Atheis merupakan novel karya Achdiat Karta Mihardja yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1949 oleh Balai Pustaka. Cetakan ke-2 novel ini diterbitkan pada tahun 1957, cetakan ke-3 pada tahun 1960, cetakan ke-4 pada tahun 1960, cetakan ke-5 pada tahun 1969, cetakan ke-6 pada tahun 1976, cetakan ke-10 tahun 1989, cetakan ke-18 pada tahun 2000, dan cetakan ke-32 tahun 2009. Novel Atheis juga diterbitkan di Malaysia oleh Penerbit Abbas Bandong. Cetakan pertama diterbitkan tahun 1966, cetakan ke-2 tahun 1969, dan cetakan ke-3 tahun 1970.
Atheis diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh R.J. Maguire dan diterjemahkan oleh Achdiat Karta Mihardja tahun 1972. Selain itu, novel ini juga diterbitkan oleh Universitas of Queensland Press, Australia. Novel ini diterbitkan pula dalam seri Asian and Pasific Writing dan diterima dalam Indonesia Series of Translation Collection of the UNESCO. Di samping itu, tahun 1974 Sjuman Djaya mengangkat novel Atheis ini ke dalam film layar lebar dengan pemeran utama Deddy Sutomo.
Novel Atheis terdiri atas 15 bagian. Setiap bagian ditandai dengan huruf Romawi. Novel ini menceritakan kisah hidup Hasan, anak Raden Wiradikarta, pensiunan mantri guru, yang tinggal di kampung Panyeredan, Garut. Keluarga Raden Wiradikarta adalah keluarga yang saleh dan taat menjalankan ajaran agama Islam penganut tarikat. Sejak kecil Hasan sudah mendapat didikan agama secara mendalam. Ia tumbuh menjadi anak yang patuh kepada orang tua dan taat menjalankan ajaran agama. Cerita tentang surga dan neraka sering didengarnya selagi ia kecil, baik dari ibu maupun dari pembantunya.
Setelah dewasa, Hasan mengikuti jejak orang tuanya berguru ke Banten untuk memperdalam ajaran mistik. Hasan melakukan beberapa syarat dalam ajaran itu, misalnya mandi 40 kali dalam satu malam. Akhirnya, Hasan terkena penyakit TBC. Karena taatnya dalam menjalankan ajaran agama, di kalangan teman-temannya sekantor (di Kotapraja Bandung), ia dijuluki sebagai kiyai.
Tanpa diduga, Rusli (teman Hasan waktu kecil) dan Kartini datang ke kantor Hasan . Pertemuan itu sangat penting bagi Hasan. Dalam pandangannya, Kartini mirip sekali dengan Rukmini, pacarnya dulu. Di samping itu, Hasan memandang Rusli dan Kartini terlalu bebas dan modern. Hasan bertekad mengislamkan kedua orang itu yang dipandangnya telah murtad. Namun, Hasan tidak mampu berbuat apa-apa, malah sebaliknya terjerat oleh pokok-pokok pikiran Rusli yang selalu memberikan sanggahan terhadap keyakinan agamanya dengan retorika marxisme. Ia mulai aktif membaca literatur marxisme. Di samping itu, Hasan mulai ikut dalam berbagai kegiatan partai yang diadakan oleh Rusli dan kawan-kawannya.
Hubungan Hasan dengan Kartini dan Rusli makin akrab. Keimanan Hasan yang semula kuat mulai rapuh. Di sisi lain, muncul pula Anwar yang menganggap Tuhan itu madat. Anwar juga menaruh hati kepada Kartini. Kartini pun sering bersikap membuat Hasan cemburu. Untuk itu, Hasan lebih aktif lagi untuk menarik perhatian Kartini.
Hasan pulang ke kampung halamannya dan Anwar ikut serta. Saat itu terjadilah pertentangan paham antara Hasan dan orang tuanya tentang masalah agama dan ihwal memilih pasangan hidup. Ia kembali ke Bandung. Sesampainya di sana, Hasan tetap nekat menikah dengan Kartini.
Waktu terus berlalu, kehidupan rumah tangga Hasan dan Kartini mulai berubah. Hasan mulai tidak percaya terhadap cinta Kartini. Di sisi lain, Hasan selalu teringat akan pertengkaran dengan ayahnya, apalagi setelah ayahnya itu meninggal tanpa memaafkannya. Pertengkaran demi pertengkaran antara Hasan dan Kartini pun terus berlangsung hingga rumah tangga itu menjadi retak. Karena bertengkar, Kartini meninggalkan rumah, ia pergi tanpa tujuan. Akhirnya, ia bertemu dengan Anwar. Berkat rayuan Anwar, mereka tidur di penginapan. Anwar ingin melampiaskan nafsunya. Kartini lari meninggalkan penginapan tersebut.
Hasan kembali teringat kepada Tuhan dan ia menyesali kekeliruannya selama ini. Ia telah kehilangan orang-orang yang dicintainya. Hasan baru pulang dari kampung. Saat itu Bandung dikuasai oleh Jepang dan Jepang sedang mengadakan patroli. Banyak orang berlindung di lubang perlindungan begitu pula Hasan. Sesudah merasa keadaan aman, Hasan keluar dari lubang perlindungan. Sementara itu, penyakit TBC Hasan bertambah parah. Hasan tidak mungkin lagi melanjutkan perjalanan ke tempat tinggalnya sehingga memutuskan untuk mencari penginapan yang terdekat.
Di penginapan itu Hasan menemukan daftar nama Anwar dan Kartini. Hal itu menunjukkan bahwa mereka pernah tidur di situ. Setelah Hasan mendapat penjelasan dari pelayan penginapan itu, dengan emosional ia ingin membalas kelakuan Anwar dan Kartini. Oleh karena itu, Hasan nekad mencari Anwar tanpa memperhatikan keadaan sekitarnya. Karena disangka mata-mata musuh, Hasan ditembak oleh Jepang dan akhirnya meninggal dunia. Dengan meninggalnya Hasan, Kartini pun putus asa. Kartini merasa berdosa kepada Hasan dan ia tidak tahu bagaimana cara menebus dosanya itu.
Kedudukan Atheis dalam sastra Indonesia sangat penting. Tahun 1969 dengan novel itu, Achdiat memperoleh Hadiah Tahunan Pemerintah Republik Indonesia. Di samping itu, banyak sekali studi, ulasan, atau tanggapan, baik sebagai karya kesarjanaan, makalah, maupun artikel. Pada tahun 1992, Mahayana dkk. mencatat bahwa skripsi untuk sarjana muda tercatat 10 buah yang membahas novel ini (8 buah dari Fakultas Sastra Universitas Nasional, 1 buah dari Universitas Gadjah Mada, dan 1 buah dari Fakultas Sastra, Universitas Indonesia) dan skripsi sarjana tercatat ada 6 buah (1 dari Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, 2 dari Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1 dari Universitas Jember, dan 2 dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia), dan tesis S-2 tercatat 1 buah dari Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada.
Penelitian terhadap Atheis yang telah dipublikasikan, antara lain, Roman Atheis Achdiat Karta Mihardja (1962) oleh Boen S. Oemarjati, "Pendekatan kepada Roman Atheis" dalam Sastra Hinia Belanda dan Kita (1983) oleh Subagio Sastrowardoyo, dan Memahami Novel Atheis oleh Kusdiratin, dkk. (1985).
Boen S. Oemarjati dalam Roman Atheis Achdiat Karta Mihardja (1963) berpendapat bahwa betapa istimewanya novel Atheis ini. Sebagai karya sastra, novel ini telah mengangkat pokok persoalannya dengan berani dan jujur dan sudah menjadi sebuah unikum apabila ditilik dari sudut pengarangnya.
Ajip Rosidi dalam Ichtisar Sedjarah Sastra Indonesia (1969) berpendapat bahwa Atheis adalah sebuah roman yang melukiskan kehidupan dan kemelut manusia Indonesia dalam menghadapi berbagai pengaruh dan tantangan zaman. Bentuk roman itu sangat istimewa dan orisinal. Sebelumnya, tak pernah ada karya seperti itu di Indonesia, baik struktur maupun persoalannya.
Kusdiratin et al. dalam Memahami Novel Atheis (1985) antara lain, berpendapat bahwa tema novel Atheis adalah kegoncangan kepercayaan yang disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan antara hubungan vertikal dan hubungan horizontal dalam kehidupan manusia. Kegoncangan itu dialami oleh Hasan, seorang pemuda yang isi hatinya mendesak-desak dan terpecah-pecah dalam kegugupan karena tidak bisa memiliki pendirian yang benar.
S. Amran Tasai, dkk. (1997), antara lain, berpendapat bahwa ada beberapa novel yang bertokohkan manusia-manusia penggelisah. Novel itu, antara lain, Atheis. Terungkap berbagai wujud pernyataan kegelisahan seseorang terhadap sesuatu. Kekecewaan Hasan dalam novel itu merupakan kegelisahan orang yang tidak mau mengakui adanya Tuhan.