Bako merupakan novel karya Darman Moenir, diterbitkan Balai Pustaka tahun 1983 dengan tebal 102 halaman. Cetakan ke-2 diterbitkan tahun 1984 dan cetakan ke-3 tahun 1988. Novel ini berhasil menjadi pemenang pertama Sayembara Penulisan Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1980.
Novel tersebut mengungkapkan pemberontakan terhadap adat-istiadat di daerah Minangkabau. Pemberontakan yang dimaksudkan adalah perkawinan yang dilakukan oleh tokoh Ayah yang menikah dengan perempuan pantai yang sudah menjanda dan berasal dari kampung lain. Perbuatan seperti itu tentunya merupakan aib bagi seorang pemuda bujangan yang berasal dari Minangkabau, dalam lingkungan keluarga Bako (saudara atau sanak famili dari keluarga ayahnya). Ditambah lagi si tokoh Ayah membawa pulang istrinya (Ibu) itu ke kampung halamannya sehingga masyarakat sekitarnya menjadi heboh. Perbuatan itu mencerminkan sebuah pemberontakan terhadap adat istiadat yang mengharuskan perkawinan dilakukan dengan orang sekampungnya, bukan dengan orang di luar kampungnya. Adat istiadat sudah menetapkan bahwa perkawinan yang berlaku adalah perjodohan yang memungkinkan terjadinya kawin paksa, apabila si pemuda dan pemudinya menolak untuk dijodohkan.
Novel ini mengemukakan ihwal perkawinan antara Ayah dan Ibu yang melahirkan si Aku, yang menjadi tokoh utama dalam novel itu. Si Akulah yang kemudian berperan aktif dalam keseluruhan peristiwa dalam novel itu. Dialah yang berhadapan dengan segala permasalahan yang dihadapi keluarganya. Ia yang bercerita, berdialog, dan merenungkan permasalahan yang timbul. Si Aku selalu hadir dalam lima bagian yang terkandung dalam novel itu, baik dalam bagian "Ayah", "Ibu", "Umi", "Bak Tuo", maupun "Gaek".
Syarifudin Arifin (1984) menyatakan Bako sebagai novel kedua yang membicarakan masalah Minangkabau pada dasawarsa delapan puluh setelah novel Warisan karya Chairul Harun. Kedua novel tersebut sama-sama pernah menjadi pemenang dalam sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta.
Menurut Mursal Esten (1982), isi novel Bako menimbulkan rasa haru bagi pembacanya. Bahasanya termasuk lancar walaupun dihiasi dengan bahasa yang sifatnya hiperbola. Temanya menarik meskipun tidak didukung oleh unsur-unsur penokohan, plot, dan latar. Apabila novel ini berhasil meraih hadiah utama dalam sayembara Penulisan Roman Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1980, hal itu dianggap wajar karena jarang sekali diikutsertakan roman-roman yang mengisahkan adat istiadat kedaerahan (khususnya Minangkabau) pada tahun 1980-an dalam setiap sayembara.
Iswanto (1984) menyatakan bahwa kita telah diajak untuk merasakan bagaimana budaya Minangkabau, khususnya sistem matrilinealnya, yang diberontak oleh tokoh-tokoh dalam novel itu. Sebagai contoh, tokoh Ayah, Bak Tuo, Umi, Gaek, Ibu, dan Aku telah memberontak sehingga diibaratkan adat Minangkabau saat ini telah berada di atas lemari dan berdebu. Sayangnya, pemberontakan itu arahnya tidak tegas dan hanya ditujukan kepada mamak-mamaknya yang tidak menyediakan tempat untuk orang sumando. Pemberontakan itu hanya ditujukan pada pemangku adat, bukan pada adat istiadat yang masih berlaku di tanah Minangkabau sehingga belum ada perubahan adat sebagai revisi adat pada zaman sekarang ini. Edwar Djamaris (1990) merumuskan ada lima nilai yang ditemukan dalam novel itu, yaitu penyantun, mengutamakan pendidikan, kebijaksanaan, tahu diri, dan larangan berjudi.
Maman S. Mahayana (1992) menyatakan bahwa kandungan isi novel ini adalah peristiwa fragmentaris yang mengungkap tradisi dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat matrilineal, baik yang positif maupn yang negatif. Dalam hal bentuk, novel ini menampilkan pembaharuan sehingga patut dinyatakan sebagai pemenang hadiah utama Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1980.