Anjar Asmara adalah sastrawan serba bisa yang lahir tanggal 26 Februari 1902 di Alahan Panjang, Sawah Lunto, Sumatra Barat, dan meninggal di Bandung tanggal 20 Oktober 1961. Keserbabisaan sastrawan ini diawali dari dunia kewartawanan. Pada masa mudanya, tahun 1930-an ia lebih dikenal sebagai seniman panggung. Ia juga pernah memakai nama Abisin Abbas. Satu novelnya Noesa Penida, diterbitkan Balai Pustaka tahun 1952. Pendidikan formalnya sampai MULO.
Sejak sekolah Andjar Asmara memang mengidamkan pekerjaan sebagai wartawan. Tatkala duduk di Mulo kelas akhir, ia sudah merebut hadiah pertama sayembara mengarang dalam bahasa Belanda yang sudah dikuasainya selain bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Tahun 1922 Andjar Asmara berada di Jakarta untuk melamar menjadi wartawan pada Kantor Berita Antara yang juga menjadi kantor redaksi majalah mingguan bergambar De Zweep. Tetapi karena situasi krisis ekonomi masa itu—untuk sementara—kantor berita tersebut belum mengizinkan Andjar Asmara untuk mengembangkan bakatnya. Saat itu Andjar Asmara baru saja meninggalkan pekerjaan pertamanya yang tidak sesuai dengan bakatnya di perkebunan karet Cipetir, Sukabumi. Meskipun demikian, ia menjalaninya selama dua tahun karena ajakan kawannya saat menjalani liburan ke Sukabumi setelah tamat MULO.
Dunia tulis-menulis mulai dirintisnya dengan menulis cerita pendek yang dikarang berdasarkan kenyataan, seperti kasus perampokan yang didengarnya dalam proses pengadilan di Gedung Pengadilan Negeri (Landraad), yang dimuat dalam harian Oetoesan Melajoe Padang. Di sana ia bersama-sama masyarakat mengikuti proses pengadilan seorang perampok. Kejadian itu ditulisnya kembali sebagai bahan sebuah cerita pendek. Karya keduanya berupa terjemahan dari La Laipatrai, sebuah kisah yang melukiskan perjuangan bangsa India merebut kemerdekaan. Karya sastranya yang lain adalah sebuah cerita bersambung (feulleton) berjudul "Setinggi-Tinggi Terbang Bangau" dimuat dalam Djawa Baroe No. 1—4 dan 6—7 (1943) dan sebuah karya esai berjudul "Suka Duka di Belakang Layar Sandiwara" dimuat dalam majalah Varia No. 20—28 tahun 1958.
Sejak 1923 aktif dalam rombongan sandiwara Dardanella yang cukup terkenal sebagai penulis naskah sandiwara. Grup sandiwara itu tampil di beberapa kota. Tahun 1924 Andjar Asmara membuat sebuah tulisan yang sekarang termasuk reportase, hanya berdasarkan hasil mendengar cerita dan pengalaman para haji yang baru pulang menunaikan ibadah haji dari Mekah. Dalam masa yang pendek itu Andjar sudah mendapatkan nama dan dikenal sebagai seorang penulis bergaya bahasa menawan dan enak dibaca.
Salah satu surat kabar terbesar di kota Padang saat itu adalah Sinar Sumatra. Di tempat itulah kemudian menjadi tempat bekerja Andjar Asmara. Dengan semangat yang menggebu-gebu ia kerjakan berbagai jenis tulisan, misalnya reportase sepakbola, resensi film, resensi sandiwara, reportase pengadilan, penerjemahan, rapat-rapat umum, dan cerita bersambung. Sebuah karya terjemahan berjudul "Kota yang Kekal" (Hall Caine) dimuat sebagai cerita bersambung dalam surat kabar Sinar Sumatra. Perkenalannya dengan Amir, pimpinan Padang's Opera, memberinya jalan untuk terjun ke dalam lapangan sandiwara. Dalam lapangan ini Andjar ternyata menyimpan obsesi. Menurut gagasannya, sebuah karya sandiwara harus realistis. Sejak itu Padang's Opera merintis sebuah revolusi perubahan dalam Komedi Stambul, yang harus keluar dari khayalan muluk-muluk, masuk kepada dunia nyata, seperti persoalan-persoalan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil reportase lengkap tentang gempa bumi yang melanda kota Padang Panjang membuat namanya dilirik oleh surat kabar Sumatra Bode milik orang Belanda di Padang yang kemudian mengajak Andjar Asmara bekerja pada surat kabar Belanda itu sampai tahun 1928.
Pada tahun 1929 Andjar Asmara kembali menginjakkan kakinya di Jakarta dengan tujuan untuk menambah pengalaman. Di kota besar ini ia diterima kembali oleh Parada Harahap untuk bekerja di mingguan bergambar Bintang Hindia. Pengetahuannya yang luas mengenai dunia perfilman menyebabkan penerbit Film Wereld tertarik padanya dan memberinya tawaran untuk mendirikan sebuah majalah film pertama dalam bahasa Indonesia yang bernama Dunia Film.
Kiprahnya di dunia sandiwara bersama kelompoknya, Dardanela, menghasilkan satu permulaan yang baik. Dengan bermodalkan beberapa cerita hasil gubahannya, bersama Dardanella Andjar mengelilingi Indonesia. "Dr. Samsi", salah satu lakon yang paling digemari di Medan pada tahun 1930 itu mendapatkan penghargaan Lencana Emas dari Persatuan Wartawan Sumatra. Beberapa karyanya yang lain tergolong sebagai karya yang mengagumkan pada masa itu. Misalnya, "Dr. Samsi" sebagai satu kisah dramatik, "Gadis Desa" sebuah cerita komedi, "Aida" sebuah kisah cinta, dan "Si Bongkok" satu kisah tragedi.
Pada tahun 1933 ia membeli sebuah percetakan yang dapat dibawa ke mana-mana untuk kepentingan grup sandiwaranya. Dengan percetakan kecil ini diterbitkan sebuah majalah berkala yang diberi nama Dardanella Review. Grup sandiwara ini kemudian melahirkan bintang-bintang sandiwara yang dikagumi pada zamannya, antara lain Astaman, Dewi Dja, Ferry Kock, Bachtiar Effendi, Sucarno, Momo, dan R. Ismail.
Tahun 1934 mulailah rombongan Dardanella itu melanglang ke negera-negara Asia, seperti Malaya, Tiongkok, Birma, dan India. Selama di India, Andjar Asmara mendapat kesempatan membuat film Dokter Samsi. Perjalanan itu tidak membawa Andjar terus ke Eropa dan Amerika karena setelah beberapa bulan di India terjadi perpecahan di antara para awak sandiwara. Pemain-pemain utama menghendaki supaya pulang ke Indonesia, sebagian lagi meneruskan perlawatannya ke Amerika. Ia termasuk yang pulang ke tanah air, sedangkan yang termasuk ke Amerika adalah Dewi Dja.
Setelah berakhirnya masa kontrak dengan Dardanella, Andjar Asmara lalu membentuk rombongan sandiwara baru di Jakarta, yang diberi nama Bolero. Sejalan dengan derap revolusi kemerdekaan Indonesia, Andjar mendirikan terbitan berkala Perdjoangan sambil merangkap sebagai Ketua Panitia Penghibur Prajurit yang dijalaninya selama setahun kemudian ia menjabat sebagai Ketua Persatuan Sandiwara Usaha Yogyakarta.
Tahun 1947 ia bergabung dengan kaum Republiken yang berjuang di Jakarta. Di sini Andjar Asamara menjadi redaktur untuk mingguan Mimbar Indonesia yang misinya menghendaki kemerdekaan. Tak lama bergabung di Mimbar Indonesia, Andjar menjadi sutradara pada South Pacific Film Corporation. Menjelang penyerahan kedaulatan RI, ia mendirikan penerbitan NV Gapura sebagai satu usaha yang dianggap akan mengembangkan cita-citanya di bidang kesusastraan lalu diterbitkannya Almanak Nasional, Roman Layar Putih, buku-buku cerita, dan majalah mingguan Dewan Rakyat.
Pada tahun 1948 ia tinggal di Jogjakarta dan menjadi pemimpin redaksi majalah bergambar Ratu Timur yang lalu berganti menjadi Pustaka Timur. Bersama dengan Roman Layar Putih yang sangat digemari oleh para pemuda, Pustaka Timur tersebar ke seluruh Indonesia. Setelah tiga setengah tahun memimpin majalah itu, ia kembali ke dunia film. Ia menjadi sutradara di Java Industrial Film di Jakarta dan menyutradarai film Kartina yang melukiskan pertahanan udara nasional dari serangan tentara Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang, ia bekerja rangkap. Pekerjaan pertamanya, menjadi pembantu tetap majalah Asia Raya. Di tempat ini ia menulis masalah kesenian, resensi, dan cerita bersambung "Nusa Penida", yang kemudian menjadi cerita sandiwara. Tahun 1951 cerita itu diterbitkan sebagai novel oleh Balai Pustaka. Pekerjaan keduanya mendirikan sandiwara Tjahaja Timur dengan para pemain terdiri dari para pelajar yang terhitung pemain pemula. Terakhir, sebelum memimpin majalah Varia, Andjar Asmara menjadi pemimpin produksi NV Galuh Film Corporation. Sejak tahun 1958 ia mengasuh majalah Varia hingga majalah itu menjadi besar dan digemari tua dan muda.