Awal dan Mira merupakan drama karya Utuy Tatang Sontani. Naskah drama ini pertama kali dimuat dalam majalah Indonesia, Nomor 8, Tahun II, Agustus 1951, dan Nomor 9, Tahun II, September 1951. Ketika dimuat dalam majalah tersebut, naskah drama ini mendapat hadiah dari BMKN sebagai drama terbaik tahun 1952. Naskah drama itu kemudian diterbitkan dalam bentuk buku oleh Balai Pustaka tahun 1957. Pada dasawarsa 1950-an, naskah drama itu sering dipentaskan.
Drama Awal dan Mira berkisah tentang cinta Awal, pemuda bangsawan, terhadap Mira, gadis cantik penunggu kedai dari kalangan rakyat jelata yang menjadi korban perang kemerdekaan. Cinta Awal begitu besar terhadap Mira karena dalam pandangannya, Mira adalah satu-satunya orang yang sempurna, tidak seperti orang-orang sekitarnya yang dianggapnya semata-mata badut. Awal yang romantik berkali-kali meminta kepada Mira untuk bertemu di luar kedai. Mira selalu menolak ajakan itu dengan berbagai alasan. Hal itu terjadi terus-menerus hingga Awal merasa dipermainkan Mira. Kedatangan dua pemuda, si Baju Putih dan si Baju Biru, membuat Awal cemburu sehingga timbullah perkelahian. Per-kelahian itu mengakibatkan Awal terjatuh. Walaupun Awal terjerambab begitu keras, Mira tetap duduk dalam kedai kopinya.
Awal merasa kecewa pada sikap Mira yang acuh tak acuh itu. Awal mengajak Mira pulang bersama-sama. Hal itu pun tidak ditolak oleh Mira sehingga Awal menganggap bahwa kedai kopi itulah yang menjadi penyebab mengapa Mira selalu menolak tidak memenuhi ajakan Awal. Oleh sebab itu, Awal akhirnya merobohkan kedai itu sehingga habislah kekuatan Mira. Di akhir cerita diketahui bahwa Mira adalah gadis cantik, tetapi kakinya buntung akibat kekejaman perang. Barulah Awal menyadari mengapa Mira selalu menolak diajak berjalan-jalan atau berbincang-bincang di luar kedai. Mira senantiasa bepergian dengan bertongkat kayu. Buyarlah harapan dan impian Awal akan kesempurnaan Mira.
Boen S. Oemarjati (1971) menyatakan bahwa tema Awal dan Mira ialah cinta seorang pemuda menak kepada gadis rakyat jelata pada zaman sesudah perang, yang mengalami rintangan bukan hanya karena perbedaan derajat, melainkan juga karena si gadis cacat. Kakinya yang buntung tak pernah diketahui siapa pun, termasuk si pemuda yang mencintainya. Pada akhir lakon terbukalah rahasia yang selama ini tersembunyi itu. Boen S. Oemarjati juga menyatakan bahwa drama ini memperlihatkan suatu usaha untuk menyatukan kaum bangsawan dengan rakyat biasa walaupun usaha penyatuan itu belum memberikan hasil yang memuaskan. Watak tokohnya berada dalam suatu simbol yang diwujudkan dengan runtuhnya kedai kopi. Simbol itu tidak hanya mengenai keraguan dan pengingkaran watak masing-masing, tetapi juga melambangkan gugurnya penghalang yang memisahkan lingkungan menak dengan lingkungan rakyat jelata. Walaupun jalinan alur mengesankan dramatik, kenyataan yang diungkapkan lakon ini cukup lancar dengan mengetengahkan momen-momen penanjakan ketegangan dan puncak krisis yang agak tidak logis.
Umar Junus (1986) mengelompokkan drama Awal dan Mira sebagai drama era 1950-an dalam kedudukan tersendiri yang tidak sama dengan drama sebelumnya. Drama satu babak ini berisi kritik terhadap keadaan waktu itu, tanpa ada hubungan langsung dengan suasana yang dialami sebelumnya. Suasana revolusi hanya dijadikan sebagai latar belakang dan keadaan sekarang dilihat sebagai epilognya. Persoalan yang diangkat ialah persoalan yang diakibatkan oleh revolusi dan tidak ada penyelesaian. Persoalannya masih luas terbuka.
Jakob Sumardjo (1992) menyatakan bahwa drama ini memiliki struktur yang sangat baik, pelukisan wataknya jelas, serta mempunyai masalah aktual dan mengandung simbolisme. Kisahnya masih menyangkut situasi aktual masa revolusi, yakni runtuhnya feodalisme dan kebanggaannya dari zaman kolonial. Hanya saja, unsur kejutan di akhir kisah agak kurang logis dan merupakan kelemahan kecil drama yang banyak dipuji kaum kritisi ini.
Drama Awal dan Mira berdasarkan Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 1381/1965, tanggal 30 November 1965, yang ditandatangani oleh Pembantu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Bidang Teknis Pendidikan, Kolonel Dr. M. Setiadi Kartodikusumo, dinyatakan sebagai salah satu buku terlarang dengan alasan untuk mengadakan tindak lanjut di dalam usaha menumpas pengaruh dari 'Gerakan 30 September', khususnya di bidang mental ideologi.