Ayat-Ayat Cinta merupakan karya novel Habiburrahman El Shirazy. Novel ini pertama kali terbit sebagai cerita bersambung dalam harian Republika.
Setelah diterbitkan secara bersama oleh dua penerbit, yaitu Penerbit Republika dan Pesantren Basmala Indonesia, sebagai satu novel utuh pada Desember 2004, karya ini menjadi salah satu novel laris (best seller) pada tahun 2000-an di Indonesia.
Cetakan pertama novel ini terbit bulan Desember 2004. Pada bulan Desember 2007 novel karya Habiburrahman ini sudah mencapai cetakan yang ke-30. Sejak penerbitan pertamanya, novel ini terjual rata-rata sebanyak 7.142 eksemplar per bulan. Ukuran fisik buku:13,5 x 20,5 cm; ketebalan: 419 halaman, dikurangi 14 lembar "pendahuluan" dan 16 lembar "penutup".
Pada tahun 2005 karya ini meraih dua penghargaan sekaligus, yaitu peraih Pena Award dan Penghargaan The Moost Favorite Book 2005. Karya ini juga diubah menjadi sebuah film dengan judul yang sama pada tahun 2008 dan disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Karya ini juga menjadi inspirasi salah satu lagu yang diciptakan oleh Rosa. Lagu ini yang kemudian menjadi sound track film "Ayat-Ayat Cinta".
Selain menjadi kajian akademis di perguruan tinggi, beberapa pembicaraan mengenai novel ini didapati dalam blog. Misalnya, makalah dengan judul "Analisis Unsur Intrinsik dan Nilai Agama dalam Novel 'Ayat-Ayat Cinta' karya Habiburrahman El-Shirazy" yang ditulis oleh Prilian Argita Salamah. Makalah ini merupakan tugas dalam mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa karya novel ini diminati oleh remaja dan menjadi bahan untuk pembelajaran di sekolah.
Nuansa keislaman sepanjang novel ini membuat pengarangnya, Habiburrahman El Shirazy, disebut-sebut sebagai "Hamka Kecil" karena novelnya mengingatkan kita pada Di Bawah Lindungan Kabah karya Hamka yang sama-sama bermain di Tanah Arab.
Ayat-Ayat Cinta adalah karya sastra yang berhasil memadukan dakwah, tema cinta, dan latar belakang budaya Islam, dituturkan dengan memakai penceritaan orang pertama 'aku'. Label novel pembangun jiwa pada jilidnya dan predikat sastra islami yang diberikan oleh para pembacanya, tidak membuat novel ini menjadi sebuah pemaksaan dogmatis yang kering. Amanat atau pesan yang disampaikan tidak terasa menggurui.
Suasana yang dibangun diperkuat dengan penggunaan bahasa Arab formal (fusha) dan informal ('amiyah') hampir dalam setiap paragrafnya. Catatan-catatan kaki yang sudah disediakan menjadi sangat berguna. Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Arab pasaran yang digunakan di sana-sini berhasil membawa pembaca ke dalam latar novel yang bernuansa sosial-budaya Timur Tengah.
Gaya bahasa yang halus ketika melukiskan suasana alam Mesir di musim panas, sudah terasa sejak baris-baris pertama novel. Kota Mesir yang menjadi latar belakang cerita ini dibangun dengan begitu mengesankan karena pengarang mengalami sendiri hari-hari di kota Mesir. Gambaran kehidupan tokoh utama Fahri yang demikian mengesankan membuat kita berkesimpulan bahwa Fahri tidak lain adalah pengarang sendiri.
Novel ini mengisahkan kehidupan Fahri, tokoh utama, yang diwarnai dengan kisah hubungan lelaki dengan perempuan. Fahri adalah seorang mahasiswa Indonesia yang kuliah di Universitas Al Azhar, Mesir. Ia selalu berusaha meneladani Rasulullah Saw. Dalam segala tindak tanduknya. Hal itu tercermin dari perilakunya sehari-hari, baik di dalam bertetangga, berinteraksi dengan lawan jenis, maupun dengan sesame muslim dan nonmuslim.
Dakwah adalah aktivitas kesehariannya. Bagi Fahri, dakwah bisa dilakukan di manapun dan kapanpun. Diceritakan bagaimana ia menjelaskan hukum interaksi laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram kepada tetangganya, Maria, yang merupakan pemeluk Kristen Koptik yang taat.
Perasaan Fahri diceritakan dengan baik ketika ia harus menjadi rebutan tiga orang perempuan. Pada bagian cerita bulan madu Fahri dan Aisha digambarkan terjadinya adegan percintaan yang selalu merupakan bagian penting dari satu novel asmara. Di sinilah terlihat kelebihan lain novel ini yang menceritakan hubungan suami-istri, tetapi tidak terjatuh ke dalam kevulgaran. Inti plot adalah kisah cinta segi empat antara Fahri ("aku") dengan Aisha, Maria, dan Noura. Dalam hubungan persahabatan yang diwarnai getar-getar isyarat cinta antara Fahri dengan ketiga gadis itulah plot novel ini berkembang. Pada akhir cerita Fahri menikahi Aisha—sebagai akhir kendali alur cerita dan sumber-sumber ide pencerahan.
Kehidupan Fahri berubah 180 derajat ketika ia menikah dengan seorang muslimah Turki. Dari seorang mahasiswa miskin yang berangkat ke Mesir dengan menjual sawah warisan keluarga satu-satunya, ia menjadi suami pemilik perusahaan besar yang laba bulanannya berkisar milyaran rupiah. Hidupnya pun menjadi seperti mimpi: tinggal di apartemen yang berada di kawasan elit Kairo, yang juga merupakan tempat tinggal para selebriti kota Mesir, memiliki istri yang salehah, cantik, dan kaya-raya.
Keimanan dan keikhlasan Fahri diuji ketika ia harus masuk penjara karena difitnah sebagi pemerkosa. Di dalam penjarapun Fahri tetap menjalankan ibadah sunah, seperti salat tahajud. Tak hanya itu, sekalipun di penjara ia tetap menimba ilmu dari seorang Guru Besar Ekonomi yang dipenjara karena kritik-kritik pedasnya. Dari sini Fahri sudah bertindak sebagai santri salaf yang haus ilmu.
Selain cobaan di dalam penjara, Fahri juga menghadapi godaan berupa tawaran untuk menyuap agar ia bisa dibebaskan. Terbersit juga ide untuk memberikan kesaksian palsu untuk memberi kesan bahwa orang yang dipenjara tidak bersalah. Namun, ia tetap memegang teguh prinsip untuk tetap berjalan berdasarkan tuntunan Alquran. Dalam kasus Fahri, kebenaran tetap tak dapat disembunyikan. Akhirnya ia dapat bebas dari penjara sebelum masa hukuman berakhir, berkat kesaksian yang dibeberkan oleh orang-orang yang tadinya memberikan kesaksian palsu.