Blues Untuk Bonnie merupakan kumpulan sajak karya W.S. Rendra terbitan ketiga. Sajak yang terhimpun dalam kumpulan sajak ini berasal dari sajak-sajak yang pernah dipublikasikan Rendra dalam berbagai majalah, seperti Basis, Horison, dan Budaya Jaya. Tahun 1971 Blues untuk Bonnie pertama-tama diterbitkan di Cirebon. Tahun 1976 dan tahun 1981 kumpulan itu dicetak ulang dan diterbitkan kembali di Jakarta oleh penerbit Pustaka Jaya.
Pada sampul belakang bagian dalam buku kumpulan sajak Blues untuk Bonnie terbitan Pustaka Jaya ini disebutkan bahwa kumpulan sajak itu berisi sajak-sajak yang ditulis oleh penyairnya tatkala bermukim di New York. Kumpulan sajak itu berjumlah tiga belas, yakni (1) "Kupanggil Namamu', (2) " Kepada MG", (3) "Nyanyian Duniawi", (4) "Nyanyian", (5) "Suto untuk Fatima", (6) "Nyanyian Fatima untuk Suto", (7) "Blues untuk Bonnie", (8) "Rick dari Corona", (9) "Kesaksian Tahun 1967", (10) "Pemandangan Senjakala", (11) "Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta", (12) "Pesan Pencopet kepada Pacarnya", (13) "Nyanyian Angsa", dan (14) "Khotbah".
Blues untuk Bonnie merupakan sebuah buku kumpulan sajak yang berisi kritik sosial. Ketiga belas sajak di dalamnya, secara tematik, menggambarkan kepedulian penyair terhadap masalah sosial, masalah orang-orang malang, masalah pelacur, dan masalah gereja. Buku itu menunjukkan terjadinya pergulatan moralitas dalam diri penyair akibat perlawatannya di Amerika selama empat tahun. "Blues untuk Bonnie" adalah salah satu sajak di dalam buku kumpulan sajak ini.
Protes sosial yang dikemukakan buku itu menyangkut masalah agama, ekonomi, moral, kemunafikan, politik, dan ketatanegaraan. Kritik keagamaan terdapat dalam "Nyanyian Angsa" dan "Khotbah" mengungkapkan ketidakpuasan Rendra terhadap para pastor yang dipandangnya bersikap otoriter. Pada sajak "Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta", Rendra mengungkapkan ketidakpuasannya pada hal yang berkenaan dengan ketenagakerjaan, moral, ekonomi, dan politik. Bahkan, Rendra menjadi marah ketika mendengar para pelacur kota Jakarta dikejar-kejar dan ditindas oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab sebagaimana terbaca dalam sajak itu.
Sajak yang berjudul "Pesan Pencopet kepada Pacarnya" menunjukkan bahwa Rendra menaruh perhatian terhadap nasib orang kecil, seorang pencopet yang pacarnya telah menjadi "Selir Kepala Jawatan". Melalui sajak itu, penyair berpesan bahwa rakyat kecil tak bisa mengalah saja.
Hal yang sama juga tergambarkan lewat sajak lainnya yang berjudul "Nyanyian Angsa" yang menggambarkan nasib tragis yang menimpa seorang pelacur bernama Maria Zaitun. Mula-mula Maria Zaitun diusir oleh majikannya dan ia tidak berdaya. Tanpa perlawanan, Maria meninggalkan rumah pelacuran. Ketika sakit, ia pergi ke dokter. Namun, dokter menolak mengobatinya. Ia pun pergi ke gereja ingin bertemu dengan pastor. Pastor pun menolak kehadirannya. Semua manusia yang ditemui Maria Zaitun menolaknya. Akan tetapi, Tuhan selalu membuka pintu untuk semua umatNya. Setelah bertobat dan mengakui dosanya, Maria Zaitun bertemu dengan Kristus.
Sementara itu, sajak-sajak yang berjudul "Blues untuk Bonnie", "Rick dari Corona" dan "Kepada MG" adalah sajak-sajak yang berlatarkan Amerika yang merupakan hasil pengalaman penyair selama bermukim di Amerika. Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam ketiga sajak itu merefleksikan orang-orang yang berasal dari masyarakat kelas bawah. Dalam "Blues untuk Bonnie" tampil seorang negro tua yang miskin dan papa. Sementara pada sajak "Rick dari Corona" muncul seorang tunakarya.
Dalam sebuah artikel yang dimuat di dalam Jurnal Pelita Zaman Volume 8 Nomor 2 Tahun 1993 disebutkan bahwa dalam kumpulan sajaknya Blues untuk Bonnie, penyair menampilkan tiga belas judul puisi yang kesemuanya bergaya ekspresif dan liris. Rendra semakin menampakkan dirinya di jalurnya yang khas, karya-karyanya jelas mengacu dan berangkat dari masalah sosial. Disampaikan juga bahwa lewat salah satu puisinya, yakni "Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta", Rendra menyuarakan kritik sosial, tetapi tanpa alternatif ideologis sedikitpun; suatu kesaksian yang harus diberikan oleh seorang seniman. Disampaikan pula bahwa Rendra menggunakan bahasa yang polos dan karenanya amat mengejutkan untuk norma-norma Indonesia dan bahkan menyinggung perasaan.