Adinegoro adalah nama samaran pengarang Djamaluddin yang lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatra Barat pada tanggal 14 Agustus 1904 dan meninggal di Jakarta, 7 Januari 1967. Landjumin Tumenggung, pengasuh majalah Tjahaja Hinia, adalah orang yang menyarankan kepada Djamaluddin memakai nama samaran Adinegoro tersebut. Maksudnya adalah agar karangannya dapat menarik pembaca dari Jawa. Ternyata kemudian nama samaran ini jauh lebih populer daripada nama sebenarnya. Oleh karena itulah, ia kemudian dikenal dengan nama Djamaluddin Adinegoro.
Ayahnya yang bernama Usman Bagindo Chatib menjabat sebagai kepala laras atau demang. Sebagai anak seorang demang, ia dapat diterima di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah rendah yang sebenarnya hanya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda. Selanjutnya, ia meneruskan pendidikan ke HIS, mengikuti kakak sebapaknya yang kebetulan menjadi kepala HIS itu. Atas persetujuan ayahnya, ia meneruskan pendidikan ke School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) sekolah kedokteran di Betawi. Kesenangannya menulis membawanya terjun ke dunia jurnalistik sehingga studinya di sekolah kedokteran dihentikan. Rupanya pilihan hidupnya untuk terjun total dalam dunia persuratkabaran merupakan pilihan yang tepat. Dia menjadi tokoh yang amat disegani dan berhasil menciptakan karya besar yang menjadikannya sebagai pelopor pers Indonesia. Berkat kerja kerasnya itulah, namanya diabadikan dalam "Hadiah Jurnalistik Adinegoro" sejak tahun 1974.
Dalam dunia sastra nama Adinegoro sebenarnya tidak sebesar di dunia jurnalistik. Tampaknya kegemaran menulis karya sastra hanya berlangsung pada awal kegiatannya menulis. Dua karyanya, yaitu Darah Moeda dan Asmara Djaja, diterbitkan tahun 1926 dan tahun 1927. Namun, dengan kedua karyanya itu, Adinegoro dipandang sebagai pengarang novel masa awal Angkatan Balai Pustaka.
Darah Moeda menampilkan persoalan zaman, yang biasa memper-tentangkan kelompok orang tua dan kelompok orang muda. Sesuai dengan judulnya, novel ini mengemukakan perkawinan antarsuku yang terjadi di Minangkabau. Dalam novel ini terungkap keinginan pemuda menolak perkawinan adat yang mengharuskan pemuda Minang kawin dengan gadis sesama sukunya atau bahkan dengan saudara dekat.
Asmara Djaja memperlihatkan tema yang sama, yakni kemenangan orang muda atas orang tua dalam menentukan jodoh. Novel ini juga mengetengahkan perkawinan antarsuku yang berlangsung di Bandung meskipun orang tua si pemuda dengan sengaja membawakan untuknya seorang gadis sesuku, si pemuda tetap memilih istri yang telah terlebih dahulu dikawininya.
Selain dua novel itu, Adinegoro juga berhasil menulis semacam novel perjalanan dalam tiga jilid dengan judul Melawat ke Barat (1987). Dengan novel ini Adinegoro mengukuhkan profesinya sebagai sastrawan sekaligus sebagai wartawan. Dapat dikatakan bahwa kegiatannya dalam dunia kesusastraan membawa jenis penulisan sastra yang sekarang dikenal sebagai jurnalistik sastra yang dikembangkan Goenawan Mohamad dalam Tempo.