Asmara Hadi merupakan penyair tahun 1930-an yang sangat gigih semangat kebangsaannya. Dia lahir di Talo, Bengkulu, tanggal 8 September 1915. Asmara Hadi berasal dari keluarga yang terpelajar. Ibunya bernama Khamaria dan ayahnya Khobri bin Merah Hosen gelar "Raja Api" yang berasal dari Bengkulu.
Asmara Hadi mempunyai tiga orang saudara, yaitu Hanafi, Arifin, dan Maimunah Khamaria. Tahun 1935 ia menikah dengan seorang gadis bernama Ratna Juami Ningsih, anak angkat Ibu Inggit Ganarsih dan Bung Karno. Dari perkawinannya itu mereka dikaruniai delapan anak, lima orang laki-laki dan tiga orang perempuan.
Pendidikan yang diperoleh Asmara Hadi adalah HIS Bengkulu kemudian MULO di Jakarta, dan terakhir Sekolah Menengah Taman Siswa di Bandung. Latar belakang pekerjaan Asmara Hadi cukup beragam. Di bidang politik ia aktif di Partindo dan terakhir sebagai anggota MPRS sampai tahun 1966. Ketika konstituante pertama dibentuk, ia menjabat menteri negara dan Wakil Ketua DPRGR. Pada masa penjajahan, ia sering dihukum buang. Tahun 1934—1935 ia dibuang ke Ende, Flores bersama Bung Karno. Dia juga beberapa kali dipenjara oleh Pemerintah Belanda. Selepas dari Ende, Asmara Hadi masih tetap berjuang bersama-sama Amir Syariffudin. Dia harus meringkuk lagi dalam penjara tahun 1937. Dalam berjuang, Asmara Hadi mempunyai kekuatan dan semangat yang diteladaninya dari Rosa Luxemburg, pejuang revolusioner wanita berkebangsaan Jerman yang gigih, yang sebagian besar hidupnya untuk perjuangan. Semangat itulah yang ikut memberi dorongan serta keteguhan Asmara Hadi dalam berjuang.
Sebagaimana penyair Pujangga Baru pada umumnya, Asmara Hadi banyak menggunakan nama samaran, antara lain Ipih A. Nama samaran yang dipilihnya mempunyai makna baginya. Nama Hadi adalah bahagian dari namanya, yaitu Abdul Hadi Ketika ia jatuh cinta kepada gadis yang bernama Ratna Juami Ningsih, nama samarannya diganti lagi menjadi Hadi-Ratna sebagai lambang persatuan antara Asmara Hadi dan Ratna Juami. Nama Hadi-Ratna menjadi populer dan dipendekkan menjadi HR. Ketika menulis di majalah Mandala, Asmara Hadi memakai nama samaran lain, yaitu Ibnu Fatah.
Pengalamannya di bidang jurnalistik cukup banyak. Dia bekerja sebagai pemimpin redaksi Pikiran Rakjat tahun 1938—1940 dan sebagai pemimpin majalah Toejoean Rakjat. Tahun 1935 Asmara Hadi bekerja sebagai redaktur harian Bintang Timoer pimpinan Parada Harahap, dan tahun 1939 sebagai redaktur majalah Efficiency yang terbit di Jakarta. Dia juga pernah bekerja di Penerbit Pemandangan yang tidak lama kemudian berganti nama menjadi Penerbit Pembangunan. Karena pergantian nama itu, tahun 1943 sejumlah karyawannya disalurkan ke Asia Raja sebagai penulis khusus mengenai kebudayaan dan filsafat.
Bagi Asmara Hadi buku merupakan barang berharga. Sewaktu tinggal di Yogyakarta, tahun 1943, Asmara Hadi bekerja di Kantor Kementerian Pemuda. Ketika meninggalkan Yogyakarta, ia mengutamakan membawa buku, sementara pakaian hanya secukupnya.
Selain menulis puisi, ia juga menulis cerita pendek. Cerita pendek yang ditulisnya, antara lain, adalah "Yang Tidak Dapat Dihilangkan" yang ditulisnya ketika ia pindah dari Yogyakarta ke Bandung. Cerpen ini berisi riwayat seorang temannya selama perjuangan yang telah kehilangan semua harta bendanya. Cerpen yang kedua adalah "Di Belakang Kawat Berduri" berisi kisah pengalamannya selama ditawan Belanda. Cerpen tersebut kemudian diterbitkan oleh Penerbit Pemandangan tahun 1942.
Sebagian besar puisi Asmara Hadi penuh dengan warna kesedihan karena kekasihnya yang pertama meninggal. Perasaan sedih karena kematian kekasihnya dijadikannya sebagai cambuk dalam berjuang. Kegagalan cinta baginya menimbulkan semangat perjuangan yang tak kunjung padam. Semangat perjuangan yang tak kunjung padam itulah yang, antara lain, melahirkan sajak "Kepada Diponegoro". Asmara Hadi merasa terhina oleh ejekan orang Belanda, Vermijs, yang mengatakan bahwa Indonesia tidak akan merdeka. Hatinya terasa mendidih sehingga lahirlah sajak tersebut.
Semangat kebangsaan dalam puisinya terlihat melalui unsur-unsur romantik yang berpadu dengan patriotisme. Hal itu memberikan isi pada puisi-puisinya yang penuh harapan untuk masa depan bangsa Indonesia. Kejayaan tanah air selalu membayang di pelupuk matanya, kejayaan yang baru akan tercapai dalam alam kemerdekaan. Dia sadar bahwa kemerdekaan memerlukan perjuangan.
Puisi-puisinya yang menggambarkan semangat kebangsaan, antara lain adalah (1) "Bangsaku Bersatulah", (2) "Chandra Bhirawa", dimuat dalam Pikiran Rakyat, No. 31, Januari 1938, (3) "Sengsara Doenia", dimuat dalam Tudjuan Rakjat, Th. I, No. 1, Oktober 1938, dan (4) "Kemenangan Pasti" dimuat dalam Poedjangga Baroe, No. 1, Juli 1938.
Para kritikus yang berbicara tentang Asmara Hadi, antara lain Teeuw dan J.U. Nasution. Teeuw (1970) menilai Asmara Hadi sebagai pembaharu dalam pemodernan bentuk dan isi sajak, termasuk penganjur realisme masyarakat (sosialis).
Sementara itu, J.U. Nasution menyatakan bahwa Asmara Hadi banyak menyuarakan semangat kebangsaan melalui puisi-puisinya sehingga puisi-puisinya itu disebut api nasionalisme. Selain itu, dalam puisi-puisinya juga tergambar cita-cita yang penuh harapan untuk masa depan bangsa. Bahasa puisi puisi Asmara Hadi tergolong lugas dan sederhana.
Puisi-puisi Asmara Hadi yang pernah dimuat dalam Pikiran Rakjat, Poedjangga Baroe, Tudjuan Rakjat, dan Pandji Poestaka oleh J.U. Nasution dikumpulkan dan diterbitkan pada tahun 1965 dengan judul Asmara Hadi Penjair Api Nasionalisme. Buku ini melukiskan cahaya kemenangan yang terpancar dalam suramnya perjuangan.
Asmara Hadi meninggal dunia di rumahnya, Jalan Cilantah No. 24 Bandung, hari Jumat, 3 September 1976 dalam usia 62 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Muslimin Sirnaraga, Jawa Barat.