Ali Hasjmy adalah penyair yang lahir di Lampaseh, Aceh Besar dengan nama lengkap Moehammad Ali Hasjim pada 28 Maret 1914. Dia dikenal dalam dunia sastra pertama kali sebagai penyair Pujangga Baru dengan sajaknya berjudul "Menyesal" yang banyak dikenang. Dia dikenal juga sebagai pujangga yang bergelar profesor, ahli agama, tokoh politik, pejuang kemerdekaan, sampai menjadi Gubernur Provinsi Aceh (1957—1964), provinsi paling barat di Indonesia untuk dua kali masa jabatan. Ali Hasjmy merupakan anak kedua dari delapan bersaudara. Ayahnya, Tengku Hasjim, adalah anak panglima perang, Pang Abas, yang turut berperang melawan tentara kolonial Belanda dalam perang Aceh. Ali Hasjmy meninggal di Banda Aceh, 18 Januari 1998 . Ali Hasjmy menikah dengan Zuriah Aziz tanggal 14 Agustus 1941. Saat itu ia berusia 27 tahun, sedangkan istrinya berusia 15 tahun. Mereka dikaruniai tujuh orang anak.
Pada masa mudanya, Ali Hasjmy dikenal sangat aktif di organisasi kepemudaan. Tahun 1932—1935, ia aktif di Himpunan Pemuda Islam Indonesia (HPII). Tahun 1935 ia mendirikan Sepia (Serikat Pemuda Islam) yang kemudian berubah menjadi Pemuda Islam Indonesia. Pada awal tahun 1945 bersama sejumlah pemuda, ia mendirikan Ikatan Pemuda Indonesia (IPI), suatu organisasi yang tujuan utamanya untuk melawan kekuasaan penjajah. Selain aktif di berbagai organisasi kepemudaan, A. Hasjmy juga aktif sebagai pegawai negeri. Dia pernah menjadi Kepala Jawatan Sosial Daerah Aceh, Kutaraja (1946—1947) dan Inspektur Kepala Jawatan Sosial Sumatra Utara (1949). Tahun 1966, ia pensiun dini dari pegawai negeri.
Setelah tidak lagi memegang jabatan di pemerintahan, A. Hasjmy diangkat sebagai Dekan Fakultas Dakwah (Publistik), IAIN tahun 1968 dan tahun 1976 ia menjadi guru besar ilmu dakwah di IAIN Jami'ah Ar-Raniry Darussalam. Tahun 1982, tepatnya bulan November, ia menjabat Rektor IAIN Jami'ah Ar-Raniry Darussalam, Banda Aceh. Selain itu, ia juga pernah menjadi Ketua Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), Ketua Majelis Ulama di Aceh, guru Perguruan Islam di Seulimeum, pemimpin umum Aceh Shimbun, dan pemimpin umum Semangat Merdeka. Tahun 1969 menjadi Ketua Lembaga Sejarah Aceh.
Di bawah asuhan neneknya ia bersekolah di Montasik pada sekolah Belanda Government Inlandsche School, sekolah dasar lima tahun. Sore hari ia belajar di sekolah agama semacam pesantren yang disebut dayah, dan malam hari meneruskan belajar agama di meunasah. Pada tahun 1930 mengikuti ayahnya di Seulimeun yang sepeninggal ibunya menikah lagi. Di sana ia melanjutkan sekolah di Tsanawiyah yang ditamatkannya dalam tiga tahun. Kemudian, ia berangkat ke Padangpanjang untuk melanjutkan sekolahnya di Tawalib School tingkat menengah selama tiga tahun. Di sekolah ini ia mulai berkenalan dengan dunia jurnalistik dengan menjadi sekretaris redaksi majalah pelajar Kewajiban. Setamat sekolah itu, ia kembali ke Seulimeun untuk mengajar selama tiga tahun di Tsanawiyah. Semangatnya untuk belajar membawa ia ke Padang untuk meneruskan pendidikan di perguruan tinggi, yakni Al-Jamiah al-Islamiyah Quism Adabul Lughah wa Tarikh al-Islamiyah (Perguruan Kebudayaan Islam). Ketika umurnya menginjak usia 50 tahun, Ali Hasjmy kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Islam Sumatra Utara, Medan tahun 1952—1953. Kebangkrutan usaha ayahnya menghentikan belajar di perguruan tinggi itu. Namun, sejak itu kariernya sebagai pengarang dimulai dengan menulis untuk beberapa majalah di Jakarta dan Medan seangkatan dengan Hamka, OR Mandank, dan A. Damhuri. Namanya semakin dikenal sebagai penyair dan penulis cerpen melalui majalah Panji Islam, Pedoman Masyarakat dan Angkatan Baru.
Beberapa nama pena dipilihnya, seperti Al Hariri, Asmara Hakiki, dan Aria Hadiningsun. Pemakaian nama pena pada saat itu amat biasa dan merupakan kelaziman. Sebagaimana berlaku pula untuk Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Hamka. Tahun 1936 terbitlah kumpulan sajaknya Kisah Seorang Pengembara dan pada tahun 1938 kumpulan sajak Dewan Sajak. Kedua kumpulan sajak itu terbit di Medan tanpa menghasilkan imbalan yang berarti. Baru pada tahun 1939 ia memperoleh imbalan yang layak dari dua novelnya, yakni Bermandi Cahaya Bulan (1938) dan Melalui Jalan Raya Dunia (1939) yang juga diupayakan oleh penerbit Medan. Karya-karya Ali Hasjmy antara lain, (1) Sayap Terkulai (novel, 1936), (2) Suara Azan dan Lonceng Gereja (novel, 1948).
H.B. Jassin menyebut Ali Hasjmy sebagai penyair Islam dan penyair kebangsaan. Semangat kebangsaannya itu, antara lain terungkap dalam sajak yang berjudul "Sawah" yang dengan halus menyindir nasib Indonesia di bawah penjajahan orang Belanda yang mengangkut kekayaan Indonesia ke negerinya.