Agam Wispi atau Adam Willy (nama samaran) adalah seorang penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang lahir di Pangkalan Susu, Medan, Sumatra Utara pada tanggal 31 Desember 1930. Sebagai seorang penyair Lekra, ia paling berpengaruh pada tahun 1950-an sampai tahun 1960-an. Sajaknya mengandung pembaruan dari bentuk-bentuk yang pernah ada sebelumnya, seperti bahasa, ungkapannya khas, dan sarat emosi. Mungkin ialah penyair Indonesia yang sajaknya "Jakarta oi Jakarta" pernah memenuhi satu halaman surat kabar.
Agam dibesarkan di Medan sampai SMA. Ketika di SMA Pembaruan kelas tiga, tahun 1950, ia mulai menulis. Perjalanan hidupnya dimulai dengan bekerja di sebuah kantor serikat buruh perkebunan di Pematang Siantar, Sumatra Utara pada tahun 1952. Di tempat ini ia hanya bertahan selama setengah tahun. Dia pindah bekerja di harian Pendorong, media pertama yang memuat sajaknya. Dari sini Agam mulai mengasah "watak" dasarnya (sinis dan marah) menjadi sesuatu yang produktif dan kreatif. Ia juga menjadi wartawan dan redaktur kebudayaan dari tahun 1952—1957.
Sebagai seorang penyair, Agam Wispi banyak membaca buku dan mengikuti pertemuan dengan para pengarang, seperti Sitor Situmorang, Bakri Siregar, dan Hr. Bandaharo. Ternyata, Bakri Siregar dan Hr. Bandaharo adalah orang yang mengajak Agam Wispi ke Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Sumatra Utara.
Sejak kumpulan sajaknya yang berjudul Matinya Seorang Petani (1955), kota Medan bagi Agam Wispi belum cukup memberikan dorongan dan inspirasi untuk menulis. Sajak itu ditulis sebagai reportase ketika mengikuti sidang "Peristiwa Tanjung Morawa". Untuk itu, pada tahun 1957 ia pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai redaktur budaya di surat kabar Harian Rakyat (Organisasi PKI) sampai tahun 1962. Akan tetapi, antara 1958-1959 ia belajar jurnalistik di Jerman. Sepulang dari Berlin, Jerman Timur Agam Wispi menulis puisi berjudul "Sahabat". Di bawah bimbingan Nyoto (pemikir PKI terbaik), Agam melibatkan diri dalam sejarah sastra Indonesia. Akan tetapi, pengaruh Aidit dan Sudisman (keduanya anggota central comite) di tahun 1960-an Agam menjauh dari lingkar (Lekra) lalu masuk Angkatan Laut Republik Indonesia sebagai perwira ALRI tahun 1962—1965. Walaupun sudah menjadi perwira ALRI, ia berusaha tetap menekuni dunia tulis-menulis dan menjadi koresponden Harian Rakyat.
Pada bulan Mei 1965 Agam Wispi dikirim ke Vietnam untuk meliput situasi perang di sana. Akan tetapi Sebelum melanjutkan liputannya ke Vietnam Selatan, Agam pergi dulu ke Peking. Di sinilah ia bertemu dan bergabung dengan kawan-kawannya dari delegasi Indonesia yang sedang menghadiri hari Nasional Tiongkok pada 1 Oktober 1965. Saat itu tersiar berita simpang siur tentang peristiwa G 30 S/PKI di Indonesia sehingga tuan rumah Partai Komunis Tiongkok menahan mereka. Bahkan, Agam mendengar berita penangkapan dan pembantaian sehingga ia memutuskan tidak pulang ke Indonesia. Rombongan peserta Indonesia kebingungan lalu di karantina di Nanchang, Tiongkok Selatan. Pada masa inilah kekecewan Agam muncul baik pada kawan maupun pada keyakinannya. Lima tahun kemudian, Agam bersama kedua temannya memutuskan untuk keluar dari Tiongkok. Ia sempat beberapa lama tinggal di Moskwa kemudian ke Jerman Timur dan sejak tahun 1988 menetap di Amsterdam.
Sebagai wartawan, ia mendapat kesempatan mewawancarai Ho Chi Minh. Hal ini sangat membanggakan dirinya. Selain itu, sebagai penyair, ia juga berpengalaman membaca puisi bersama Paman Ho yang selalu menjadi hiburan yang tidak pernah hilang dalam ingatan Agam. Karena terjadi tragedi nasional, September 1965, sejak itu sampai akhir perjalanan hidupnya, Agam tidak dapat kembali ke Indonesia. Dari tahun 1965 sampai Desember 1970, Agam bermukim di Republik Rakyat Tiongkok. Pada tahun 1973 melalui Uni Soviet, sampai tahun 1978 ia bermukim di Leipzig, Jerman Timur. Di kota yang tidak asing bagi Agam inilah Agam menggunakan kesempatan untuk belajar sastra di Institut Fur Literature sambil bekerja di perpustakaan hingga menjadi pustakawan di Deutsche Bucheret.
Pada tahun 1988 atas undangan Goenawan Muhammad, Agam Wispi berkesempatan pulang sebentar ke Indonesia dan dari perjalanannya ini ia menulis puisi berjudul "Pulang". Tahun 1999 Agam berkunjung ke tanah air untuk melihat perubahan di Indonesia. Tahun 2000 ia bercerai dengan istrinya karena ternyata mereka sudah tidak lagi saling mengenal setelah berpisah selama 35 tahun. Ia lalu kembali ke Amsterdam dan tinggal di sebuah rumah susun. Di sinilah Agam bertahan hidup dari jaminan sosial dan berusaha menyusun jejak langkahnya sendiri. Muncullah puisinya Kronologi in Memordiam (1953—1994). Setelah resmi berpisah dengan istrinya, Agam hidup menduda. Seorang putrinya mengikuti suaminya, seorang warga negara Perancis yang mengajar di PT Laos sempat menengoknya.
Selain menulis puisi, Agam juga menulis cerpen dan drama. Dramanya "Gerbong" pernah dipentaskan oleh Dinamo (Lekra Medan), tetapi gagal karena terlalu panjang, Oleh karena dramanya gagal, Agam memutuskan untuk memusatkan perhatiannya pada puisi. Puisi-puisinya terkumpul baik dalam bentuk antologi maupun dalam kumpulan sajak. Sajaknya yang termuat dalam antologi, antara lain, adalah (1) Matinya Seorang Petani (Bagian Penerbitan Lembaga Kebudayaan Rakyat, Jakarta 1961), (2) Kepada Partai (Yayasan Pembaruan, Jakarta 1965), (3) Viva Cuba! (Yayasan Pembaruan, Jakarta 1963), (4) "Nasi dan Melati", Di Negeri Orang, Puisi Penyair Indonesia Eksil (Amanah Lontar, Jakarta dan Yayasan Budaya Indonesia, Amsterdam, April 2002), dan (5) "Berdua Sejalan" ditulis bersama Asahan Aidit.
Antologi perseorangan, antara lain (1) Sahabat, yang Tak Terbungkamkan (Bagian Penerbitan Lembaga Kebudayaan Rakyat, Jakarta 1965) dan (2) Kronologi in Memordiam 1953—1994, sedangkan "Eksil" belum terbit. Masih banyak karya Agam yang terpencar di berbagai majalah dan surat kabar baik di tanah air maupun di luar negeri. Sejak bermukim di Belanda, Agam turut serta menangani dan menyumbang tulisan di majalah kebudayaan Arah dan Kreasi.
Pengembaraannnya yang panjang bagi Agam ada tempat menetap tetapi tidak ada tempat untuk pulang. Dari kerinduannya akan tanah airnya, Indonesia lahirlah puisi-puisinya tentang Kedungombo dan Timur Lorosae. Akhirnya, Agam Wispi tidak pernah pulang kembali ke Indonesia. Ia meninggal dunia pada tanggal 1 Januari tahun 2003, pukul 1.00 waktu setempat di Verpleeghuis (rumah jompo), tempat tinggalnya di kota Wittenberg/Amsterdam dan dikremasi pada hari Selasa, 7 Januari 2003 di Westgaarde, Amsterdam.