Badai Laut Selatan merupakan cerita silat karya Kho Ping Hoo yang diterbitkan di Solo oleh penerbit Gema, tahun 1969. Format buku dibuat dalam ukuran mini-saku, sebanyak 39 jilid, jenis kertas stensil/koran, ukuran 10 x 13 cm, tiap volume/jilid berjumlah 64 halaman. Oplah buku itu sekitar 12.500 eksemplar. Dalam cerita tersebut tidak ada pembagian bab sebagaimana dikenal pada cerita-cerita panjang lainnya. Perpindahan peristiwa dapt diketahui lewat kalimat-kalimat pengantar, seperti Sementara itu, Kita tinggalkan dulu ..., Sang Waktu melesat cepat sehingga tanpa disadari ..., langsung pelukisan peristiwa, atau lewat hadirnya tiga tanda baca asteris (***).
Kho Ping Hoo menghasilkan dua jenis cerita silat, yaitu cerita silat Indonesia/Jawa dan cerita silat Cina. Badai Laut Selatan termasuk dalam kategori cerita silat (sejarah) Indonesia/Jawa. Cerita itu bertemakan hancurnya kejahatan oleh kebajikan yang dijabarkan ke dalam berhasilnya balas dendam terhadap pemerkosa serta gagalnya usaha para pemberontak merebut kekuasaan di Kerajaan Kahuripan.
Dalam cerita silat itu diungkapkan ihwal cita-cita Prabu Airlangga untuk menyatukan kerajaan-kerajaan kecil ke dalam satu kerajaan Nusantara, yaitu Kahuripan. Cita-cita seperti itu mendapat banyak tantangan. Beberapa wilayah taklukannya diam-diam menyusun kekuatan untuk melakukan pemberontakan dan merebut kekuasaan. Salah satu wilayah yang hendak memberontak ialah Kadipaten Selopenangkep di bawah pimpinan Adipati Joyowiseso.
Dalam pengembaraannya Roro Luhito berguru kepada seorang pertapa bernama Bhagawan Rukmoseto. Sementara itu, Kartikosari yang mengasingkan diri di Pantai Karang Racuk melahirkan seorang bayi perempuan yang diberi nama Endang Patibroto.
Dalam suatu kesempatan Pujo dan Kartikosari masing-masing kehilangan anak didiknya. Rupanya Joko Wandiro dan Endang Patibroto yang sudah menjadi anak-anak tanggung berada dalam asuhan Resi Bhargowo di Pulau Sempu. Kepada kedua anak itulah Resi Bhargowo menitipkan pusaka Mataram yang sudah dipecah menjadi dua: Joko Wandiro mendapat sarungnya (Patung Kancana) dan Endang Patibroto mendapat mata kerisnya (Pusaka Brojol Luwuk). Sejak mendapatkan pusaka, kedua anak itu tidak kembali lagi kepada Resi Bhargowo. Endang Patibroto dijadikan murid oleh seorang sakti Dibyo Mamangkoro, bekas patih Kerajaan Wengker, dan Joko Wandiro dijadikan murid oleh Narotama Patih Kahuripan. Dulu, pada saat Kerajaan Wengker memberontak kepada Kahuripan, hanya Narotama yang mampu mengalahkan Dibyo Mamangkoro sebagai Patih Wengker.
Jokowanengpati yang jatuh ke laut ternyata tidak mati. Namun, ia menjadi seorang tunadaksa karena kedua kakinya dimakan ikan hiu. Ia berganti nama menjadi Ki Jatoko dan jatuh cinta kepada Ayu Chandra yang ditemuinya ketika sedang mencari kayu bakar di hutan. Ayu Chandra adalah anak Listyokumolo dari Ki Adibroto yang mengalahkan kepala perampok yang menculiknya.
Leo Suryadinata pada saat membicarakan pengarang Kho Ping Hoo menyinggung cerita ini dengan menyebutnya sebagai novel sejarah yang mendapat sambutan, di samping karya Kho Ping Hoo yang lain, yaitu Darah Mengalir di Borobudur (1961). Pada tahun 2001 cerita tersebut menjadi bahan penelitan pascasarjana di Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, yang dilakukan oleh Zaenal Hakim.
Kedudukan cerita silat Badai Laut Selatan di antara jenis cerita yang sama adalah cerita silat ini termasuk salah satu yang paling dikenal oleh para pecandu cerita silat di Indonesia. Buktinya, di samping mengalami beberapa kali cetak ulang, pada tahun 1991 Badai Laut Selatan diangkat menjadi sebuah cerita film layar lebar oleh PT Kanta Indah Film bekerja sama dengan PT Camila Internusa Film dengan sutradara Nurhadie Irawan. Pada tahun 2000 cerita ini diangkat pula menjadi cerita sinetron dan ditayangkan oleh Televisi Pendidikan Indonesia.