Yogi dikenal sebagai penyair angkatan Pujangga Baru. Dia suka menuliskan nama dalam berbagai variasi, misalnya A. Rivai, Abdul Rivai, atau Yogi A. Rivai. Dalam tulisan-tulisannya nampak pengaruh ajaran J. Krisnamurti dan Rabindranath Tagore. Penulis ini dilahirkan di Lubuk Sikaping, Bonjol, Sumatra Barat, tanggal 1 Juli 1896, meninggal di Jakarta tanggal 4 April 1983.
Dia mengikuti pendidikan di sekolah Gubernemen Kelas II Lubuk Sikaping dan kursus Guru Bantu (1913) di Bukittinggi. Mulai 1 Januari 1914 diangkat jadi Guru Bantu pada sekolah kelas II di Rao, kemudian pada beberapa tempat di Sumatra Barat, terakhir di Kayu Tanam. Dia gemar mempelajari filsafat agama, adat Minangkabau, dan kebatinan. Sejak 1922 masuk Perkumpulan Theosofi Cabang Hindia Belanda.
Sebagai penulis, Yogi menyebut dirinya dalam beberapa nama samaran, yaitu Toetoel Singgalang; Yodho, dan Zeiny.
Dia membantu berbagai surat kabar dan majalah di Padang, antara lain menulis puisi dan prosa dalam Pandji Poestaka dan Penindjauan. Menjadi Tim Redaksi P.F. Dahler, Lukisan Dunia, Medan, dan Pewarta Theosofi. Pada tahun 1979 mendapat piagam penghargaan selaku sastrawan di antara kesepuluh orang yang berjasa dalam perjuangan dari Kepala DaerahTingkat I Sumatra Barat.
Karya puisi dan prosanya tercatat sebagai berikut (1) "Gubahan"/buat sementara menurut Balai Pustaka, dikeluarkan dalam majalah Sri Pustaka 1930, yang kelak akan diterbitkan menjadi sebuah buku; (2) Puspa Aneka (1931, kumpulan sajak diterbitkan sendiri di Solok); (3) Puisi Baru (1946), bunga rampai susunan S. Takdir Alisjahbana, yang membuat sejumlah sajaknya (berasal dari dalam Pujangga Baru); (4) "Sayembara Mengarang Puisi bagi Siswa SMP, SGB, SMA; (5) Gema Udara, pidato radio Bagian Bahasa/Sastra Studio RRI Bukit Tinggi (1955); (6) Kaedah Sastra Budaya (1956); (7) Cerita Rancak Di Labuh, prosa liris, saduran dari sastra Minangkabau tulisan Arab, penerbit NV Islamich (1956); (8) Pujangga Baru, Prosa dan Puisi (bunga rampai, 1963) susunan H.B. Jassin; dan (9) Tonggak 1 (Bunga rampai, 1987) susunan Linus Suryadi AG. Perkembangan Puisi Indonesia Tahun 20-an Hingga Tahun 40-an (1984) susunan J.S. Badudu dkk. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Yogi sempat di-wachgel-kan (1 Januari 1935) dengan mendapat uang tunggu, sehubungan Pemerintah Hindia Belanda mengadakan perubahan susunan Sekolah Kelas II. Selama masa penantian itu Yogi hidup bertani dan berdagang kecil-kecilan di kampung isterinya di Kayu Tanam, sambil terus membantu surat kabar Pandji Islam, Medan. Pada masa pendudukan Jepang ia nonaktif menulis, dan 1 Januari 1940 minta pensiun. Sesudah penyerahan kedaulatan RI, Maret 1950, ia bekerja di Djawatan Penerangan Sumatra Tengah, Bukit Tinggi, sebagai penulis dan kepala perpustakaan. Sekali-sekali ia menulis dalam majalah Dunia Seminggu terbitan Djapen Sumatra Tengah.
Mulai 1 Januari 1953 ia pindah ke Perwakilan Jawatan Kebudayaan Sumatra Tengah, mengepalai Bagian Bahasa/Sastra. Dia juga menulis dalam Medan Bahasa terbitan Bagian Bahasa Jawatan Kebudayaan Pusat, Jakarta. Selama itu, ia mengamati perkembangan bahasa/sastra di kalangan pelajar dan mengadakan ceramah mengenai tugas dan fungsi Bagian Bahasa/Sastra di Perwakilan Jawatan Kebudayaan. Dalam acara itu, selesai ceramah dilanjutkan dengan acara deklamasi pembacaan sajak oleh beberapa murid sekolah menengah di bawah asuhan para gurunya yang mengajar Bahasa Indonesia. Kegiatan deklamasi ini rupanya mendapat sambutan dari sekolah-sekolah lain, sehingga sejak itulah timbul tradisi pembacaan puisi di Indonesia sampai sekarang.