| |
Belenggu merupakan novel karya Armijn Pane yang dikenal sebagai karya pembaharu dari kalangan Angkatan Pujangga Baru. Novel ini mula pertama ditawarkan penulisnya kepada Balai Pustaka untuk diterbitkan. Namun, pihak redaktur penerbit tersebut menolak naskah novel itu karena dianggap tidak memenuhi kriteria buku yang "baik" menurut ukuran Balai Pustaka saat itu. Atas usaha Sutan Takdir Alisyahbana, novel itu diterbitkan sebagai cerita bersambung dalam Pudjangga Baroe, Tahun VII, Nomor 10, 11, dan 12 (April, Mei, dan Juni 1940). Pada tahun itu juga novel itu diterbitkan oleh Pustaka Rakyat, Jakarta. Pada tahun 2000 diterbitkan cetakan ke-18 dan cetakan ke-21 terbit tahun 2009 oleh Penerbit Dian Rakyat. Pada bagian pengantar cetakan keempat, tahun 1954, pengarang novel ini menyatakan bahwa ketika dikirim ke Penerbit Pujangga Baru, novel ini diberi judul Pintu Kemana? Akan tetapi, setelah novel itu dicetak, judulnya diubah menjadi Belenggu. Armijn Pane menyatakan bahwa setelah novel ini terbit, ia lebih banyak dicacimaki daripada dipuji, baik secara langsung maupun melalui surat kabar.
Novel ini berkisah tentang kehidupan dan percintaan dokter Sukartono dengan dua orang wanita. Ia memiliki pembawaan yang romantis dan suka kepada seni meskipun ia seorang dokter. Dalam statusnya sebagai dokter yang menjadi idaman setiap wanita pada zamannya, Tono dapat mengawini gadis pesta yang cantik, Tini.
Sebelum bertemu dengan Tini, Tono menjalin kasih dengan Yah. Tini juga memiliki masa silam yang sama dengan Tono, yakni menjalin kasih dengan seorang pemuda yang aktif dalam dunia pergerakan politik. Keduanya memiliki masa silam yang menjadi belenggu untuk masing-masing.
Rumah tangga Tono dan Tini mengalami kemelut setelah Tini merasa disepelekan Tono yang terlalu asyik dengan kewajibannya sebagai dokter. Tono sering pulang larut malam, sementara Tini menunggu tak jemu-jemu. Hubungan perkawinan mereka menjadi makin kisruh tatkala Tono bertemu Yah, kekasih lamanya dalam keadaan sikap Tini yang semakin dingin. Tono menemukan kehangatan cinta Yah. Pada akhir novel dikemukakan bahwa rumah tangga Tono dan Tini berantakan. Tini menyibukkan diri dalam kegiatan sosial dan Tono terus bergiat dalam layanan masyarakat di dunia kedokteran. Yah juga kembali ke dunianya, menjadi wanita penghibur dan kemudian pergi ke New Caledonia untuk "mengembangkan" profesinya. Di ujung novel ditulis pertanyaan besar bagi Tono dan semua tokoh serta pembaca: Pintu ke manakah?
Penerbitan novel ini mendapat sambutan dari berbagai kalangan, seperti H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, Jubaar Ajub, Ida Nasution, S.K. Trimurti, Karim Halim, L.K. Bohang, Slametmuljono, A. Teeuw, dan oleh M.R. Dajoh.
Pada cetakan keempat Armijn Pane akan membuang kata-kata Belanda karena pembaca banyak yang tidak tahu maksudnya, tetapi tidak jadi dilaksanakan karena bahasa Indonesia sudah mulai berkembang. Ia juga menjelaskan bahwa novel itu tidak dapat dilepaskan dari Kisah antara Manusia (kumpulan cerpen) karena cerpen-cerpen yang dimuat dalam buku itu telah mendorong lahirnya Belenggu.
Dalam majalah Indonesia, 24 Desember 1955 (tanpa penulis), dinyatakan bahwa salah satu novel sebelum perang yang menarik adalah novel Belenggu karya Armijn Pane. Novel tersebut banyak memunculkan permasalahan baru, seperti permasalahan marxisme dan pemikiran eksistensialisme. Kedua masalah itu menyebabkan tidak tampaknya suasana Indonesia di dalam novel tersebut. Lukisan alam dan watak seseorang tidak bersangkut-paut dengan dunia Indonesia. Namun, perlu diakui bahwa komposisi novel ini tergolong baru dalam kesusastraan Indonesia, sesuai dengan masyarakat modern yang dinamis, termasuk dalam bahasanya.
A. Teeuw (1967) menyatakan bahwa dengan novelnya itu Armijn Pane dapat dikatakan sebagai penghubung antara periode sebelum dan sesudah Perang Dunia II. Bahasa yang digunakan dan tema yang dipilih menunjukkan adanya perbedaan dengan karya pengarang sezamannya, seperti karya Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan Amir Hamzah.
Umar Junus (1981) menyatakan bahwa novel ini memperlihatkan pandangan yang berbeda dari kebanyakan pengarang sebelum perang. Armijn tidak menerima dan juga tidak menolak kemodernan dengan begitu saja. Ia justru mempersoalkan hakikat modern dan tradisi. Dalam kaitannya dengan pembaruan itu, Armijn Pane menyadari pentingnya teknik penulisan dan kematangan berpikir karena dua elemen itu memungkinkan seorang penulis dapat menyiratkan dan menyuratkan maksudnya. Umar Junus (1974) juga menyatakan bahwa melalui novel Belenggu Armijn Pane berusaha menyajikan suatu renungan baru pada masanya; renungan tentang manusia modern. Hakikat manusia tidak akan terlepas dari belenggu, kungkungan hidup, dan egoisme—baik dalam diri, pemikirannya maupun dalam sikap.
Novel ini menimbulkan pertentangan, khususnya isu sosial di kalangan pembaca karena isinya menceritakan pengalaman perkawinan seorang intelektual, yaitu dokter Sukartono. Gaya penuturannya lebih menyajikan monolog interior atau cakapan dalaman daripada perbuatan-perbuatan konkret para pelakunya. Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1988, dinyatakan bahwa novel ini merupakan karya avant garde, yakni karya bercirikan metode yang menyimpang dari kelaziman pada zamannya dan menggunakan prinsip novel arus kesadaran yang berkembang di Indonesia setelah tahun 1970-an.
Penerbit novel ini mengulas bahwa semula novel ini ditolak oleh Balai Pustaka kemudian dicela dan dipuji. Akhirnya, novel ini dipandang sebagai salah satu karya sastra Indonesia modern yang perlu dibaca karena isinya mengandung impian, perasaan, dan kritik sosial yang tajam tentang situasi manusia Indonesia pada saat zaman pancaroba.
H.B. Jassin (1940) menyatakan bahwa pembaca novel Belenggu dipaksa berpikir sendiri dan mencari jawabannya sendiri atas pertanyaan yang timbul di hatinya. Lukisan tentang pancaroba, misalnya, tepat disajikan, bukan untuk ditiru, melainkan untuk diperlihatkan kepada angkatan yang akan datang, terutama untuk pencapaian kemajuan bangsa Indonesia.
Sutan Takdir Alisjahbana (1940) menyatakan bahwa Armijn Pane adalah seorang romantikus. Ia suka mengembara dalam jiwanya dan alam pikirannya melompat dengan tidak memperdulikan logika sehingga dalam novel itu tampak mengemuka permainan perasaan pengarangnya. Ida Nasution (1947) menyatakan bahwa Belenggu merupakan puncak kehidupan dan kegiatan pengarang Indonesia modern. Bahasa yang dipakai di dalamnya menunjukkan adanya pembaharuan bahasa, yang ditandai oleh adanya peralihan pemakaian bahasa, dari bahasa Melayu ke bahasa Indonesia. Dalam dunia sastra Indonesia, novel ini menampilkan aliran baru, zaman baru, dan gaya bahasa yang baru. Sebelum muncul novel ini, isu yang menarik pengarang hanyalah dunia kawin paksa dan perjuangan kaum muda menghadapi adat. Belenggu berkisah tentang peradaban baru melalui tokoh Tono dan Tini serta Yah.
Sapardi Djoko Damono (1993) menyatakan bahwa novel ini mengisahkan cinta segitiga antara dokter Sukartono (Tono), istrinya (Tini), dan pacar gelapnya (Yah). Ternyata Tono tidak dapat membahagiakan Tini sebab Tono terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Tini pun tidak mau menjadi korban kesibukan suaminya. Oleh karena itu, Tini menyibukkan diri di sebuah organisasi sosial wanita. Ia tidak mau berperan sebagai pelayan setia suami. Sebagai akibatnya, Tono melampiaskan kekecewaannya dengan menjalin cinta dengan Yah. Hal itu diketahui Tini sehingga ia menyerahkan Tono kepada Yah. Namun, Yah merasa tidak pantas untuk mendampingi Tono. Menurut, Sapardi Djoko Damono, dengan cerit seperti itu, novel ini menggambarkan terjadinya perubahan, dari masyarakat pramodern ke masyarakat modern. Para tokohnya telah menghayati perubahan dan menjadi korban perubahan. Tokoh dalam novel ini berbeda dengan tokoh dalam novel sebelumnya, seperti dalam Siti Nurbaya dan Layar Terkembang. Tokoh dalam kedua novel yang disebutkan terakhir itu hanya berbicara tentang perubahan, mengharapkan perubahan, dan memilih perubahan.
Tokoh-tokoh yang dilukiskan dalam novel ini hampir menyerupai karikatur karena terlalu dilebih-lebihkan (H.B. Jassin, 1940). Tokoh utama, dokter Sukartono, berpendidikan Barat, tetapi meragukan pengetahuan Baratnya. Ia bercita-cita modern, tetapi batinnya tidak bertenaga untuk melaksanakan cita-citanya itu sehingga hidupnya di antara dua dunia, yaitu dunia Barat dan dunia Timur. Lebih lanjut Jassin menegaskan bahwa Tini menghendaki adanya persamaan hak antara pria dan wanita, tetapi hal itu disajikan terlalu berlebihan. Ia tidak hanya menghendaki persamaan hak, tetapi juga ingin mengatasi pria. Sebagai akibatnya, kaum pria dijadikan pesaing, bahkan dikategorikan sebagai musuh. Rasa bermusuhan itu tidak hanya tertuju kepada suaminya, tetapi juga kepada kaum pria pada umumnya.