidikan yang ditempuhnya adalah SMP tamat tahun 1954, kemudian melanjutkan ke SMA-A (Sastra) dan tamat tahun 1957. Selepas itu, ia mengikuti Kursus B-1 Sejarah Tingkat III, tetapi tidak memperoleh ijazah. Pada tahun 1960 ia mengikuti kursus D2/I dalam bidang yang sama sampai memperoleh ijazah.
Pada tahun 1957 ia menjadi pegawai Inspeksi Daerah Kebudayan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Provinsi Jawa Tengah, di Semarang. Ketika bekerja di Semarang, ia terlibat dalam berbagai kegiatan kesenian, antara lain pentas seni drama dan ikut mendirikan organisasi pencinta seni dan sastra Gaya Dinamika, Semarang. Selanjutnya, ia bekerja di Lembaga Musikologi dan Koreografi (LMK), Yoyakarta sejak tanggal 1 Februari 1960. Ketika LMK lebur, ia pindah ke Balai Penelitian Sejarah dan Budaya tahun 1979. Pada 1981 nama kantor tersebut diganti menjadi Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Yogyakarta. Tanggal 1 Juni 1988 ia memasuki masa pensiun dengan pangkat terakhir III/B.
Kegiatannya dalam sastra diiawalinya dengan menjadi redaktur kebudayaan harian Tanah Air dan Daulat Rakjat yang terbit di Semarang tahun 1955—1956. Sejak tahun itulah ia banyak menulis cerpen, novel, dan drama. Karyanya, terutama cerpen, tersebar dalam Siasat, Mimbar Indonesia, Budaja, Cerita, Sastra, Minggu Pagi, Star Weekly,Sinar Harapan, dan Horison. Cerpen itu dikumpulkan dalam antologi berjudul Catatan Tahun '60. Cerpennya yang berjudul "Rapat Perdamaian" memperoleh hadiah dari Masyarakat Sastra tahun 1961, sedangkan dramanya yang berjudul Domba-Domba Revolusi memperoleh hadiah yang sama untuk tahun 1962. Melalui dramanya ini B. Soelarto lebih terkenal karena pada awal dasawarsa 1960 itu dinilai antirevolusi oleh kelompok Lekra sehingga karya tersebut dikritik habis-habisan. Ketika diterbitkan dalam bentuk buku, drama tersebut direka menjadi novel dengan judul Tanpa Nama (1963). Karya yang lain berupa novel, yaitu Si Nona dan Kasta Baru, sedangkan karya dramanya Orang-Orang Konsekuen dan Tak Terpatahkan (1967), serta kumpulan sastra lakon berjudul Lima Drama (1985). Selain itu, ia juga menulis buku Teknik Menulis Lakon.
B. Soelarto juga telah menerjemahkan beberapa karya asing, seperti Betina dan Komedi Kecil (kumpulan cerpen Guy de Maupassant). Dia juga menerjemahkan novel Emile Zola yang berjudul Tambang Batubara dan dramanya Therese Raquin. Pada tahun 1986 ia menulis buku dengan judul Dari Kongres Pemuda Indonesia Pertama ke Sumpah Pemuda. Atas kecermatan dan kelengkapan dokumen pribadinya terbit Surat-Surat Politik Iwan Simatupang 1964—1966 (1986) yang disunting oleh Frans Parera. Buku tersebut memuat surat-surat Iwan kepada Soelarto. Sayang sekali surat B. Soelarto sendiri tidak dapat diselamatkan seiring dengan meninggalnya Iwan Simatupang.
Secara tidak langsung Surat-Surat Politik Iwan Simatupang 1964—1966 dapat menjadi sumber informasi tentang B. Soelarto, terutama yang berhubungan dengan persoalan politik. Dapat dinyatakan bahwa Soelarto adalah sahabat Iwan Simatupang. Visi dan sikap politik Iwan yang terungkap dalam surat-suratnya itu menyiratkan hal yang sama tentang Soelarto. Iwan mengenal Soelarto sebagai pengarang yang sikap politiknya berseberangan dengan kelompok Lekra. Dia menjadi teman bercurah rasa dan pikiran untuk Iwan Simatupang. Dengan Domba-Domba Revolusi, Soelarto dianggap antirevolusi karena sastra lakon itu menampilkan sinisme terhadap revolusi. Dua cerpen Soelarto yakni "Tanah" dan "Rapat Perdamaian" yang dimuat dalam Sastra edisi September 1961 dan Oktober 1961 menyebabkan majalah tersebut dianggap reaksioner oleh kelompok Lekra.
H.B. Jassin (1985) menegaskan bahwa B. Soelarto dengan drama Domba-Domba Revolusi menggemparkan khalayak sastra Indonesia. Jassin juga menyebut Soelarto tergolong sastrawan yang mengajari kita untuk cinta pada manusia-manusia kecil dengan permasalahan-permasalahannya, manusia-manusia sebangsa kita juga, meskipun cerpennya yang berjudul "Tanah" dan "Rapat Perdamaian" dikatakan oleh kelompok Lekra sebagai karya yang memiliki tendensi untuk memusuhi rakyat dan memusuhi perdamaian, sehingga dianggap sebagai karya sastra yang reaksioner.
A.Teeuw (1989) menilai karya B. Soelarto khususnya Domba-Domba Revolusi sebagai karya yang penting karena menunjukkan usaha Soelarto untuk mengatasi realisme sehari-hari yang dalam kisah-kisah perang lain terlalu biasa. Melalui karya tersebut, terungkap konfrontasi simbolis dari seorang pemimpin politik, seorang usahawan, seorang dosen, seorang penyair, dan seorang gadis yang polos, tetapi berbudi.
Jakob Sumardjo (1992) mengatakan bahwa Soelarto mempersoalkan pengagungan "pahlawan-pahlawan" pada zaman revolusi yang sering dipergunakan oleh kaum petualang demi keuntungan pribadi sendiri. Sikap sinis Soelarto terhadap kaum petualang yang demikian itu rupanya mendatangkan kritik pihak penguasa waktu itu bahwa drama Soelarto ini "antirevolusi" atau melemahkan keagungan makna revolusi yang sedang diagung-agungkan pada masa itu.