Anak Semua Bangsa merupakan novel kedua dari rangkaian empat buah novel (tetralogi) karya Pulau Buru yang dihasilkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Novel ini diterbitkan oleh Hasta Mitra, Jakarta, tahun 1980 dengan tebal 353 halaman dan terbagi dalam 18 bagian. Pada akhir tulisan dicantumkan "Buru, lisan 1973, tulisan 1975". Pada sampul depan, selain judul dicantumkan juga label "Roman Karya Pulau Buru". Pada tahun 2006 novel ini diterbitkan ulang oleh Lentera Dipantara.
Tiga novel yang lainnya yang termasuk dalam tetralogi ini ialah Bumi Manusia, Rumah Kaca, dan Jejak Langkah. Peristiwa-peristiwa yang ada di dalam novel ini terjadi pada permulaan abad ke-20. Oleh sebab itu, ada beberapa istilah asing (Belanda) yang digunakan, seperti sekaut (Belanda: schout); zuivel; transvaal; dan Oranje Vrijstaat. Untuk menjelaskan istilah-istilah tersebut, Pramoedya menggunakan catatan kaki.
Jika Bumi Manusia diakhiri dengan tidak berdayanya Minke dan Nyai Ontosoroh untuk melindungi dan mempertahankan Annelies dari renggutan Maurits Melema, Anak Semua Bangsa dimulai dengan suasana duka karena datangnya telegram dari Belanda yang mengabarkan kematian Annelies. Kematian Annelies ini merupakan tonggak baru bagi Minke dan Nyai Ontosoroh. Minke mulai tumbuh menjadi pemuda terpelajar Belanda, yang sebelumnya berorientasi pada pola pikir kaum terdidik Belanda, berubah menjadi Minke yang sadar akan lingkungannya sendiri.
Apa yang dipuji-puji oleh kaum terpelajar Belanda ternyata diremehkan oleh kawan-kawan dekat Minke yang mempunyai orientasi kepada kaum pribumi, seperti Jean Marais dan Kommers. Pada awalnya Minke tersinggung. Ia oleh kawan-kawannya dinyatakan sebagai penulis salon. Kritikan dari kawan-kawan dekatnya ini menyebabkan Minke harus berlibur ke desa. Di desa inilah Minke bertemu dengan petani yang bernama Kromodongso.
Kromodongso sosok seorang petani yang tidak dapat mempertahankan tanahnya dari jangkauan tangan rakus para pemilik perkebunan gula. Tidak hanya tuan-tuan Belanda bermodal yang menjadi musuh Kromodongso, tetapi juga pamong desa yang menginginkan kedudukan lumayan dengan adanya pabrik-pabrik gula tersebut. Minke menyadari petani-petani itu tidak memiliki pembela. Ia kemudian memutuskan untuk membela petani-petani itu. Minke mulai menulis di surat kabar. Namun, sudah dapat dipastikan, koran-koran milik Belanda yang dibiayai oleh para pemilik modal gula tidak mau menerbitkan tulisan-tulisan tersebut. Saat itulah Minke sadar sepenuhnya bahwa ia harus menulis dengan bahasanya sendiri tentang rakyatnya sendiri dan dibaca oleh bangsanya sendiri. Novel ini berakhir sampai di sini. Kelanjutan kisahnya akan dijumpai pada jilid selanjutnya, yaitu saat Minke memiliki surat kabar sendiri.
Jakob Sumardjo (1979) berpendapat bahwa Anak Semua Bangsa ini seolah-olah menghentikan gerak kejadian yang melibatkan begitu banyak watak beragam yang ada dalam Bumi Manusia dengan penjelasan rasional atas sifat dan watak penjajahan Belanda di Indonesia. Novel kedua ini pada hakikatnya merupakan suatu analisis kritis terhadap apa yang menyengsarakan kehidupan begitu banyak orang.
Korrie Layun Rampan (Mutiara, Rabu 21 Januari 1981) memberi ulasan mengenai Anak Semua Bangsa dengan judul "Kemenangan di dalam Kekalahan". Dalam tulisannya ini Korrie menyatakan bahwa Anak Semua Bangsa memaparkan secara luas dan mendasar benih-benih dan pokok soal dari kebangkitan bangsa-bangsa terjajah di awal abad ke-20. Lahirnya pikiran-pikiran baru dalam gelombang perubahan itu memberikan daya saran yang kuat pada gerak pikir Minke. Tokoh ini mulai memahami dunia sekelilingnya dan memahami berbagai persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Selain itu, Korrie juga memuji bab terakhir novel ini yang dinyatakannya sebagai sebuah drama yang mengagumkan, sangat menyentuh dan humanis, mirip apa yang dilakukan oleh Multatuli dalam Saijah dan Adinda. Dalam tulisan ini juga dinyatakan bahwa apabila dalam Bumi Manusia perkenalan pikiran baru terbatas pada individu, sehingga penderitaan yang dialami dan dijalani berhenti sebagai penderitaan perorangan, dalam Anak Semua Bangsa hal itu dipahami sebagai sebuah sistem kemasyarakatan tertentu yang melahirkan kekejaman dan penghisapan atas rakyat.
Tulisan lain mengenai Anak Semua Bangsa ditulis oleh Gomar Yhames Gultom dan dimuat dalam Sinar Harapan, Kamis, 12 Desember 1981. Gultom dalam tulisannya ini menyatakan bahwa Anak Semua Bangsa mengungkapkan tragedi dan nasib manusia terjajah, bukan lagi hanya secara pribadi, melainkan secara kelompok. Hal itu terungkap lewat pemahaman dari dalam diri Minke, tokoh utamanya, yang tidak lagi melihat lingkungannya hanya dalam ruang lingkup yang terbatas yang hanya dibatasi oleh kelemahan pribadi. Minke pun menjadi peka terhadap penderitaan pribumi sebagai sebuah masyarakat bahwa penderitaan yang ia alami secara pribadi dengan kehilangan Annelies hanyalah segelintir saja dari penderitaan yang dialami banyak orang dalam lingkungan terjajah.
Anak Semua Bangsa juga dirensensi oleh Pts dalam harian Kompas (Minggu, 28 Desember 1980) dengan tulisannya yang berjudul "Setelah Annelies: Bunga Penutup Abad". Dalam resensinya ini Pts banyak menyoroti peran tokoh Annelies. Menurut Pts, keistimewaan novel ini ialah kematian Annelies tidak mengakhiri kisah. Kematian tokoh pujaan dalam novel yang lain akan menyebabkan kebosanan pada pembaca. Namun, dalam novel karya Pramoedya ini kematian tokoh pujaan justru merupakan sebuah daya tarik tersendiri dan secara simbolik mengisyaratkan sebuah zaman kebangkitan.
Keith Foulcher (1980) juga membuat analisis menarik tentang novel Anak Semua Bangsa dan Bumi Manusia. Keith menengungkapkan kepiawaian Pramoedya dalam menggabungkan gaya penulisan populer dengan bahasan yang serius dalam kedua novel itu.
Dalam tulisan Wina Armada S.A. yang dimuat Pelita (Selasa, 20 Januari 1981) dinyatakan bahwa Anak Semua Bangsa lebih tebal, menarik, seru, dan lugas. Hanya saja, novel ini tidak dapat berdiri sendiri sebab Pramoedya tidak lagi memperkenalkan watak para pelakunya. Seperti halnya tulisan-tulisan yang lain, tulisan ini juga menyatakan bahwa dalam Anak Semua Bangsa, tokoh Minke berupaya mengenal bangsanya sendiri. Minke dan tokoh-tokoh lainnya melihat kemunafikan Eropa yang sebelumnya diagungkan oleh Minke sebagai seorang yang terdidik secara Eropa. Selain itu, Wina juga memuji bahasa yang dipakai oleh Pramoedya. Wina menyatakan bahasa yang dipakai Pramoedya lancar, manis, dan sistematis.
I Gusti Agung Ayu Ratih (1995) membandingkan karya Rushdie dengan Pramoedya dengan memilih Anak Semua Bangsa. Dalam tulisan ini Ratih menyatakan bahwa Minke adalah tokoh yang menjelajahi subjek kolonial antara kebudayaan Eropa dan kebudayaan pribumi, sementara karya Rusdhie tidak mempermasalahkan hal tersebut.